Happy reading.
o0o
Stefan menjatuhkan dirinya si sofa ruang tamu rumahnya. Dia memejamkan matanya karena perutnya terasa nyeri. Stefan sesekali menghembuskan nafas pelan untuk mengurangi sakitnya.
Setelah membuat Arion babak belur karena pukulannya, Stefan meninggalkan laki-laki itu yang terkapar dengan lebam di wajahnya. Stefan juga terkena tinjuan Arion di dekat bibirnya hingga sedikit mengeluarkan darah, namun itu tak berasa apapun ketimbang dengan sakit di perutnya akibat tendangan Arion.
"Kau sudah pulang?" Tanya seseorang dari arah belakang Stefan.
Stefan membuka matanya ketika mendengar suara Briton Ayahnya. Stefan melirik arlojinya dan ini masih pukul 18.00, tapi mengapa Ayahnya sudah pulang. Bola mata Stefan bergerak kesana kemari ketika Ayahnya datang menghampiri.
"Sudah," jawab Stefan dengan menegakkan tubuhnya dan segera berdiri. Laki-laki itu berusaha terlihat baik-baik saja dan menahan sakit di perutnya.
Setya yang melihat gelagat aneh dari putra sulungnya mengerutkan kening curiga. Tatapan tajam milik Setya masih terus memantau gerak-gerik Stefan yang berjalan perlahan. Pria paruh baya itu melihat ada kejanggalan, seperti Stefan tengah merahasiakan sesuatu.
"Tunggu, Stefan."
Stefan meneguk ludahnya kasar. Sial. Ayahnya pasti tau jika dirinya tengah menahan sakit. Lagi pula dimana Mamanya, disaat seperti ini Stefan butuh Ibunya. Karena hanya dia yang bisa meredakan emosi Ayahnya jika Stefan tertangkap basah habis berkelahi.
"Duduk kembali disini," ujar Setya yang mendahului duduk di sebuah sofa tunggal yang ada di sampingnya.
Dengan berat hati Stefan berbalik dan kembali menuju ke arah Ayahnya. "Kenapa?" Tanya Stefan setelah mendudukkan dirinya di sofa yang berada di hadapan Setya.
"Bertengkar dengan siapa lagi?" Dingin dan tajam. Sekiranya seperti itu suara Setya di pendengaran Stefan. Meski Stefan menuruni gen Ayahnya yang tegas, dingin, Stefan takut berhadapan dengan Ayahnya.
"Tidak ada," sahut Stefan tanpa memandang wajah Setya. Mana berani Stefan jika harus memandang wajah Ayahnya dalam keadaan begini.
"Jangan berbohong, Stefan!"
"Aku tidak berbohong."
"Apa kau tidak bosan membuat kekacauan terus, ha?! Lihat sudut bibirmu, kau pikir Papa tidak tahu jika itu bekas pukulan seseorang?!" Bentakan demi bentakan terdengar begitu keras. Ruang tamu itu di penuhi ketegangan karena Ayah dan anak itu.
Tangan Stefan terkepal mendengar bentakan itu. Namun, emosinya hanya bisa ia redam. "Maaf, Pa," kata Stefan dengan raut datar seperti biasa.
"Apa perlu Papa mengirim mu keluar negeri, Stef? Disini kau hanya membuat ulah!"
Stefan yang mendengar itu membelalakkan matanya. Keluar negeri? Astaga. Stefan bahkan tidak bisa membayangkan posisinya jika itu benar terjadi. Entah mengapa Stefan tidak bisa mengontrol emosinya sekarang. Mendengar luar negeri membuat dia gelisah.
"Papa pikir dengan melakukan itu aku akan jadi lebih baik? Jika saja Papa berniat mengirim ku keluar negeri, Stefan pasti akan membenci Papa!" Sentak Stefan dengan rahang mengeras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You Again
RandomKetika takdir membawa mereka kembali pada kisah yang belum usai. Segala trauma dan penyesalan hadir di antara mereka berdua yang ditarik paksa oleh garis kenyataan untuk menyelesaikan kisah lama. *Cerita ini murni karangan sendiri. *Revisi setelah t...