27. Kembali Sendiri

2K 265 16
                                    

Angkasa membawa langkahnya menuruni anak tangga rumahnya, sesekali sosoknya bersenandung ria untuk mengurangi rasa jenuhnya. Netranya terlihat mencari keberadaan seseorang sebelum akhirnya terhenti, setidaknya tepat setelah menangkap keberadaaan sosok yang sedari tadi ia cari.

Angkasa tersenyum miris, entah kenapa mood nya tiba - tiba hancur. Bukannya ingin egois, seharusnya ia senang jika melihat Samudra bisa tertawa selepas itu. Tapi kenapa rasanya justru sakit ketika mengetahui tawa itu hadir bukan karenanya— melainkan Rasya. Sosok yang selama ini berusaha Angkasa hindari.

Angkasa menarik nafasnya panjang sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya menuju lantai bawah. Menghampiri kedua sosok yang saat ini tengah asik bercanda, tanpa sadar jika saat ini ada Angkasa yang tengah mengamati keduanya dalam diam.

Angkasa tersenyum tipis, tidak berniat menggangu. Mengabaikan keduanya, Angkasa justru membawa langkahnya menuju kulkas. Membukanya, dan mengambil minuman dingin dari dalam sana.

"Loh, Sa? Lo kapan turun?" Tanya Samudra sedikit kaget, sedangkan Angkasa? Laki - laki itu hanya bisa menunjukkan senyuman tipis miliknya.

"Enak ya kalau dunia kerasa milik berdua, ada orang datengpun mereka ga bakal sadar. Kan dunianya cuma milik berdua, sisanya numpang" sindir Angkasa yang entah kenapa sukses membuat Samudra merasa bersalah.

"Saaa"

"Udah gapapa, santuy aja. Lo berdua lanjut aja, gue mau sarapan. Laper" ujar Angkasa seraya mengambil dua helai roti dari atas meja.

"Lo marah?"

"Engga"

"Kepala lo gimana? Masih sakit?"

"Sakitan hati gue sih"

"Gue minta maaf"

"Lo ga salah"

"Tapi lo marah"

"Engga"

"Terus kenapa sikap lo jadi gini?"

"Pengen"

"Sa, please"

"Bacot ah, males gue" balas Angkasa sebelum akhirnya membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan Samudra yang saat ini hanya bisa menghela nafas pelan.

"Udah, mending lo biarin aja dia gitu. Bukannya gimana - gimana, tapi kalau lo terus manjain dia yang ada nantinya dia malah makin ngelunjak, Sam. Apalagi dengan sikap dia yang moody-an kaya sekarang, takutnya dia malah mempersulit lo nantinya" ujar Rasya yang entah kenapa justru dibenarkan oleh otak Samudra.

Samudra tersenyum, "Lo bener, mungkin selama ini gue udah ngemanjain Angkasa. Tapi sayangnya gue ga bisa ngebiarin dia gitu aja, dia tanggung jawab gue, tak—"

"Sewajarnya aja, Sam. Seharusnya lo ga lupa kalau Angkasa bukan anak kecil lagi. Gasemuanya harus lo yang ngerjain, ga semua keinginan dia harus lo yang menuhin, Sam" ujar Rasya yang lagi - lagi sukses membuat Samudra semakin bingung.

Perkataan Rasya ada benarnya, tapi entah kenapa hati kecilnya justru mengatakan hal yang sebaliknya.

"Udah saatnya lo cari kebahagiaan lo sendiri, Sam. Kalian bukan anak kecil lagi yang apa - apa harus bareng - bareng. Jalan kalian udah beda, disini mending lo fokus sama jalan lo sendiri. Dan buat Angkasa? Biarin dia mandiri. Dia udah gede, bukannya apa - apa. Tapi ini juga demi kebaikan dia, Sam"

Samudra tersenyum, "Lo bener, mungkin udah saatnya gue bebasin Angkasa. Gue yakin dia bisa mandiri, dengan ada atau engganya gue disamping dia" ujar Samudra yang entah kenapa sukses membuat sosok yang saat ini berdiri tidak jauh darinya mengulum senyum tipis.

Tangannya terkepal erat, air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah, hatinya sakit hanya saja bibirnya masih mampu mengulum senyum termanis yang ia punya.

Semudah itu Angkasa berpura - pura.

"Seharusnya gue ga usah denger semua ini kalau gue tau rasanya bakal sesakit ini" lirih Angkasa seraya memukul dadanya berkali - kali.

Entah kenapa rasanya sangat menyesakkan, apalagi saat mengetahui jika saat ini Samudra hendak ingin melepasnya.

Ia tau, mereka mungkin memang sudah dewasa. Tapi jika boleh jujur, Angkasa bahkan belum siap jika harus menjalani harinya tanpa Samudra.

"Gausah cengeng, Sa. Kalau Samudra pengennya gitu, lo bisa apa?"

Angkasa memejam untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya membawa langkahnya pergi dari sana.

***

Angkasa melajukan motornya dengan kecepatan sedang, entah kenapa perkataan Samudra dengan Rasya tadi masih terngiang - ngiang di benaknya. Bukan apa - apa, hanya saja apakah dirinya benar - benar menjadi beban seorang Samudra?

Apa benar dirinya hanya mempersulit pergaulan sang kakak? Dan apakah benar jika dirinya terlalu kekanak - kanakan?

Rasanya Angkasa benci mengatakan hal ini, tapi jika di pikir - pikir dirinya memang kalah jauh dari Rasya. Laki - laki itu bahkan terlihat jauh lebih dewasa daripada dirinya. Jadi tak heran jika Samudra lebih memilih mendengarkan perkataan Rasya daripada perkatannya bukan?

Entahlah, disaat seperti ini bahkan rasanya Angkasa tidak dapat berpikir dengan baik. Pikirannya kacau, dan saat ini? Angkasa hanya bisa memendam lukanya seorang diri.

Karena pada nyatanya, sosok yang selama ini ia harapkan bisa mendengar segala keluh kesahnya telah menyerah padanya. Dan pada akhirnya, Angkasa kembali seorang diri.

TBC

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang