24. Filosofi Pintu

7 1 0
                                    


Mobil Levine berhenti tepat depan gerbang saat melihat tiga mobil terparkir di halaman rumah. Matanya berusaha keras menyipit demi memastikan siapa pemilik kendaraan itu. Setelah diperhatikan sekian detik rupanya itu punya Lubna, Kay dan tunangannya. Mungkin kedua belah pihak sedang membahas acara resepsi yang akan digelar sebulan lagi. Namun mengapa di rumah calon pengantin si pria? Bukankah seharusnya di kediaman yang wanita?

Masa bodo. Levine menoleh ke arah Alana yang malah sibuk memainkan ponselnya sembari tersenyum-senyum. Sesekali membekap mulutnya dengan pipi yang sedikit merona. Cowok itu menghela napas pelan, menyadari Alana tengah tersipu malu.

Untuk siapa?

"Chatan sama Farren?" terka Levine tanpa basa-basi.

Wajah Alana menengadah, lalu tersenyum semringah bersamaan dengan anggukan mantap sebagai jawaban. Kemudian kembali mengetik sesuatu di keyboardnya sambil cengengesan.

Hening

Disandarkannya punggung tegap Levine di kursi kemudi. Kepalanya dimiringkan ke samping kiri supaya leluasa menatap muka Alana, yang dari hari merengkuh minggu beralih ke bulan selalu menggetarkan dadanya.

"Lan?" Levine memanggil.

Tanpa menoleh Alana merespons. "Hmm ...."

"Liat status WA gue, nggak?"

"Awak buat story?" Alana mengubah posisi duduknya, menyamping. Membuat keduanya berhadapan. "Awak keserupan, kah? Tibe-tibe posting sesuatu. Biasenye kosong pun."

Levine mengembuskan napas perlahan demi mereda emosinya. Ia sedang tidak berminat untuk berdebat. Lagipula mereka sudah lama akur, mana mungkin karena becandaan sepele begini bisa merusak hubungan sedekat nadi yang susah payah dibangun.

"Yang gue tanya udah liat, belum?" tanya Levine terus berusaha sabar.

Sepolos bocah TK, Alana menggeleng dengan muka kebingungan.

"Ngetiknya emang pake jari, tapi yang mengarahkan kata-kata itu murni dari hati," jelas Levine entah mengapa menjadi seserius itu. Alana menangkap gelagat aneh yang ditunjukkan Levine seharian full ini, tapi kenapa?

Dari pada penasaran menggelitik otak. Gegas tangan Alana mengutak-atik ponsel, mencari keberadaan story yang di maksud tunangannya.

Di sana tertampang jelas, sebuah quotes yang berbunyi.

"Ibarat kata pintu. Mungkin filosofi gue di mata lo begitu. Saat hati ini tertutup rapat. Lo berusaha kuat untuk membukanya, tapi setelah berhasil memasukinya dengan leluasa. Tanpa perasaan lo malah sesuka hati keluar-masuk sembarang." Tulis Levine penuh perasaan.

Alana bersaha keras meresapi se-paragraf bait yang berjejer rapi di sana. Mengapa ia berubah jadi tulalit? Telmi? Bodoh dadakan?
Kalimat sejelas itu masih tidak dapat menggoyahkan hatinya.

--

Bunga memanggil Alana dari ambang pintu kelas. Cewek yang disebut namanya, menatap penuh tanda tanya, tapi tangan masih setia membereskan peralatan sekolahnya. Bel pulang sudah berdering setengah jam yang lalu, tetapi masih banyak murid yang belum kunjung pulang. Ada yang mengerjakan tugas kelompok, ada juga yang lanjut eskul. Sementara anggota gengnya menunggu perpustakaan sepi, sebab Alana ingin mengejar catatan yang ketinggalan semasa ijin sekolah beberapa hari lalu. Karena yang lain adalah mahkluk yang setia kawan. Jadilah mereka membuat kesepatan untuk belajar sekaligus menghabiskan waktu bersama-sama di perpustakaan. Sajana dan Tasya sedang membeli cemilan. Alana bersama Bunga menanti di kelas berduaan.

"Kayanya ada nyariin Alana nih!" celetuk Bunga menebak. Bibirnya menyeringai sinis.

Farren bersikap sok cool. Ia mengangguk sambi tersenyum tipis, tapi enggan menimpali.

ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang