8. Alfira

24 4 0
                                    

"permisi,"

Gubrak!

Ia menyenggol tong sampah itu. Isinya terberai, kerja dua kali.

Dua sejoli itu kaget. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dengan tampang buru-buru dan kesal, demikian juga Arum. Langkahnya turun lagi hingga dua tangga, namun Bu Ayu sudah terlanjur setengah jalan menuju kelas. Ia bingung, menggigit bibirnya dan melihat Arum,

"maaf," kemudian berlari ke atas menuju kelas.

Alisnya masih menyudut tak terima, pandangannya belum usai ketika punggung itu sudah hilang beberapa detik lalu.

"o... ouu," kata Nadin dengan sapu ditangannya.

"pasti kerjaan Alvin, iya kan Arum?" suara itu lebih menyentak mereka.

"eh.. i.. iya Bu" jawabnya berantakan sembari menyalami Bu Ayu dengan perasaan campur aduk. Bagaimana tidak, pagi ini ia sudah melihat wajah Tio yang manis, juga wajah Bu Ayu yang... menyeramkan itu.

"lihat saja dia, akan ketemu kalian di bawah sebentar lagi," Bu Ayu berlalu dengan wibawanya seperti biasa. Mereka berdua bertatapan sembari menahan tawa, namun itu nihil ketika Nadin menampakkan giginya.

Nadin, orang paling peka di sekolah.

Nadin masih mengawasinya. Arum seolah membenarkan khimarnya 'sudah rapi, kan?' Nadin mengangguk 'sudah'.

Tak lama itu suara Bu Ayu mengubah suasana sekitar kelas dan lantai bawah geming, angker. Mereka saling melihat lagi. Arum mengangkat bahu 'ada apa?' Nadin memutar bola matanya ke atas 'pasti Tio'.

Ternyata benar, tapakan kakinya yang khas menyeret lantai hingga ia benar-benar muncul di hadapan mereka yang kembali tegang.

"sudah muka tak bersih, bikin kotor pula. Arum, Nadin, berikan sapu kalian, awasi dia bekerja! Jangan beri kesempatan dengan harga kawan. Kalau sampai Ibu melihat kalian juga bekerja, siap-siap sudah mandi keringat pagi-pagi!" Bu Ayu.

Tio tak berkutik, hanya saja bibirnya sedikit ditahan dengan mata yang terus melihat ke bawah. Sesekali menyudutkan alisnya dan mengangkatnya satu.

Mereka betiga masih hening selagi Bu Ayu berjaga di atas sana.

"sudah bikin kotor, tak bisa memebersihkan pula! Plastik sebesar itu pun tak kelihatan, Alvin!?" suara antagonis itu sudah menjadi cirri khas Bu Ayu. Tak ada seorang murid pun yang mampu melawannya, ia terlalu kuat. "untung saja Arum masih punya hati, kalau tidak, sudah lebam pipi kamu ditamparnya" lanjut Bu Ayu sebelum masuk ke kelas.

Iya Bu, saya memang punya hati untuk Tio, hehe.

"ck, bangke," Arum sekali lagi hanya bisa melihat Nadin ketika mendengar Tio berkata seperti itu.

"elo sih, sudah tau ada kelas sama Bu Ayu, kok bisa-bisanya telat. Bahkan cuman lo sendirian" sambung Nadin menghakimi.

Arum diam bagai patung, tak bersuara sedikit pun. Bola matanya dari tadi hanya bergantian melihat mereka berdua. Tio yang kesal melihat Nadin dengan sedikit melotot, dan kembali membersihkan sampah yang berantakan.

Kemudian tersenyum.

"gue telat bangun" katanya.

"masih aja lo telat, Yo? Bukan SMP lagi loh" balas Nadin dengan nada menantang dan mengangkat alisnya satu.

Tio tersenyum, ada apa? SMP?

Percakapan mereka masih terngiang di pikiran Arum, seperti ada yang belum Nadin ceritakan padanya. Lima belas menit kemudian Bu Ayu keluar kelas dengan tapak kakinya yang khas.

"nah, kan bagus kalau begitu. Bertanggung jawab. Tapi lebih bagus lagi kalau bertanggung jawab dengan dirinya sendiri. Kamu pasti telat bangun lagi kan, Alvin?" kalimat itu masih membuat mereka geming. Tio bukannya takut malah senyum cengengesan di hadapan Bu Ayu.

"saya nggak butuh senyuman kamu, Alvin. Kamu telat bangun kan!?" suara Bu Ayu memuncak.

"i-iya Bu," jawab Tio tetap seadanya.

"kalau cita-cita kamu pengen kerja di konter hp, ya nggak masalah. Atau nggak usah sekolah sekalian, habis-habiskan duit orang tua saja." lanjut Bu Ayu.

Tio kembali senyum dengan pandangan ke lantai. Bu Ayu tetap mengoceh sembari turun ke tempat mereka. Ternyata ia membawa tas dan buku yang dibawanya tadi. Mereka kembali saling tatap, pasti Bu Ayu mau pergi, itulah kata mata mereka.

"oke Alvin, tetap lanjutkan sampai jam setengah sembilan. Mengerti, Arum!?" bola mata Bu Ayu dengan cepat berubah pandang. Ia sangat terkejut.

"ah?! Eh.. i-iya Bu" Arum mengangguk sebisa mungkin, menyalami Bu Ayu dengan tangan dingin karena Tio, dan kalimat itu masih mejanggal di kepalanya.

Bu Ayu berlalu dengan bekas jitakan tangan kirinya di kepala Tio, Tio yang malang.

"eh Alvin! Ngapain lo disitu?! Pasti dimarah Bu Ayu kan? Hahaha. Fir! Liat tuh Alvin dimarah Bu Ayu, kesian dia" suara Anjel menyita perhatian mereka.

Perempuan itu melihat sebentar ke arah mereka dan menolehkan kepalanya ke depan secepat mungkin. Tangannya mencubit lengan Anjel,

"apa sih!"

"ah! Sakit tau Fir!" kemudian dua gadis cantik itu berlalu.

Dan sekali lagi, Arum menatap Nadin.

'Alfira?'

***

Sebentar lagi jam dinding menunjukkan tepat ke angka dua belas. kejanggalan dari nama yang berulang kali ia sebutkan mengganggu jam tidurnya.

"Alfira?" argh! Lagi-lagi nama itu.

***

"Rum, kantin yuk, gue bosan" ucap Nadin sewaktu jam kosong di kelas.

"tumben nggak bawa bekal?" jawabnya seraya masih mencoret-coret kertas kosong yang tak kosong.

"iya, Mama apel pagi, jadi nggak masak. Yuk ahh, udah keruyukan nih cacing-cacing gue, kesiaan"

"lu sama... emm.." katanya seraya melihat sekeliling, "nah! Sama Lula aja, okey?"

"nggak, pokoknya sama elooo, cepetan ah. Lo juga nggak jelas coret-coret kayak begitu. Udah, ntar aja bikin puisi untuk Tio, dia juga lagi belajar kan?"

"paan sih. Yaudah buruan"

"lo nggak apa-apa kan, Rum?"

"iya, gue nggak apa-apa"

Haha, lihai sekali Arum berbohong.

***

Alfira Dwinata, gadis dengan tubuh jangkung, sedikit kurus, putih, juga manis. Ia juga berhijab. Periang, layaknya gadis normal dibandingkan denganku. Sempurna.

Untuk TioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang