pengakuan

10 1 0
                                    

"Bagaimana senyummu? Apakah masih serupa palsu yang menjelma menjadi bibir manis mu itu?"

"Bagaimana tawamu? Apakah masih kau perlihatkan walaupun sebenarnya kau tak sekuat itu?"

"Bagaimana keluh kesahmu? Apakah ada orang selain aku yang mampu membuatmu Kuat untuk menemani malam sendu mu?"

"Bagaimana hari-hari mu? Apakah semakin berwarna setelah kau memutuskan untuk tak menghubungi ku?"

"Bagaimana perasaanmu? Setelah kau tak lagi membalas pesan terkahir ku?"

*****

Ingin sekali aku tanyakan setiap pertanyaan itu ke kamu. Tapi aku kalah, kalah sama Ego yang bilang "sekarang kamu tanpa dia juga tidak apa-apa kan" tapi aku ingin sekali memastikan bahwa kamu benar-benar baik-baik saja dan bahagia tanpa aku.

"Sudahlah, kau urus saja dulu dirimu sendiri yang telah lama babak belur di hajar realita." tiba-tiba suara di isi kepala ku memotong percakapanku dengan bayangmu.

Aku terdiam, membiarkan suara-suara itu kembali gaduh di isi kepala. Aku hanya mendengarkan dia dengan serius. "Kali ini ada benar nya juga ya, sudah lama aku tak memberi ruang untuk berbincang dengan diri sendiri" gumam ku di dalam hati.

Aku jadi teringat suatu kata bahwa "setiap sesuatu pasti ada hikmahnya" eh, tapi, bentar. Aku telaah dulu hikmah dari kepergian mu, ini serius? atau waktu lagi becanda sama aku. Eh, tapi ini kayaknya beneran deh, soalnya sekarang aku udah ngerasain hikmahnya semenjak kita mulai renggang. Aku lebih banyak waktu sendiri, apalagi di malam hari, kalau saja aku tidak berteman dengan isi kepalaku sendiri, bisa jadi aku telah tenggelam di tengah-tengah kota Jakarta ini.

*****

Kamu ingat? Dulu, waktu kamu memilih untuk mengakhiri hubungan ini. Aku tak pernah menyerah untuk berada di garis terdepan, aku tak pernah berhenti menghubungimu karena aku memang butuh kamu. Dulu rasanya hati ini benar-benar berantakan ketika kamu bilang "kita sampai di sini aja" tapi dulu aku selalu berusaha memantaskan diri walaupun sebenarnya aku memang benar-benar tidak pantas buat kamu, tapi entah kenapa dulu aku nggak pernah kepikiran untuk menyerah, nggak pernah ngerasa cape ngebujuk kamu buat kembali lagi sama aku. Dulu aku egois sama diriku sendiri, dengan berkata "kamu hanya untuk aku" Padahal kan aku enggak bisa memaksakan itu, aku enggak bisa ngendaliin ego aku kalo aku harus selalu sama kamu. Dulu aku selalu mencari seseorang yang seperti kamu tapi aku enggak menemukan kamu di sosok orang lain, karena memang itu kenyataannya, makannya aku selalu mau kamu.

Sampai sekarang. Sampai kepada titik dimana kita punya kesibukan masing-masing, saling mengerti kalo kita nggak setiap hari bisa ngabarin. Tapi aku terlalu naif kalo aku bilang aku gapapa kalo aku tanpa kamu sehari pun. Tapi dari itu juga kamu ngajarin aku, ngajarin kalo ternyata aku bisa buat bahagiaku sendiri, bisa buat mengikhlaskan kalo event dimana people come and go itu nyata. Dan yang lebih sakitnya lagi salah satunya ya, kamu.

Maafin aku, maafin kalo selama ini aku telah memaksa masuk ke ruang yang dimana aku enggak di butuhin di situ. Maafin kalo aku selalu mencela hari-harimu, bahagia-bahagia mu, Senda gurau mu tanpa aku. Karena aku cemburu sama hal itu. Sekarang aku pulang, pulang kepada diriku sendiri, pulang kepada isi pikiran yang telah lama belum rehat ini. Kalo kamu bisa sendirian dan bahagia selalu tanpa aku, kenapa aku enggak kan?

Biarkan waktu yang ngejawab kalo endingnya kita bakalan kayak gimana. Kamu pernah bilang itu ke aku. Dan sekarang aku menerima dengan lapang dada kata-kata itu.

Biarkan buku ini selesai. Selesai tanpa ada kata "selesai" serupa dengan kita yang tidak pernah berakhir dengan kata "selesai."

Semoga kita bisa sama-sama ambil jalan tengahnya, jalan dimana kita bisa sama-sama mengendarai ego kita sendiri. Meskipun ban aku bocor dan harus berhenti lalu kembali dengan jalan pelan-pelan. Biarkan, kamu duluan. Tapi ini bukan soal ban.

Lara Derana (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang