13. Ujian Semester 2

8 0 0
                                    


Ternyata tetanggaan dengan Tio berlalu dengan cepat. Beberapa pekan lagi takdir akan bekerja sesuai keinginannya. Sebentar lagi sudah di penghujung cerita apik ini, masa-masa di mana Arum belajar melepaskan semua kebetulan-kebetulan yang begitu berarti. Iya, kebetulan pada saat ia tak sengaja jatuh cinta dengan masa kecilnya, Tio yang tinggi itu.

"woi!" Nadin is back.

"paan"

"bentar lagi ujian, nggak kerasa udah mau jadi senior tertua aja kita" seraya tersenyum mengamati pemandangan dari atas sini.

"iya, kita sekelas lagi nggak ya?"

"semoga memang iya"

"aamiin"

"eh btw, ruang ujian sama nama-namanya udah ditempel tuh, cari yuk" semangat Nadin seraya menarik lengan Arum dan meluncur ke setiap kelas.

Tapakan mereka terhenti didepan kelas XII MIPA 1. Benar-benar berhenti.

"oh my.." ia tak sanggup melanjutkan ini. Lututnya lemas. Hatinya kembali bergetar kencang.

"eh, kenapa? Ada apa?!" tanya Nadin yang masih fokus dengan Dika di seberang sana.

"gua sekelas sama dia, Din. Gila." Bibirnya ikut bergetar mengatakan kebenaran itu.

"minggir!" Nadin tak percaya.

"OH GOD! YANG NOMOR SEBELAS INI NAMA LO KAN! BENERAN RUM!" iya, Nadin sehisteris itu, "bentar-bentar. Gue foto dulu yaa. Biar jadi tanda bukti" Nadin memotret dengan tangan yang bergetar.

"lemes gue Din, gimana ntar mau kerjain soal! Tanda apa lagi ini ya Allah? Sebelahan aja Arum nggak kuaaat"

"hahaha! Sampai lemes gini temen gua! Kita duduk sini bentar. Eh! Itu Tio ke arah sini!" Nadin menyenggol bahunya dan kembali memperhatikan Tio sekali-sekali.

"udah deh, gue nggak tau mau ngapain, bodo amat dah Tio mau kemana" tiba-tiba Nadin mencubit lengan kiri Arum sedikit kuat dan menyuruhnya diam sejenak.

"oh, gue disini. Eh, dia nomor sebelas. Sekelas juga kita" lirih Tio sangat pelan. Bagaimana tidak, sekecil apapun tetang Tio pasti ditangkap apik oleh Arum, termasuk lirih pelannya itu. Seretan kakinya yang khas terdengar menjauh dari mereka. Arum menyenggol bahu Nadin sedikit keras dan sesekali mencuri pandang meilhat si Jangkung Tio.

"lo denger dia tadi barusan bilang apa!" Nadin tak membalas perkataannya. Ia justru meremas jemari Arum sangat kuat. Ya ampun, tangannya dingin sekali!

"anjir! gue mau pingsan dengernya. Lo nomor sebelas kan!?"

"iya, hehe. Sialan Tio!" bisiknya ditengah-tengah kebetulan itu.

Mencintaimu itu, aneh.

Mencintaimu itu, menggelikan.

Mencintaimu itu, membuatku bersujud padaNya.

Ternyata mencintaimu itu, sederhana.

Setiap detik bertemu dirinya setiap pagi adalah calon masa lalu yang sangat apik dalam memoriku. Setiap menunggu kehadirannya adalah penantian yang tidak sia-sia kala itu. Ya Allah, bagaimana ini. Aku semakin jatuh cinta dengannya. Aku semakin malu kepadaMu. Tuntun hatiku, tuntun hatinya, tuntun kami.-Arum Nadia Annisa.

"Kau Maha Menghendaki Sesuatu, kehendaki-lah yang baik pada kami. Pada rasa yang memang tumbuh karenaMu." Arum.

Hari ini ujian kenaikan kelas diselenggarakan pada bulan puasa. Sangat berkah, bukan? Entahlah, Nadin bilang wajahku merona setiap hari. Hari-hari belakangan ini.

"mashaallah temen gue. Makin cantik gue liat. Pake susuk apaan lo?"

"ah elo" jawabnya tersenyum.

"ini bukan kebetulan, Rum. Ini takdir. Lo sekelas sama Tio, gue sama Dika"

"jujur. Gue menikmati setiap detiknya, Din. Rasanya gue nggak pengen cepet-cepet selesai. Bener kata lo, kesempatan nggak datang dua kali"

Nadin tersenyum. Mereka sama-sama menghembus napas sedikit kuat sembari melihat kegiatan pagi sebelum bel ujian dibunyikan.

Orang-orang lalu-lalang dengan wajahnya yang berseri. Para junior yang masih membahas materi ujian, dan Arum yang masih tak behenti tersenyum hingga Tio datang dengan wajahnya yang berseri juga. Ia mencuri padangan melihat Arum, tapi tunggu dulu, dirinya sedari tadi sudah mengawasinya sebelum pencuri nakal itu menangkap wajahnya yang sedang tidak stabil.

Tio...

Untuk TioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang