13. Namanya Spontanitas

10 0 0
                                    

Mengerjap-ngerjap mata Levine beberapa kali, lalu tersadar apa yang diucapkannya akan menjadi boomerang untuknya dan Alana. Menikahi musuh sendiri? Gila, yang benar saja, bukannya akur yang ada malah berkelahi mulu dari membuka mata hingga tutup usia.

Levine menggeleng, kala ingatannya menangkap jelas kaki Alana menendangkanya kuat hingga tubuh yang semula nyaman di kasur terpaksa tersungkur ke bawah. Membayangkannya saja sudah membuat dahi Levine berdenyut nyeri apalagi kalau benar-benar terjadi. Bisa dipastikan tak ada setiap detiknya merasa aman nan tenteram.

"Canda doang. Serius amat!" alibinya, lalu terkekeh hambar. Namun tak ada tanggapan dari yang lain membuat Levine mati kutu.

Hening

"Bunda?" Alana menoleh ke arah Lubna. Mimik wajahnya lesu seketika. "Antar saye balek, boleh?" ungkapnya yang segera mendapat anggukan setuju.

Selepas kepergian sepasang wanita tadi, Levine menghirup rakus oksigen dalam-dalam. Sedangkan Andra melanjutkan minumnya, sesekali terkekeh kecil.

"Makanya, kalau ngomong jangan melulu pakai hati. Kan malah keceplosan kaya tadi. Malu nggak, tuh?" goda Andra sambil meletakkan gelas di nakas.

Levine menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Refleks doang sih," akunya jujur.

"Tunggu ... jngan bilang, kamu takut Alana diambil orang?" tuduh Andra tersenyum jahil.
"Padahal Ayah tadi cuma mau mencairkan suasana doang lho. Ealah malah beneran," lanjutnya makin tertawa ngakak.

Langsung merinding bulu kuduk anaknya itu. Bagaimana bisa berpikiran begitu. Levine saja mengingat Alana sudah mau muntah duluan, sangking gelinya.

"Nggaklah! Nggak mungkin. Tunangan yang nyata aja bisa boongan. Apalagi perasaan yang nggak terdeteksi, semua orang juga pinter manipulasi," serunya, seraya menggeleng, dan berkomat-kamit tidak jelas, yang pasti no Alana dalam barisan takdir hidupnya.

Andra mengendikkan bahu, lantas menyandarkan badannya di kepala ranjang yang telah ditumpuk bantal. "Jalan takdir kalian aja nyaris selalu bersinggungan, apalagi masalah hati. Siapa yang tahu, coba?"

Hening

Andra menghela napas pendek, kemudian meneruskan ucapan. "Yang namanya spontanitas itu berasal dari benak turun ke hati. Lalu terungkap dalam sebuah kalimat dari bibir sendiri, yang nggak bisa kamu dipungkiri."

"Entahlah, Yah. Naudzubillah!" cetus Levine menepis mentah-mentah ucapan sang ayah.

--

Sebelum tidur, Alana selalu menyempatkan waktu untuk video call dengan Andrew melalui Kila, yang setia menemani temannya di penjara. Meskipun kadang bisa, kadang tidak, tapi gadis itu sudah sangat bersyukur. Hari-harinya tidak terlalu kelabu, walau sedikit mengganggu. Namun setidaknya, ia tetap memiliki acuan untuk terus bahagia. Ada papa, keluarga besar Andra, dan sahabat barunya. Semua sudah lebih dari cukup untuk merapalkan kata syukur setiap embusan napasnya.

Esoknya, Alana berangkat diantar Lubna. Hari pertamanya setelah dinyatakan lulus MOS dua hari silam. Cewek yang menggerai rambut bahunya itu telah menyandang gelar sebagai siswa baru SMA Bhineka Nusantara. Sungguh pencapaian yang luar biasa baginya. Setelah setengah mampus berhasil melewati hari yang sangat berat.

Ujian hidup dalam biduk keluarganya seakan kurang dasyat menerpa. Disekolah pun mulai bising cemoohan tentang dirinya. Semua bermula ketika Farren menyebar luaskan akun instagram Alana, lalu secepat kilat sejagat sekolahan tahu apa yang terjadi pada Alana. Berbekal komentar netizen di postingannya yang sebagian besar berempati akan kejadian naas yang menimpa Alana secara beruntun.

Kebanyakan cewek-cewek anggota OSIS yang menghakiminya. Mereka terang-terangan menyindir kalimat-kalimat pedas seputar balada menjadi korban broken home. Alana berusaha kuat untuk tidak ambil pening. Toh, menjadi sorotan publik sudah biasa untuknya. Ini bukan kali pertama atau kedua malah sudah terlalu sering. Jadi, pasti Alana biasa-biasa saja dengan segala caci-maki yang menyerbu tanpa jeda.

Seperti kini, Alana berjalan santai memasuki gerbang sekolahan, setelah memastikan mobil Lubna melesat hilang. Bukan lagi anak-anak OSIS, tapi semua murid menatapnya dengan tatapan sinis seolah Alana adalah orang yang paling berdosa. Padahal apa salah Alana pada mereka? Alana hanya mendapat ketidakadilan takdir, itu saja, dan bukan kemauannya begitu.

Lantas, apa hak mereka memojokkan Alana, sekarang? Atau semua itu hanya berkoar, sebagai bentuk ketidaksukaan cewek-cewek tersebut sebab Alana dengan gampang memikat hati seorang ketua OSIS yang tampan dan kaya raya?

Hah! Alana meniup poninya, tepat saat ketiga sahabatnya saling rangkul terlihat keluar dari koperasi sekolah. Tangan Alana mengudara siap berteriak. Namun kalah cepat oleh orang lain di belakangnya yang dengan paksa menarik ransel Alana. Hingga membuat gadis itu nyaris terjungkal.

"Lo yang namanya Alana?" Cewek itu berdecih, meremehkan.

Alana yang diperlakukan bagai binatang langsung menjawab. "Iye! Saye!" Nada bicaranya tenang, tapi penuh penekanan.

Bibir mungil bernama Sarah itu monyong-monyong sambil mengulang-ulang kalimat Alana dengan nada mengejek.

Alana menegakkan badan, kemudian membenarkan letak tasnya yang sempat merosot.

"Tak ade mase berurusan dengan awak," gumamnya tak berminat.

Setelahnya Alana hendak mengayun langkah pergi. Namun kembali terhenti, sebab salah satu tangan teman Sarah menarik kain bagian pinggangnya sampai membuat baju Alana naik ke atas, berantakan.

Habis sudah kesabaran Alana. Ia menatap datar lantas mengikis jarak dengan Sarah membuat keduanya tak berjarak.

"To the point-lah. Maksud awak ni, ape?" tanya Alana pelan.

Bukannya minta maaf, Sarah yang tak mengenal takut itu, melipat lengan depan dada. "Lo godain cowok gue. Terus gue nggak berhak marah, gitu?"

Alana masih bingung, yang dimaksud cowok Sarah siapa gerangan? Perasaan cewek itu tak pernah mendekati lelaki duluan.

Seakan mengerti ketidakpahaman Alana, Sarah langsung menukas. "Farren." Beritahunya.

Bugh!

Tiga lemparan sepatu tepat mengenai kepala Sarah dan satu sahabatnya yang tengah melabrak Alana. Membuat keduanya mengaduh kesakitan sembari mengusap bagian yang nyeri.

Beda hal dengan orang-orang yang berbuat ulah di tengah lapangan tersebut. Serempak mereka terbahak, lalu dengan senyum penuh kemenangan bertos-ria.

ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang