Kembali pada rutinitas siswa SMA.
Lebih baik tak terbalas dari pada harus mengenang yang sudah tiada.
"nanti pulang sama Om Denny aja. Dia mau kan ngantar sampe rumah?" ucap Mama seraya mengusap khimarnya pelan.
"itu karna kemaren Pakde yang suruh Ma. Kalo engga, Arum juga nggak tau. Soalnya setau Arum, rutenya beda sama rumah kita"
"yaudah hari ini kalo bisa Papa yang jemput. Tapi besok-besok belajar mandiri lagi"
"iya Pa."
"Pakde cepet banget perginya. Yaah, nggak bisa curhat-curhat lagi deh abis pulang sekolah. Sepi."
Semua kembali dengan wajah baru. Siswa baru dengan seragam putih-hitamnya—semua serba baru, tergopoh-gopoh berlari karena sudah diteriaki oleh beberapa anggota OSIS.
Aku menggelengkan kepala mengingat kejadian itu dua tahun silam. Oh, apa ini sungguh tidak cepat berlalu?
"galak amat sih kakak cantik ini" oloknya pada Nita—teman Arum yang juga anggota OSIS itu,
"eh Arum, udah datang aja pagi-pagi begini. Ehem, btw bagus kan acting gue?" balas Nita dengan senyum kemenangannya,
"parah dah, ngalahin Kak Cepty"
"hahaha! Bisa aja lo! Dia mah parah gila. Gue aja sampe sekarang merinding kalo ngeliat dia"
"untung aja udah nggak ada lagi dia di sini"
"kalo ada, beneran deh, gue nggak berani segalak itu" tersenyum tipis seraya memukul pundak Nita pelan, "yaudah gue cabut duluan, terusin acting lo. Memang bakal artis beneran"
"ohh jelas. Yaudah hati-hati" jawab Nita mengantar langkahku menuju kelas baru "eh Rum! Kelas baru udah dibagiin. Kalo nggak salah lo di MIPA 1"
"seriusan?! Alright Nit, thanks ya!" "yoi."
Suasana gemeriuk memutar film lama. Seluruh anggota OSIS turun ke lapangan sekarang. Seluruh-luruhnya.
Kami masih kaku untuk tersenyum pagi ini. Aku yang masih penasaran dengan kelas baruku, dan dia yang masih sibuk mengurusi kegiatan OSIS-nya yang padat. Lalu kami tak sengaja saling menatap dan menghentikan langkah tiba-tiba. Muka kami bertemu lagi, ia benar-benar berdiri menatapku dengan bibir manyunnya dan aku membesarkan mata ini tak percaya.
Ia melihatku.. lama sekali.
Kemudian ia tersenyum manis beberapa detik.
Kami salah tingkah
Oh yaa Allah, dia manis sekali!
Aku membalas senyuman itu dan membiarkan ia berlalu dengan mukanya yang tak terdefinisikan seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aku kembali memperhatikan punggung jangkung dibalut almamater OSIS gagahnya yang hilang beberapa saat kemudian. Mashaallah.
"Pakde, Tio senyum sama Arum! Pakde harus tau itu! Arum bahagia pagi ini.. pakde.." senyumku sedikit gusar, tapi sedikit saja.
Nadin, maafkan aku. Aku sengaja tak menceritakan padamu waktu itu.
Biarlah semesta yang menjadi saksi senyumannya tersimpul karena hadirku.
Biarlah hanya Allah yang ikut serta dalam cerita sederhana pagi itu.
Tio, lagi-lagi namamu yang terucap.
Tio, kau lagi yang menjadi alasan aku menunduk
Tio, aku cinta pada rasa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Tio
Romansamungkin sudah biasa ketika cinta tak tergenggam, bahkan amat menyakitkan jika dipertahankan. mungkin melepaskan adalah sebuah jalan. dan mungkin percaya takdir adalah suatu jawaban.