27. Kangen Gue, Lan!

6 2 0
                                    

Terhitung dua bulan setelah kepergian dadakan Alana. Menoreh luka berkepanjangan pada keluarga besar Levine, termasuk tiga sahabatnya yang tak sempat berpelukan mesra sebagai bentuk perpisahan. Sajana, Tasya, pun Bunga hanya mendengar kabar menyedihkan itu dari Levine. Semenjak Alana meneruskan hidup di Jepang, cewek berdarah Melayu tersebut menanggalkan seluruh kontak pada semua orang terdekatnya semasa menetap di Indonesia. Kali terakhir anggota IKIDH bertegur sapa hanya via instagram saja. Bahkan nomer WhatsApp baru tidak diberitahukan Alana pada siapapun. Hingga Levine kesusahan sekadar bertanya kabar. Namun Levine tidak pernah putus usa, berbagai macam cara demi mendapat info seputar Alana selalu digencarkan setiap ada kesempatan.

Banyak kali Levine meluangkan waktu, menunggu Alana membalas DM-nya. Karena hanya tinggal media sosial itu saja yang bisa diharapkan. Tangan Levine setiap malam tidak pernah telat menuliskan sesuatu untuk Alana. Seperti kini, kembali jari-jari itu menari-nari di atas papan keyboard.

"Alana ...." Tulis Levine.

"Memang sakitnya menusuk relung hati hingga ke dasarnya. Tapi, tetep aja nggak bisa ngalahin dalamnya rasa sayang gue ke lo."

Send!

Levine menghela napas lega. Ia pasrah bila tidak dibaca ataupun dibalas. Sudah biasa terasa nyerinya. Namun perjuangannya masih panjang, Levine harus lebih giat lagi. Alana seorang berlian yang susah didapatkan. Jadi, harus banyak berkorban bila ingin mendapatkan sesuatu yang begitu bernilai.

"Levine!" Kay menyembulkan kepala dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka. "Buruan keluar! Dah pada nungguin," lanjut Kay, tanpa menunggu respons, ia keluar begitu saja.

Kay telah menikah sebulan lalu. Kedua pengantin baru itu sering sekali mampir ke rumah. Aina kakak ipar Levine sudah mulai akrab dengan Lubna, kedua wanita itu kerap kali terlihat bersama. Entah ke mall, makan bersama ataupun berolahraga. Mereka tampak begitu kompak. Andra sangat bersyukur atas pernikahan tersebut, sebab sedikit demi sedikit ingatan tentang keinginan menjadikan Alana menantu idaman mulai terkikis hilang. Kadang ketika Levine tidak sengaja menyinggung tentang Alana, wanita paruh baya itu langsung menunjukkan ekspresi tidak suka.

"Ujian kamu sebentar lagi, ya?" Lubna mengalihkan obrolan cepat.

Levine membuang napas gusar padahal hanya bertanya, "Alana sekarang sekolah dimana, ya, Bun?"

Namun, lagi-lagi tiada titik terang untuk Levine mengorek informasi perihal Alana barang secuil pun.

--

Mendung. Sepagi itu awan malah justru menghitam menghalangi siluet sumber vitamin D untuk kesehatan manusia di muka bumi. Levine memandangi gulitanya langit, ingatannya melayang pada sebuah kenangan masa kecil bersama Alana sewaktu kelas 3 SD. Keduanya masih akur sebelum tragedi salah paham itu merenggut kebahagian mereka.

"Levine! Tengok tu!" Alana  menunjuk kumpulan serupa asap di awan.

Levine mengikuti arah telunjuk mungil Alana. "Mau hujan? Kenapa emangnya?" Ia tampak bingung.

Anak perempuan berusia sembilan tahun itu terkekeh geli. "Saye tebak tak akan hujanlah. Awan tu menggelap tipu-tipu je. Kalau awak?"

"Kamu ngajak aku taruhan?" Levine balik bertanya, memastikan.

Alana mengangguk dengan ekspresi begitu lucu. Setidaknya menurut Levine kala itu.

"Oke." Levine kecil ikut mengangguk paham. "Kalau menurut aku bentar lagi bakalan hujan. Jadi semisal aku bener. Aku boleh ngelakuin apa aja, ya, ke kamu?" imbuh Levine menatap Alana.

Tangan Alana mengacung. "Saye pun! Bile betul tak hujan. Kau belanje saye es krim!" katanya antusias, optimis akan menang.

Hening

Kedua bocah itu menatap langit menunggu apakah akan turun hujan atau mendungnya yang hilang. Beberapa menit berselang, rintikan hujan membasahi bumi.

Levine berdiri dari duduknya, lari mengitari tanah basah di bawah gerimis sambil tertawa riang. Ia menang. Sementara Alana mengerucutkan bibir imut. Gadis berkucir kuda itu menunduk, ia sangat kesal karena kalah. Levine kembali duduk, memiringkan wajahnya lantas tanpa ada-aba mengecup pipi Alana. Sontak saja Alana mengusap kasar pipinya, sedangkan Levine terpingkal-pingkal senang.

Hujan kian deras, Alana bukan lagi marah, tetapi malah menangis sesegukan. Diusianya yang sekecil itu, ia telah paham bahwa dirinya baru saja dilecehkan dengan atau tanpa disengaja.

Alana menatap Levine garang. Lalu secepat kilat digigitnya lengan Levine kuat-kuat, membuat anak kurus itu kesakitan bukan main. Lalu keduanya sama-sama menangis diiringi derainya hujan. Esoknya Lubna dan Yana saling bertukar kabar bahwa anak mereka sama-sama sakit, yang diketahui keduanya sebab mandi hujan-hujanan terlalu lama. Padahal aslinya, cukup dua bocah lugu itu saja yang tahu.

"Bro!" Leo merangkul cowok yang sedang bernostalgia itu dari belakang tiba-tiba. Kontan saja Levine terhenyak dan terpaksa ditarik kembali ke dunia nyata. Dunia yang tiada Alana disisinya.

Levine menghela napas pelan. Ia tidak ingin marah-marah, dan membiarkan Leo bersikap semau-maunya. Selagi tidak menggangu, Levine tidak ambil pusing.

Kedua remaja yang akan segera hengkang dari jenjang SMA itu menyusuri selasar sekolah. Lalu terhenti depan anggota IKIDH yang kembali bertiga tanpa hadirnya Alana.

"Pagi, Kak!" Bunga menyapa, melambai sekilas. Sajana dan Tasya mengangguk sopan.

"Pagi," balas Levine seadanya.

"Duluan, ya, Kak." Lagi hanya Bunga yang bersuara.

"Oke cantik!" Leo yang menyahut.

Tiga gadis menawan itu menggeleng-geleng saja, sebelum berlalu ke arah kelas mereka yang tinggal beberapa langkah dekatnya.

"Kelas Alana," lirih Levine menatap nanar kelas yang di atas pintunya tertulis jelas plang X IPA A2.  "Kangen gue, Lan," bisiknya teramat pelan, tapi masih bisa didengar Leo.

Cowok disampingnya itu menepuk bahu Levine beberapa kali, kemudian membimbing langkah menuju kelas mereka untuk menimpa ilmu yang hanya menghitung bulan mendatang.

ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang