sebuah epilog tanpa prolog (babak dua)

9 0 0
                                    

Berakhir tanpa ada kata selesai

Ini bukan kebetulan. Acapkali aku mengira bahwa ini hanyalah sebuah lelucon jelaka. Aku tak kecewa, mungkin, diapun sama. Tapi jujur, hati ini terasa sakit walaupun agak di tahan-tahan. Sepertinya manusia memang gemar menyembunyikan sakit dan kecewanya, semua yang mereka tunjukan palsu termasuk aku, ya, terlalu banyak drama. Di depan orang banyak, di tempat umum, di depan teman-teman maupun di depan orang-orang terdekat pun kita masih bisa membohongi mereka, pura-pura tertawa padahal hati sedang terluka. Kita bohong dua kali; bohong kepada diri sendiri, dan bohong kepada orang lain.

Setelah kami sama-sama beranjak dewasa, terjun ke dunia nyata ternyata memang seperti apa yang mereka katakan. Katanya "nanti kamu akan merasakannya" sebentar, aku ingin berbincang dengan isi kepalaku sendiri.

"Hei, apakah kalian tahu apa yang sedang aku pikirkan saat aku dan dia ternyata sudah berpisah jalan?"

"Oh, sebentar. Itu sebenarnya bukan urusan kami, tapi urusan hati. Entah kenapa kita yang harus kena lagi perihal patah hati mu"

"Itu juga urusan kalian, apakah kalian tidak mau mengasihani aku, atau hanya perihal membantu menemani waktu senggang yang selama ini tidak berisik dan sumpek seperti Jakarta di waktu sore hari"

Waktu terasa sangat singkat setelah kami berdua menerima kenyataan jika kita tidak akan satu kampus. Malahan, aku yang harus terjun menjadi budak korporat. Aku rasa, itu sudah menjadi alasan aku kenapa selalu merasa tidak layak, apalagi sampai harus menerima kenyataan bahwa aku harus putus kuliah.

"Turut berduka cita atas kenyataan yang tak seperti yang kau kira. Haha" semprot suara di isi kepalaku setelah aku bergumam di dalam hati.

Ini memang seperti aku yang mengejek diriku sendiri. Tapi menurutku itu adalah suara isi kepala yang memang sudah lama tak terkendali. Jadi dia memberontak dan beringas untuk memenuhi memori-memori yang seharusnya aku lupakan.

****

Sebelum mengakhiri bahwa aku dan dia harus benar-benar pergi, kami memang baik-baik saja, tapi ada satu peristiwa yang kelihatannya sepele tapi berujung tragis setelah kami sama-sama egois.

Sebenarnya aku tak ingin menuliskan akhir dari cerita yang harus memutar otaku kembali, mengingat pesan-pesan terakhir yang dia tulis di kolom chat. Mungkin jika teman yang bertanya; "kalian benar-benar selesai?" Aku tak tahu harus menjawab apa. Tak sedikit orang tahu jika aku dengan dia sudah cukup lama, setelah dia memutuskan untuk keluar dari kehidupanku, aku sempat mogok nulis. Entah kenapa setiap malam rasanya hanya ingin terlentang di atas kasur, dan terlelap tidur.

Kata dia, "aku selalu merasa yang paling terpuruk" mungkin itu benar, kalian juga tahu halaman-halaman sebelumnya hanya berisi keresahan dan kegagalan bukan? Tapi bukan berarti aku tak pernah merasakan bahagia. Cuman, aku tidak terlalu terlelap di atas kebahagiaan itu, aku menikmati secukupnya, karena menurutku dunia ini akan terasa lelah untuk manusia fana yang tak tahu caranya bersyukur, mungkin aku salah satunya, makannya aku belajar menerima semua yang telah terjadi entah itu kecewa atau jatuh berulang kali. Karena yang memang di takdirkan untuk kita akan tetap menjadi untuk kita apapun itu caranya, termasuk perihal pulang dan pergi, datang dan kembali, ataupun berjalan dan berlari.

Kali ini, aku tidak akan menceritakan kenapa hubungan ini harus selesai. Tapi aku sedikit kecewa, bukan karenanya, bukan perihal tentang aku atau dia yang salah. Aku sedikit kecewa sama waktu yang nentuin kami harus berpisah di akhir tahun. Tapi di balik itu, waktu juga ternyata ngasih tau aku, yang ternyata masalahnya aku dan dia belum bisa saling mengerti. Masih mengandalkan ego masing-masing, masih sibuk dengan realitas masing-masing.

Sebenarnya aku masih ingin berbincang dengannya perihal kenapa ini bisa benar-benar terjadi. Berkompromi tentang mengapa dia memutuskan untuk benar-benar pisah jalan. Mungkin ini sudah di atur oleh semesta, tapi terkadang aku merasa kecewa, padahal aku sama sekali tidak tahu peristiwa apalagi yang akan aku hadapi selanjutnya. Tapi kali ini aku benar-benar belajar lapang dada, menyerahkan semuanya kepada semesta, bahwa dengan fase ini semoga kita sama-sama bisa menggapai mimpi yang dulu telah kami tuliskan. Dulu, sebegitu indahnya. Sekarang, sebegitu sadis nya. Kadang, kesakitan memang perlu di tertawakan. Bukankah menerima kenyataan dengan perspektif tidak menyakitkan bisa membuat kita tidak terlalu bersedu-sedan.

Aku tahu, dia memang lihai sekali perihal menyembunyikan patah hati, tidak denganku yang meluapkan semuanya lewat tulisan, seolah aku tidak pernah benar-benar ikhlas melepaskan. Dia juga tahu sifat aku yang ternyata sipaling galau, haha. Aku salut sama dia yang bisa menyembunyikan kesakitan dan terlihat baik-baik saja di depan orang banyak. Bisa dibilang dia wanita kuat, wanita spesial setelah ibu 'ku.

"Aku tahu, kamu sering diam-diam menangis, merasa cape sama sikap aku yang plin-plan ini. Sebenarnya aku tidak mau menghakimi mu. Entah, mungkin ini memang sikap aku yang memang selalu merasa kesepian ketika sendirian. Biarkan itu menjadi pelajaran rumah bagi diriku sendiri, biarkan aku memperbaiki itu tanpa ada campur tangan kamu lagi" kata-kata ini selalu hinggap di pikiran yang membuat aku gatau lagi harus ngapain. Kadang menyesali, kadang menerima dengan lapang dada, kadang kecewa, dan gundah gulana. Lalu berkata jujur kepada diri sendiri "ternyata, sendiri itu sebuah kefanaan ya. Bohong, jika aku bilang, aku tidak kesepian" mungkin Benar kata mereka "terlalu berlebihan itu nggak baik, terlalu berharap itu hanya akan memperbesar kita untuk kecewa"

Sekarang aku ingat, seorang kawan berkata kepadaku. "Kayaknya dia udah cape sama kamu, karena dulu kamu selalu nyakitin dia" Ia tahu persis bagaimana dulu aku se-brengsek itu. Setelah ia tahu aku dan dia benar benar selesai. Ia gemar me-roasting aku dengan membawa masa lalu, mungkin itu  lucu, tapi bagiku, itu cukup mengingatkan jika karma telah benar-benar menabrak diriku sampai sebabak-belur ini. Sialan, lagi-lagi diri sendiri yang menerima akibatnya padahal dia tidak tahu apa-apa.

Untuk sekarang, aku mulai berpasrah. Berpasrah sama mengeluh memang agak sedikit sama. Kebanyakan mereka menganggap aku selalu mengeluh, padahal menurutku sekarang aku lebih ke berpasrah. Menerima kenyataan, dan selalu di yaudah dan gapapain aja. Bukannya aku diam saja, bukannya aku tidak sama sekali berdo'a, bukannya aku tidak berjuang dan kuat untuk menghadapi semuanya. Tapi sepertinya, tidak perlu membicarakan itu semua kepada semua orang perihal hubungan kita kepada Tuhan. Biarkan itu menjadi tanggung jawab diri kita sendiri.

Ya, seperti itulah kita, terlalu sibuk mengendalikan hal yang memang tidak bisa kita kendalikan sama sekali, ya, salah satunya ialah kita tidak bisa mengendalikan cara pandang seseorang terhadap kita. Entah itu baik atau buruk, entah itu memuji atau memaki, itu hak mereka, dan kita hanya perlu tutup telinga.

*****

Biarkan kekecewaan itu menelan kita dalam-dalam
Bersimpuh lah sejadi-jadinya sebagai perayaan menyambut luka
Pertunjukan gimik wajah palsu itu di depan orang-orang
Lalu kembali tersedu-sedan setelah diri ini lelah menjalani hari-hari dengan kebohongan

Ikutilah ego yang selama ini kita dengarkan layaknya guru mata pelajaran
Nikmatilah rintikan air penyesalan sehingga kita basah kuyup dihujani penyesalan
Peluklah do'a-do'a, terhambat lah air mata, gandeng lah secarik kertas berisikan kalimat "selama tinggal" yang selama ini aku susun selama ratusan hari

Kau tak perlu menoleh kebelakang, aku masih betah melihat pundak mu yang penuh dengan ambisi itu
Setidaknya aku masih punya alasan kenapa aku masih berdiri menatapmu sampai sekarang

Teruslah berlari sekuat-kuatnya yang kau mampu
Kepakan sayap indah mu itu setelah sekian lama kau berlatih terjatuh
Biarkan aku runtuh menjelma bangunan yang tak lagi utuh


Lara Derana (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang