Happy reading!!!
Ansel menuruni tangga rumahnya dengan langkah riang. Ia senang sekali karena akhirnya keterima kerja di sebuah kafe milik salah satu temannya.
Lebih tepatnya sih teman Abangnya.
"Heh, pembawa sial!" wajah Ansel makin ceria begitu Abangnya memanggil.
Sungguh, ini hal yang sangat langka. Biasanya sang Abang akan menyapa pagi Ansel dengan omelan atau protesan.
Tapi ini? Hari ini berbeda. Ya walaupun panggilan Darren barusan terkesan kasar, tapi entah mengapa Ansel merasa senang.
Aneh memang.
"Kenapa, Bang?" Ansel menghampiri Darren yang sedang menguyah roti bakar buatan sang Bibi.
"Mau kemana? Tolong cuciin sepatu gue, mobil gue sekalian."
Ansel menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. "Bang, Ansel gak bisa. Soalnya mau kerjaㅡ" hampir saja ia keceplosan perihal kerja part time nya itu.
Darren memandang Ansel bingung. "A-anu itu, maksudnya ada kerja kelompok! Dadakan banget soalnya. Baru dikasih tau tadi, heheh."
"Jangan lama-lama, mau dipake soalnya besok. Jadi hari ini juga harus udah bersih!"
"Siap bos!" Ansel memperagakan gaya hormat.
"Mas Ansel, sarapan dulu itu roti sama susunya." ujar sang Bibi ramah, kemudian Ansel menarik salah satu kursi untuk duduk.
Tapi kemudian Darren langsung bangkit. "Tolong bawa susu saya ke kamar aja, Bi."
"Baik, Mas."
"Kapan ya Abang mau nerima aku? Masa setiap hari harus makan sendiri sih." ujar Ansel memandang kepergian Darren sendu.
"Sabar ya Mas, Bibi yakin pasti Mas Darren bakal bisa nerima Mas Ansel kok nanti." Ansel hanya tersenyum menanggapi.
Setelah sarapannya selesai, Ansel pamit pergi pada Bibi. Sempet pamit juga sih sama Darren, tapi gak ngomong langsung. Ya gimana, orang Ansel baru ketuk pintu aja, udah diusir. Yaudah, Ansel cuma bisa bilang dari balik pintu kalo dia mau pergi. Sudah biasa.
Pagi di hari libur itu biasanya lebih enak untuk tidur. Tapi bagi Ansel, ia malah tak suka jika harus berleha-leha seperti itu.
Ansel sudah terbiasa beraktivitas. Jadi jika ada waktu luang, pasti Ansel akan merasa bosan.
Tak terasa ia sudah sampai di kafe tersebut, H's café namanya.
"Bang Hans!!!!" sapa Ansel riang langsung memeluk Hans. Untung saja kafe tersebut belum buka, jadi masih sepi.
"Seneng banget keliatannya, hm." senyum Hans mengembang, ia sudah menganggap Ansel seperti Adiknya sendiri.
"Yaiyalah seneng! Kan Ansel udah keterima disini!"
"Gitu doang?" Ansel mengangguk tanpa melunturkan senyumnya. Matanya menjelajah ke setiap sudut kafe yang menurutnya menarik itu.
"Abang lo tau kalo lo kerja disini?" tubuh Ansel diam seketika, lalu menggeleng. "Enggak, hehehe."
Hans menghela napas, "Jadi diem-diem nih?"
Ansel mengangguk, "Plis, jangan kasih tau Bang Darren ya." mohonnya.
"Oke lah kalo begitu. Selama lo gak macem-macem, gue dukung."
Hans memang bisa diandalkan, Ansel memeluk tubuh lelaki itu lagi. Ia memang sengaja mencari pekerjaan disamping kesibukannya sebagai pelajar. Tujuannya agar tak menambah beban sang Abang.
Ansel tahu. Ditengah sibuknya kuliah, Abangnya itu juga harus mengurus perusahaan keluarga setelah kepergian orang tua mereka. Dibantu Om dan Tantenya juga sih.
Walaupun Ansel mendapat jatah setiap bulan, tapi setidaknya Ansel punya simpanan untuk keperluannya sendiri.
Hari ini Ansel sudah mulai bekerja. Ia dibantu Hans untuk mempelajari pekerjaannya disana.
"Udah paham kan?"
Ansel mengangguk, "Udah, Bang!"
"Kafe udah mau buka. Selamat bekerja Adik kecil!" Hans menepuk kepala Ansel sebelum pergi menuju ruangannya.
Ansel tersenyum, "Semangat Ansel!"
.....
"Tuh anak udah sore gini belom pulang?! Udah mana mobil sama sepatu gue belom dicuci!"
Darren mengambil ponselnya, berniat menghubungi Jonathan.
"Kenapa?"
"Si pembawa sial kemana?"
"Ya mana gue tau, lo kan Abangnya!"
Darren sempat merasa tertohok sebentar. "Ck, tadi katanya tuh anak mau pergi kerja kelompok."
"Terus?"
"Belom pulang sampe sekarang."
"Kenapa lo? Khawatir nih?"
"Kagak lah! Itu sepatu sama mobil gue belom dicuci!"
"Dih bangke!"
"Bacot ah! Lo tau gak dia kerja kelompok dimana?"
"Ya mana gue tau babi! Tanya lah temennya!"
"Ye bangsat, santai aja kali! Yodah, siapa temennya?"
"Ntar gue kirim nomernya Jidan. Gimana sih, Abangnya masa gak tau!"
"Berisik."
Tut
Tak lama kemudian muncul sebuah pesan dari Jonathan. Darren langsung melaksanakan tujuannya.
+62 856 **** ****
Tau Ansel dimn?|
|Syp nih nnyain tmn gue?
Abng nya|
|Ooh
|Krng tau deh BangLh ktnya kerja kelompok? |
|Waduh, iya kli ya?
|Soalnya ga sm gueOh, ok|
"Kemana sih tuh anak? Jangan-jangan bohong?"
Sementara, Ansel baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
"Mau pulang sekarang Sel?"
"Iya, Bang."
"Yaudah, gue anterin aja."
"Gak usah, Bang, lagi pula deket ini. Jalan kaki juga sampe," tolak Ansel. Memang kafe tersebut tidak jauh dari daerah komplek rumahnya.
"Udah mau maghrib loh, ntar Abang lo nyariin."
"Gapapa, gue lari aja biar cepet. Duluan, Bang!" Ansel langsung pergi begitu saja.
"Eh, hati-hati!" teriak Hans.
Di tengah jalan, Ansel terengah-engah. Cukup capek juga berlari.
Lari beneran ya, bukan lari dari kenyataan.
Sampai depan rumah, Ansel mengambil napas sebentar sebelum masuk.
Ceklek
"Dari mana?"
To be continue
Jangan lupa vote ❤
See u on the next Chap!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Abang || Jihoon & Junkyu ✔
Fanfic[ C o m p l e t e ] Darren benar-benar sudah kehilangan semuanya. Darren menyesal karena tidak sempat menjadi abang yang baik untuk adiknya. Darren menyesal selalu mengabaikan Ansel. Darren menyesal sudah menyimpan dendam terlalu lama. Tak ada ke...