09. Lembar Kesembilan

1K 171 10
                                    

Happy reading!!!

"Ji, lo pernah gak sih?"

"Hah? Pernah apaan?" Saut Jidan yang sedang bermain game diponselnya seraya rebahan.

"Ngerasa capek gitu."

"Sering! Makanya gue rebahan mulu tiap hari!"

"Yeu, itu mah lo nya aja yang kaum rebahan!" Ansel memukul Jidan dengan bantal sofa.

Keduanya sedang berada di rumah Jidan. Mumpung rumahnya kosong, jadi ia meminta Ansel untuk datang.

"Gue serius, woy! Pernah gak?"

Jidan menegakkan badan. Ia tau kemana arah pembicaraan Ansel. "Ya pasti setiap orang pernah lah! Emang kenapa?"

Ansel menghela napas.

Tanpa Jidan bertanya pun, sebenarnya ia sudah tau permasalahan Ansel selama ini.

"Gue capek."

"Gue juga."

"Jidan, gue serius."

"Gue juga."

Ansel menatap malas ke arah Jidan. "Gue gak lagi bercanda, Ji, gue serius. Rasanya gue capek, gue mau nyerah."

"Bukan temen gue. Gue gak kenal lo siapa." Cibir Jidan.

"Gue cuma capek aja. Kayak, gak ada gunanya gue hidup."

"KELUAR! LO SIAPA?! LO BUKAN ANSEL YANG GUE KENAL!" Jidan membacakan segala mantra, takut-takut ada makhluk lain yang merasuki Ansel.

"Gila! Gak bisa diajak serius banget dah! Gak asik lo!"

Jidan menghentikan aksinya, "Lagian, lo kayak bukan Ansel yang gue kenal."

"Emang bukan. Aing maung, rawr!"

"Sinting!"

"ARGHH, GUE HARUS GIMANA?!" Ansel frustasi seraya berguling di karpet.

"Ansel, denger." Tanda-tanda Jidan mau cosplay jadi Jidan teguh. Ansel buru-buru berduduk sila, siap mendengarkan.

"Kalo lo capek, ya istirahat. Mending tidur aja yuk, gue ngantuk!"

"Oasuuu! Gak guna saran lo!" Lagi-lagi Ansel memukul Jidan dengan bantal.

"Abis lo mau gimana, malih?!"

Ansel terlihat sedang menimang-nimang, "Apa gue nyusul orang tua gue ajaㅡEH, BANGSAT LO MAU NGAPAIN?!"

"Ngomong kayak gitu lagi, ini TV melayang ke muka lo!" Jidan sudah ancang-ancang mau melempar televisinya.

"Serem banget!" Ansel bersembunyi di belakang sofa.

"Awas aja sampe lo ada niatan buat ngelakuin itu! Gue tonjok sampe jadi biru baru tau rasa lo!"

"IH, JAHAT BANGET! NANTI MUKA LUCU GUE ILANG!" Ansel cemberut seraya memegang pipi tembamnya.

"Biarin!" Balas Jidan tak acuh.

Setelah hujan berhenti, Ansel memustukan untuk pulang diantar Mario.

Tadinya Jidan menawari diri untuk mengantar Ansel karena habis hujan pasti bakalan becek dan susah nyari kendaraan umum. Tapi Ansel menolak, dan memilih berjalan kaki, biar sehat katanya.

Lalu saat di jalan, ia bertemu dengan Mario. Kebetulan Mario juga mau mampir ke rumah, ada urusan sama Darren katanya.

"Jadi lo abis dari rumah temen?" Ansel mengangguk.

"Abang lo ada di rumah kan? Soalnya dia sering gak masuk kampus beberapa hari ini."

Dahi Ansel mengerut bingung. Perasaan setiap pagi Abangnya itu selalu pergi, ia pikir ke kampus.

Lalu kemana sang Abang kalo bukan kesana?

"Hey, kok diem?" Bingung Mario.

"Gapapa kok, Bang."

Hanya orang terdekat saja yang tau masalah mereka, termasuk Mario.


.....


Di ruangan serba biru muda itu, Ansel termenung.

Ansel capek, sungguh.

Ia merasa sendirian.

Ansel sudah tak memiliki orang tua, bahkan Ibunya saja sudah meninggal setelah melahirkannya.

Ia tak pernah melihat apalagi memiliki sosok itu dalam dunia nyata. Hanya dalam sebuah figura foto yang Ansel pajang di dinding kamarnya.

Helaan napas berat terdengar. "Ibu, apa Ansel nyusul Ibu aja?"

"Tapi gimana caranya Ansel nyusul Ibu? Ansel takut bunuh diri, tapi..."

"Ansel capek, Bu."

"Rasanya Ansel sendirian disini. Padahal Ansel masih punya Abang, Bibi, Kak Jo, Tante Auryn, Om Rafi, Jidan, dan Kak Hans."

"Tapi Ansel ngerasa hidup Ansel hampa, sunyi, sepi."

"Harusnya Ansel gak lahir ya, Bu?" Ansel tersenyum pedih.

"Abang juga gak suka kalo Ansel ada. Abang bilang lebih baik Ansel aja yang mati."

"Abang gak salah, Bu. Emang seharusnya begitukan?"

Ansel memeluk figura foto itu. "Ansel cuma mau dingertiin aja, gak lebih. Tapi kenapa gak ada yang bisa ngertiin Ansel?"

"Ansel selalu berharap Abang dateng, terus nanya 'Ansel hari ini ngapain aja?' hal sepele kayak gitu juga udah bikin Ansel bahagia, Bu."

Ansel terkekeh sendu, "Tapi lagi-lagi itu cuma harapan Ansel, karena nyatanya Abang gak akan pernah begitu."

"Seandainya ada Ibu disini, apa Ibu bakal lakuin itu ke Ansel?"

"Terkadang Ansel berharap banget punya keluarga utuh, kayak temen-temen Ansel. Ada Ibu, Ayah, Abang dan Ansel."

"Meja makan rasanya sepi banget tanpa adanya kalian. Abang jarang makan bareng Ansel, jadi setiap hari Ansel selalu sendirian."

"Ansel bosen sendirian."

"Ansel mau nyusul Ibu dan Ayah, tapi nanti Jidan bakal tonjok Ansel kalo Ansel ngelakuin itu."

"Ibu marahin Jidan dong, masa Ansel mau ditonjok. Huh, enak aja!" Mengingat perkataan juga wajah Jidan tadi rasanya membuat Ansel ingin menonjok wajah itu duluan.

Seseorang tak bergeming di depan pintu kamar Ansel. "Apa gue harus mulai buat nerima lo?"






























To be continue

Jangan lupa vote ❤

Gaada spoiler dulu ya, heheh

Surat Untuk Abang || Jihoon & Junkyu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang