Happy reading.
o0o
Di dalam kamar Ana hanya ada keheningan. Ana fokus mengobati luka di sudut bibir Stefan, sedangkan laki-laki itu terdiam sambil memandangi wajah cantik Ana.
Setelah selesai mengompres lebam di perut Stefan, gadis itu beralih dengan luka yang ada di wajah. Stefan terlihat baik-baik saja bahkan hanya untuk mengeluarkan ringisan pun tidak. Padahal lukanya terlihat serius karena sudut bibirnya berdarah.
Ana melirik jam di dinding. Sebentar lagi pasti Deluna memanggilnya untuk makan malam. Hal itu membuat Ana resah dan khawatir jika Deluna menemukan Stefan di dalam kamarnya.
"Sudah selesai. Kau boleh pulang," ujar Ana sambil membereskan kotak obatnya. Tak lupa ia membuang kapas bekas luka Stefan di kotak sampah yang ada di sebelahnya.
Stefan hanya diam. Dia melirik jam yang ada di lengannya. "Aku ingin makan," ucap Stefan yang membuat gerakan Ana berhenti.
"Pulang lah." Ana berdiri dan berjalan ke arah meja untuk meletakkan kotak obat.
"Ku bilang aku ingin makan!"
Ana memandang Stefan dengan datar. Rasa kesal sudah mendominasi nya. Baru saja hendak bicara tapi pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Ana, ayo makan malam!"
Ana gelagapan mendengar suara Ibunya. Ia melirik Stefan yang hanya memasang wajah santai seolah tak ada apa-apa.
"Ana?" Deluna kembali memanggil Ana yang sama sekali tidak menyahut.
"I-ya. Mama turun duluan saja!"
"Cepat menyusul sayang," kata Deluna sebelum beranjak pergi.
"Ayo makan malam." Tidak. Bukan Ana yang mengajak. Melainkan Stefan yang sudah berdiri dari duduknya. Ana yang mendengar itu melotot.
"Pulang lah Stefan!"
Stefan mengacuhkan Ana dan akan berjalan ke arah pintu. Ana yang melihat itu sontak langsung mencegah Stefan. Ana berdiri di hadapan Stefan dengan nafas yang sedikit memburu akibat di serang panik. Apakah Stefan berniat membuat Ana mati di tangan Ayahnya!
"Kenapa?" Tanya Stefan dengan nada santai namun terdengar begitu menjengkelkan di telinga Ana.
"Baiklah, kau ingin makan bukan? Tunggu disini biar aku yang ambilkan," kata Ana yang langsung keluar kamar. Tak lupa ia mengunci kamarnya dari luar agar Stefan tidak macam-macam dan nekat turun ke bawah.
Stefan tersenyum geli melihat itu. Dia hanya bercanda untuk turun ke bawah. Lagi pula keadaannya tidak cukup baik untuk menghadapi Ayahnya Ana. Stefan meneliti kamar Ana yang di dominasi warna biru. Stefan tersenyum tipis, ternyata warna favorit Ana belum berubah sejak dulu.
Dia berjalan ke arah meja yang di penuhi foto-foto. Tangan Stefan terulur untuk mengambil salah satu foto di atas meja tersebut. Ia mengambil bingkai yang berisi foto Ana dengan sebuah piala dan juga medali. Disana Ana tersenyum begitu bahagia. Stefan yakin foto itu di ambil saat Ana berada di luar negeri.
Ia meletakkan kembali foto itu dan melanjutkan melihat yang lain. Ternyata bukan foto saat sudah remaja, ada banyak foto Ana saat masih kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You Again
RandomKetika takdir membawa mereka kembali pada kisah yang belum usai. Segala trauma dan penyesalan hadir di antara mereka berdua yang ditarik paksa oleh garis kenyataan untuk menyelesaikan kisah lama. *Cerita ini murni karangan sendiri. *Revisi setelah t...