14. Lembar Keempat-belas

1K 148 4
                                    

Happy reading!!!


"Achuu!"

"Katanya, 'Ansel itu kuat kok'. Hilih! Baru main ujan bentar aja udah flu kayak gitu." Cibiran Darren mendapat tatapan tajam dari Ansel.

"Mana teh anget yang Ansel minta?"

Darren melipat tangannya di depan dada, "Ck, ck, udah berani nyuruh-nyuruh Abang ya sekarang."

Ansel cengengesan, "Kapan lagi Ansel bisa nyuruh Abang, heheh." Darren mendekat, kemudian memberikan segelas teh hangat besar yang sebelumnya sudah ia buat.

"Tuh, gue buatin dengan penuh cinta." Ujarnya seraya merapihkan rambut Ansel yang sedikit berantakkan.

"Kok gak manis????" Heran Ansel setelah minum seteguk.

"Lo cuma bilang teh anget, bukan teh manis."

"Tapi kanㅡ"

"Ck, itu teh bukan?" Ansel mengangguk.
"Angetkan?" Ansel mengangguk lagi.

"Berarti apa?"

"Teh anget."

"Nah, yaudah!"

Ansel memasang wajah datarnya, "Ish, maksudnya tuhㅡ"

"Sstt, udah diem. Kalo mau manis liat gue aja." Darren menaik-turunkan alisnya.

"Cuih, males banget!"

"Heh, apaan cuih-cuih?! Harusnya lo tuh beruntung punya Abang ganteng, kaya, baik hati, dan tidak sombong kayak gue."

"Tapi barusan Abang menyombongkan diri." Saut Ansel.

"Itu namanya membanggakan diri, bukan sombong."

"Terserah." Ansel meminum tehnya lagi. "Abang ngapain masih disini?"

Darren tak menjawab, matanya menelisik isi kamar Ansel yang menurutnya rapih dan wangi.

Tak seperti kamarnya yang cukup berantakkan dengan kertas dimana-mana.

Lagi-lagi rasa pusing itu muncul. Darren merebahkan dirinya. "Sini, tiduran di sebelah gue." Ia menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.

Kini posisi mereka sedang tiduran di kasur milik Ansel.

"Lo nyesel gak?" Ansel menaikan sebelah alisnya bingung.

"Eungg, nyesel punya Abang kayak gue?" Lanjut Darren diakhiri dengan helaan napas berat.

"Gue sadar, selama ini gue terlalu kasar sama lo. Gue egois, gue terlalu kecewa waktu itu sampe gak sadar nyimpen dendam sama lo. Lo gak salah, Sel." Jelas Darren seraya menatap langit-langit kamar Ansel yang dihiasi dengan beberapa pesawat kertas penuh warna.
"Hidup gue selalu gak tenang setelah Ayah dan Ibu pergi. Kayak ada yang ganjel, tapi gue gak tau apa. Gue selalu dalam bayang-bayang rasa dendam gue."

"Gue cukup tersiksa dengan rasa itu. Rasanya bener-bener sesek, Sel. Jujur gue capek sebenernya, gue pengen banget lepas dari rasa yang ngeganggu banget itu. Tapi gue gak tau caranya." Ansel menoleh ke arah Abangnya yang sedang mengeluarkan isi hatinya itu.

"Akhirnya gue cuma bisa diem tanpa usaha. Dan ya, lo yang jadi korban pelampiasan gue. Gue tau itu salah, tapi... gue juga gak bisa kontrol emosi gue sendiri."

"Setiap hari gue dateng ke makam buat curhat tentang masalah gue. Lama-lama gue jadi merenung sendiri, apa yang sebenernya gue alamin? Kenapa gue selalu ngerasa gak tenang? Sampe akhirnya Hans nyaranin gue buat ke psikiater."

"Gue gak mau. Gue pikir, buat apa? gue gak gila. Terus Mario juga nyaranin gue buat self-healing, makanya gue jadi gila kerja buat ngedistrak pikiran gue."

"Gue ikut segala organisasi, belum lagi ngurusin kantor Ayah. Dengan cara sibuk kayak gitu, gue harap jadi gak terlalu kepikiran lagi."

"Tapi sama aja, Sel. Setiap malem tanpa sadar gue selalu ngerasa kayak gitu lagi. Lo tau gak sih rasanya sesek, kayak ada yang ganjel tapi lo gak tau itu apa?" Ansel mengangguk.

"Sekiranya kayak gitu lah yang gue alamin."

"Maaf banget. Lo selalu jadi korban atas hal yang gak seharusnya lo tanggung. Gue cuma gak tau harus lampiasin ke apa dan siapa." Suara Darren bergetar, menahan tangis.

Ansel mengelus bahu Abangnya itu lembut. Ia senang, Abangnya sudah mau jujur dan mulai terbuka padanya.

"Gue gak bisa kabulin permintaan Ibu yang pengen gue berlaku baik sama lo. Gue gak berhasil jadi Abang yang baik buat lo, gue gagal..."

Ansel lantas memeluk tubuh Darren, "Ansel gapapa. Ansel seneng, Abang udah mau nerima Ansel sekarang. Artinya perjuangan Ansel gak sia-sia."

"Lo pasti benci banget sama gue, lo pasti nyesel punya Abang kayak gue, lo pasti ngerasa gak nyaman 'kan? Lo pasti mau marah 'kan sama gue? Marah aja, Sel. Pukul gue semau lo. Anggep aja ini sebagai balasan buat gue karena udah berlaku kasar sama lo."

Ansel menggeleng, "Gak. Ansel gak mau bales Abang dengan cara kayak gitu, Ansel gak mau kasar sama Abang. Karena Ansel sayang Abang."

Lihat? hati Ansel begitu lembut. Rasanya Darren sangat-sangat bodoh telah berlaku tidak baik pada adiknya sendiri. Bahkan Darren terlalu sering menyakiti Ansel.

Tapi Ansel bahkan gak mau untuk sekedar memukul Darren. Ansel gak mau Abangnya itu tersakiti.

"Kalo gitu lo mau apa? Lo mau gue ngelakuin apa buat nebus semua kesalahan gue?"

"Untuk sekarang Ansel mau peluk Abang aja." Ia mengeratkan pelukannya.

Ansel tak mau menceritakan apa yang ia alami dan rasakan selama ini. Bukannya Ansel tak mau terbuka dengan sang Abang, tapi ia hanya tak mau Abangnya itu semakin merasa bersalah.

Tak apa. Cukup Ansel dan Tuhan saja yang tau tentang perasaannya.

Cukup lama, mereka dalam posisi tersebut sampai akhirnya jadi pegel sendiri.

"Abis ini kita mau ngapain? Mau bikin wishlist gak? Buat kita lakuin bareng."

Ansel bangkit dari tidurnya, menuju laci mejanya untuk mengambil sesuatu. "Sebentar, Ansel udah catet apa yang mau Ansel lakuin bareng Abang."

"Apa tuh?" Darren mengambil secarik kertas tersebut.

List apa yang mau dilakuin bareng abang ✨

- Bikin kue bareng
- Nonton film di ruang tengah sambil matiin lampu (kayak di bioskop gitu).
- Jalan-jalan bareng abang
- Makan bareng abang
- Jadi groomsman dinikahan abang nanti, wkwk

"Yang terakhir apaan banget anjir." Protes Darren.

"Hahaha. Mungkin segitu dulu. Atau ada lagi yang mau Abang tambahin?"

"Kayaknya itu dulu aja deh. Nanti kalo udah kita lakuin semua, baru ditambahin lagi. Gimana?"

Ansel mengangguk, "Setuju!"

"Oke, kita mulai list pertama besok!"





































To be continue...

Jangan lupa vote ❤

Besok hari senin :)
Yok semangat yok!

Surat Untuk Abang || Jihoon & Junkyu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang