Secepat kilat Levine menangkup kedua pipi Alana sekuat-kuatnya sampai bibir cewek itu maju lima senti, lalu badannya yang menjulang tinggi sengaja menutupi tubuh mungil Alana.
Alana melotot galak sambil mendumel-dumel tidak jelas. Cowok tak berprikemanusiaan tersebut menyuruh gadis berhanduk untuk diam dengan isyarat mulut yang bergerak tanpa suara.
"Bunda keluar dulu!" teriak Levine, sontak saja membuat Lubna menegakkan badan sangking kagetnya. "Alana muntah-muntah, Bun. Tolong ambilin air hangat di dapur," alibinya menyuruh sang bunda segera pergi.
"Iya-iya, tunggu sebentar!" Tergesa-gesa Lubna melangkah ke dapur tanpa bertanya, yang dipikirannya sekarang hanya kekhawatiran pada anak korban broken home itu.
Bahu Levine merosot lega seiring derap kaki Lubna yang kian menjauh. Ia melirik Alana yang telah bebas dari jeratan menyakitkan ulah refleks lelaki kasar di hadapan.
"Ganti baju!" seloroh Levine sembari mendorong punggung Alana menuju kamar mandi.
Alana yang masih merasa ngilu dirahangnya hanya diam, menuruti apa maunya Levine. Sementara cowok yang sempat serangan jatung tadi menunggu di depan pintu.
"Alananya mana, Vin?" Mata Lubna mengelilingi sekitar mencari keberadaan anak yang sekarang sudah di ambil alih tanggung jawab olehnya.
Santai, seolah tidak terjadi apa-apa Levine menjawab. "Di toilet." Tunjuknya menggunakan dagu.
"Muntahnya banyak?" Lubna bertanya seraya meletakkan segelas air di nakas, lantas duduk di tepi ranjang.
"Nggak tahu juga, Bun. Soalnya pas masuk sini Alana udah mual-mual gitu," tukasnya spontan.
Lubna mengangguk, iris hitamnya menatap was-was pintu yang masih tertutup rapat.
"Bunda ...." Levine menganggil.
"Iya?"
"Nanti, ijin ke Bogor sama temen-temen, ya. Itung-itung liburanlah. Boleh, kan?" pinta Levine meminta persejutuan.
"Iya, boleh."
Segampang itu Lubna memberi ijin. Menurutnya membiarkan anak melakukan apapun yang diinginkan tidak menjadi masalah. Asal tidak mengganggu jam belajar pun selagi positif dan tak merugikan, silahkan.
Tangan cowok itu terkepal mengudara, lalu bersorak 'yes!' beberapa kali.
"Thanks, Bun!"
Decitan benda persegi panjang terdengar, mengalihkan fokus sepasang anak ibu yang saling melempar senyuman.
"Alana?" Sontak Lubna beranjak, terburu-buru menghampiri gadis yang masih mengenakan baju semalam. Dahinya berkerut menatap raut cemberut Alana. "Nggak ganti baju?" tanyanya heran.
Levine menahan tawa, lalu menjulurkan lidah saat tatapnya bertemu dengan Alana yang masih mempertahankan mimik kesal.
"Nggak perlu khawatir, Bun. Alana kan mental baja. Sekalipun lehernya di cekek pake tang juga tetep bisa kembang-kempis hidungnya," kelakar Levine asal.
Gigi Alana bergemelatuk, lalu bergumam lirih, "Syaitonnirojim!" kesalnya menahan amarah.
Cowok itu masa bodo, malah melambaikan tangan. "Otw ya, Bun!" Setelahnya ia pergi sebelum kena amukkan.
Lubna merespon lewat anggukkan, tidak ingin memperkeruh suasana dengan membahas lebih lanjut kalimat Levine yang memancing emosi. Ia beralih pandang pada Alana. "Itu baju yang ada di lemari gantung, boleh dipakai semuanya," ucapnya mengalihkan fokus, menunjuk seluruh pasang pakaian warna-warni di almari yang setengahnya terlihat dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT
Teen FictionAlana, korban broken home sekaligus selebgram berdarah Melayu, terpaksa bertunangan dengan Levine, sepupu sekaligus musuh masa kecilnya. Keduanya tidak bisa menolak ide konyol Lubna-ibunya Levine, hanya cara itu yang dapat membebaskan Alana dari jer...