bolehkah aku menyerah kali ini saja?

28 2 8
                                    

Aku duduk di teras rumah setelah hujan reda. Seperti biasa memutar lagu Hindia, duduk di kursi dengan secangkir teh hangat. Setelah melamun beberapa menit tiba-tiba ada suatu suara di kepala yang entah muncul darimana; "oh, baru kali ini aku sadari. Ternyata aku kehilangan diri sendiri.

"memangnya, ketakutan-ketakutan itu seperti apa?". Di sisi lain suara-suara menyebalkan itu sudah berani bertanya. Sudah seperti wawancara artis papan atas yang sudah lama tak terdengar lalu kembali dengan hingar bingar di media sosial.

Sebenarnya ia sudah lama hadir dan terus meramaikan isi kepala, entah kenapa makin kesini makin ramai saja. Makin bingung mempertanyakan hal yang memang ada di dalam pikiran sendiri, karena hanya aku yang tau sendiri. Tapi mengapa tidak ada jawaban untuk menghentikan pertanyaan itu, malah menjadi ketakutan-ketakutan seperti ini.

"Ternyata persimpangan itu ada ya?". Tanyaku kepada gemuruh suara yang aku anggap nyanyian keinginan yang terpaksa harus aku nikmati. "Yap, ketika kau sendirian meratapi jalan kehidupan."

"Memangnya kenapa jika aku sering meratapi jalan kehidupan, kenapa kalian banyak sekali protes kepadaku perihal memilih pilihan atau melanjutkan keinginan?".

"Sepertinya kau terlalu lama melihat pencapaian orang banyak di usiamu, terlalu banyak menonton insta story mereka yang terlihat haha-hihi saja. Padahal bukannya kau hanya ingin menjadi dirimu sendiri. Berdiri tegak di tengah badai yang hanya ada kau sendiri, Kau pernah berkata itu kan?

"Tenang, aku masih ingat, jadi jangan di pura-pura-in lupa."

Sialan, kenapa kali ini seperti kutukan masa lalu, yang dulu banyak sekali aku hiraukan tanpa tahu harus terjadi seperti ini. "Ya Tuhan! Ini jalannya kemana? Aku takut jikalau nanti aku memilih jalan sendiri, aku tersesat, tersesat seperti berlayar jauh di lautan lepas yang hanya ada aku, sampan, dan suara suara ketakutan yang malah menjadikanku tak mau lagi melanjutkan perjalanan.

"Ingin sekali aku berteriak, tapi aku takut ibu berkata "sudah gila ya?" Lalu aku ingin sekali menjawab "hampir, Bu. Hampir gila".

Ya memang, kemarin-kemarin aku ingin sekali menyendiri, di rumah yang ku anggap tenang dan mengasihi, duduk santay dan berdiskusi dengan alam sunyi. Tapi nyatanya, rasanya campur aduk, seperti batu yang di campuri air dan semen yang menjadikannya beton. Atau, besi yang di bakar lama lalu memerah sehingga mereka bebas mau menjadikannya apa. Sampai kapan suara-suara ini terus bertanya-tanya.

*****

"Kemana orang yang kini kau cintai? Apakah tak sebegitu perduli denganmu?. Bukannya dia alasan buatmu untuk tetap bersemangat dalam menjalani hari-hari yang kau anggap berat itu?". Sepertinya mengobrol dengan diri sendiri saja banyak sekali pertanyaannya. Apalagi orang lain yang hanya ingin tau sampai mana aku berpijak, barang mewah apa yang sudah ku beli, atau seberapa gajimu setelah sekian lama bekerja.

"Jika nanti aku kasih tau, apakah kalian mau mengasihi aku?, Tidak kan? Sudahlah dia itu urusanku, urusan hati yang tak perlu juga kalian tahu."

Padahal ingin sekali memberitahu mereka bahwa kisah asmaraku juga memang tidak baik-baik saja. Tapi jikalau nanti aku kasih tau pun, mereka akan semakin ramai, mengejek perlakuanku, atau menanyakan apa yang telah aku lakukan kepadanya.

Ahh sialan sekali aku, telat menyadari diri sendiri, sampai tidak kenal dengan apa yang aku ingin tahu soal diriku. Mereka saja masih menanyakan apa yang telah terjadi. Lalu jika nanti aku memutuskan untuk menyerah dan tidak peduli tentang semuanya, apakah hal seperti ini akan terulang lagi.

"Ya Tuhan, jika kau memperbolehkan seorang hamba untuk menyerah, sepertinya aku menjadi pemenang dalam hal menyerah itu."

Yasudah, cuaca semakin dingin di luar, tidak baik jika aku meratapi asa sendirian, takutnya nanti ada yang masuk tanpa permisi menguasai tubuhku lalu ragaku di bawa ke hutan. yang ada malah merepotkan banyak orang.

Lara Derana (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang