17. Rasa Kecewa

2.6K 313 8
                                    

Angkasa membawa langkahnya menuju kamar mandi, hujan - hujanan membuat badannya terasa lengket. Jadi mau tidak mau, ia terpaksa mandi untuk yang kedua kalinya malam ini.

Suasana rumah cukup sepi, ia juga tidak melihat keberadaan kakak dan juga sepupunya. Entah dimana mereka saat ini, Angkasa penasaran tapi sosoknya juga tidak terlalu ambil pusing.

Setidaknya, semalam tidak bertemu mereka mungkin satu - satunya jalan untuk menenangkan diri. Angkasa menghela nafas pelan, sebelum akhirnya benar - benar memasuki kamar mandi.

Butuh waktu sekitar sepuluh menit lamanya bagi Angkasa membersihkan diri, karena sekarang sosoknya terlihat keluar hanya dengan celana pendek dengan handuk ia gunakan untuk menggosok rambutnya.

Badannya terlihat masih setengah basah, mengingat jika tadi Angkasa tidak mengelapnya dengan benar. Angkasa membawa langkahnya mendekat kearah cermin, mengamati wajahnya melalui pantulan cermin dihadapannya.

Angkasa tersenyum lirih, tepat setelah tangannya terangkat untuk menyentuh bekas tamparan Samudra. "Bohong kalau gue bilang gue ga kecewa sama lo, Sam"

"Bohong kalau gue bilang gue ga marah sama lo"

"Bohong kalau gue bilang ga sakit hati sama sekali"

"Gue kecewa, Sam. Gue marah, tapi posisinya gue bahkan ga ada hak buat ngomong kaya gitu"

Angkasa memejam, sebelum akhirnya terperanjat kaget. Setidaknya tepat setelah sosok Samudra membuka kasar pintu kamarnya.

"Apa gue bilang, Sam? Kita dari tadi sibuk nyariin dia, hujan - hujanan, berhenti sana - sini. And see? Lo liat sendiri kan? Dia malah enak - enakan dikamar sambil ngaca" ujar Rasya lengkap dengan nada sindirannya.

Angkasa terkekeh, sebelum akhirnya mendekat kearah Rasya. "Gue bahkan ga ada nyuruh kalian buat nyari gue, jadi kalau lo kehujanan ataupun berhenti sana - sini. Itu bahkan bukan urusan gue"

"Emang bukan urusan lo, tapi seenggaknya lo tau diri. Samudra dari tadi khawatir sama lo, dia bahkan rela hujan - hujanan buat nyari lo. Tapi lo? Jangankan berterimakasih, peduli aja lo engga" Rasya kembali memanas - manasi, mengabaikan jika saat ini Angkasa hanya bisa memutar bola matanya malas.

Entah sandiwara apalagi yang akan sosok itu lakukan, yang jelas mulai saat ini Angkasa tidak akan memperdulikannya lagi. Terserah.

"Terus gue harus bilang W O W gitu?" Balas Angkasa lengkap dengan tawa remehnya. Mengabaikan jika saat ini sosok Samudra tengah mengamatinya dalam diam.

"Saa lo sakit" singkat, padat dan jelas. Setidaknya kata - kata Samudra tadi sudah cukup membuat kedua sosok dihadapannya beralih menatapnya.

"Muka lo pucet, dan—" tangannya terangkat untuk menyentuh kening Angkasa. "Badan lo juga panas"

"Gak usah sok care"

"Sa please, gue tau lo marah. Tapi please jangan gini. Jangan siksa diri lo kaya gini"

Angkasa menghela nafasnya pelan, "Mending lo berdua keluar. Gue capek, mau istirahat"

"Lo emang gaada hati ya, Sa. Samudra lagi nghawatirin lo. Tapi lo? Lo bahkan gapunya rasa peduli sedikitpun" Rasya kembali membuka suara.

"Sorry, gue ga ngerti bahasa anjing. Jadi gue tau sekarang lo lagi ngomong apa" ujar Angkasa sebelum akhirnya menutup pintu kamarnya dengan sedikit kasar. Mengabaikan jika saat ini sosok Rasya hanya bisa mengumpat dalam diam. Jika saja saat ini tidak ada Samudra, mungkin Rasya tidak akan segan memberikan pelajaran pada Angkasa.

"Saaaaa!"

Tok tok tok

"Angkasaaa"

"Sam udah, mending sekarang lo istirahat. Dan soal Angkasa? Mending lo biarin aja dulu. Mungkin saat ini dia emang lagi butuh waktu buat sendiri"

"Tap—"

"Sebelum lo mikirin orang lain, lo pikirin dulu diri lo sendiri. Jangan sampe lo sakit cuma karena Angkasa"

"Tapp—"

"Gapapa, semuanya pasti baik - baik aja" ujar Rasya lengkap dengan senyum tipisnya. Sedangkan Samudra? Laki - laki itu hanya bisa menghela nafas pelan sebelum akhirnya membawa langkahnya meninggalkan kamar Angkasa.

Rasya benar, mungkin saat ini  Angkasa benar - benar membutuhkan waktu untuk sendiri. Tapi bohong jika Samudra mengatakan jika dirinya tidak khawatir. Apalagi setelah melihat bagaimana kondisi Angkasa tadi.

Wajah pucat dengan suhu tubuhnya yang bisa dikatakan panas tersebut, sudah cukup membuktikan jika Angkasa kehujanan. Apalagi mengingat jika sosok tersebut tidak tahan akan dingin, lihat saja— jika sampai terjadi sesuatu pada Angkasa. Samudra bahkan tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

"Maafin gue, Sa. Maafin gue" lirih Samudra lagi. Karena jujur, saat ini ia bahkan benar - benar merasa bersalah. Ia tidak ada niat sedikitpun untuk menampar Samudra, tapi entah kenapa ia justru melakukan hal sebodoh itu.

Wajar jika Angkasa kecewa, wajar jika Angkasa marah. Karena pada nyatanya, ia juga marah pada dirinya sendiri.

Seharusnya Samudra menjaga, bukannya meninggalkan
Seharusnya Samudra melindungi, bukannya menyakiti
Seharusnya Samudra percaya, bukannya termanipulasi

Tapi sayang, semua telah berakhir dengan Angkasa yang teramat kecewa padanya.

TBC

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang