CERITA TAMAT - SUDAH TERBIT.
___
Namanya Malika.
Namanya bukan sembarangan, bukan kaleng-kaleng.
Eits tapi bukan Malika cap kecap ya.
Dia Malika anak Pak Lurah sama Bu Lurah.
Perempuan pecinta novel Grace Love.
Grace Love.
Dimana sang protagon...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
_________
"Mari kita bicara, Malika."
"Ada apa?" Bukan Malika yang bertanya melainkan Sarga.
Lelaki itu mendekat. "Ada masalah? Shasha?" Suaranya melembut kala melihat wajah sendunya, ada yang berbeda.
Shasha tersenyum, menggeleng lemah. "Hanya.. aku ada sedikit pembicaraan dengan Malika."
Tanpa mereka sadari banyak pasang mata yang memperhatikan. Rasanya sudah sangat lama tidak melihat sang protagonis. Terakhir kali melihatnya adalah saat Zayn menjadi murid baru_ kantin atau saat tidak sengaja berpapasan di lorong? Sudah lama.
Shasha melihatnya. "Malika, bisa kita bicara?"
Dan entah kenapa secara terprogram suasana Malika memburuk.
"Kenapa kita harus bicara?" Berusaha setenang mungkin, tapi tanpa diduga hanya ada nada menyebalkan yang terdengar. Benar-benar antagonis, sial.
"Ada yang ingin aku sampaikan."
Malika menghela nafas kasar. "Harus sekarang juga?"
Shasha mengangguk.
"Dimana kita harus bicara? Disini?"
Shasha menggeleng. "Boleh kita bicara di atap?"
Malika memutar bola matanya malas. Kamvret, tempat sucinya harus didatangi perempuan itu.
Meski ogah-ogahan Malika menyanggupi. "Ya, ayo."
"Mith lo tunggu disini ya."
Malika baru saja akan melewati pintu namun lengannya dicekal.
Sarga menatapnya _ entah dengan bagaimana, hanya saja sesekali lelaki itu juga melirik Shasha.
"Hanya kalian berdua?"
Dengan pertanyaan itu Malika tersinggung. Sebenarnya apa yang lelaki itu takutkan? Dirinya menyakiti Shasha? Karena hanya berdua?
Setibanya disana, Malika langsung memasukkan kedua lengannya ke dalam saku celana. Ah ya, perempuan itu memakai rok tapi juga memakai celana olahraga.
Berdehem canggung. "Lalu, ada apa?"
Shasha menggigit bibir bawahnya, kenapa dia terlihat tertekan? Padahal Malika hanya bertanya.
"Malika," cicitnya. Mengatur nafas lalu menatapnya dengan berani.
"Bisakah kamu berhenti? "
Malika berkedip lebih dari sekali, dia bingung. "Berhenti_ dari apa?"
"Semua yang berhubungan dengan Regal."
"Ya? Maaf?" Malika menatapnya, mendengar seksama. Dia tidak salah dengarkan?
"Tolong lepaskan dia. Biarkan dia bersamaku. Jangan terus-terusan menahannya. Bisakah kamu mengalah saja? Kamu cinta? Ok. Tapi, hanya karena cinta kamu harus berbuat buruk seperti ini, membohongi diri sendiri, berubah bukan menjadi diri kamu sendiri. Cinta yang bahkan tidak bisa disebut sebagai cinta."
Shasha mengambil nafasnya dalam. "Bagiku dia segalanya. Aku mencintainya. Dan aku yakin cinta untukku juga. Biarkan kami bersama ya?"
"Aku paham aku terlihat seperti pengemis. Tapi aku mohon, ini demi kebaikan kita semua. Semua tingkah laku kamu yang sedang kamu perankan sekarang, tolong jangan diteruskan. Regal memilihku." Shasha terus mengeluarkan kecemasan dan ketakutan yang ditutupi dengan mulutnya. "Tolong berhentinlah.."
Hening....
"Kenapa gue harus berhenti saat gua gak melakukannya?"
Malika benar-benar tidak paham. Bukannya dari awal, semenjak dia memasuki dunia ini, Malika sudah berhenti? Bahkan dirinya memutuskan pertunangan. Kurang apa lagi?
Lalu, apa haknya menilai rasa yang dimiliki Malika asli? Bukankah dia semakin melewati batas?
"Cinta bukan sekedar hanya," lirih Malika.
Malika menatapnya tanpa ekspresi. "Cinta sebenarnya itu apa? Hal yang membahagiakan bukan? Kedamaian tanpa ketakutan. Tapi yang gue lihat hanya ada ketertekanan pada diri lo. Atau penyebutan versi gue adalah cinta yang gak sehat."
"Ya?"
Malika mendekat. "Lo tahu arti sudah putus urat malunya?"
"Biasanya itu dituju untuk orang-orang yang dinilai gak punya rasa malu." Malika melihatnya getir, kasihan. "Jika orang sudah kehilangan rasa malunya, harus diwaspadai karena pasti ada kerusakan dibagian otaknya," tambah Malika.
Shasha mengepalkan kedua, menahan ketegangannya. "Lalu, kenapa sekarang kamu menjelaskan hal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ini."
"Tidak ada sangkut-pautnya?" Malika menggeleng. "Lo salah," desisnya. "Ini sangat berkaitan. Penjelasan gue belum selesai."
Malika tersenyum, menjelaskan kembali. "Lo tahu penyebab kunci rasa malu manusia? Pregenual anterior cingulate cortex atau otak dibagian sebelah kanan depan.
Dan yang lebih menariknya, wilayah otak bisa memprediksi tingkah perilaku manusia. Makin kecil otak yang dia punya dibagian itu, maka rasa malunya parah alias rendah. Karena jika otak tersebut sehat, otak dibagian itu akan berfungsi normal, gak akan lebih kecil dari umumnya," ejeknya.
Malika semakin mendekat dan Shasha semakin melangkah mundur. Matanya gemetar, bukan ini yang dia inginkan. Amukan dan tamparan. Bukan penjelasan secara logika seperti ini.
"Shasha, bodohnya gue, setahu gue salah satu orang yang memiliki kurangnya rasa malu adalah penderita Alzheimer dan orang yang mengalami Demensia. Mereka acuh ke hal yang menurut orang lain memalukan karena bagian otak itu dibutakan terhadap rasa malu.
Shasha, lo sehatkan? Lo gak ngalamin penyakit itu. Tapi, kenapa lo kayak gini? Apa mungkin lo ditakdirkan untuk seperti ini? Kerusakan otak di usia dini," seringai Malika. Melihat wajahnya yang pias penuh ketegangan, entah kenapa Malika puas. Bodoamatlah, sehari jadi Mak Mulut Pedas gak papa kali ya. Jengkel banget!
Menepuk pundak Shasha. "Berhati-hati. Sebenarnya gue gak ada urusan sama lo lagil Jangan melewati batas. Kenapa lo sangat serakah? Menyuruh gue berhenti? Jangan buat gue ketawa." Malika menggeleng, dia pikir pembahasan apa, ternyata pembahasan klise.
Setetes air mata keluar dari matanya. Shasha seakan terkunci dengan intimidasi. Kenapa? Benar, Malika berubah. Dia tidak bisa menerimanya. Ketakutan yang bertambah.
Malika membulat terkejut. Sialan, sang protagonis menangis. Tanda keburukan.
Malika berdeham. "Maaf. Sebenarnya gue orangnya santai. Tapi, kalo gue ngerasa buruk akan sesuatu, gue secara otomatis, secara terprogram akan menggila. Jadi, jangan melewati batas karena kita gak sedekat itu untuk lo bisa lewati garis batas yang gak terlihat ini. Jangan terlalu fokus pada orang lain, tapi diri sendiri. Jangan bergantung pada harapan yang semu karena itu bikin bangsat."