"Bundaaaaa ...." Alana pulang, berjalan sembari merentangkan tangan menuju Lubna, yang tengah memotong semika kue bolu di meja ruang tamu.Lubna tersenyum hangat menyambut kedatangan keponakan sekaligus calon mantunya. Namun jari-jemarinya tetap cekatan meletakkan iris-irisan kue itu ke piring putih yang kosong.
"Sayang Bunda!" Alana berseru riang seraya melingkarakan lengan di pinggang Lubna. Wanita paruh baya itu tertawa pelan, bingung harus membalas bagaimana. Gadis tersebut selalu berhasil membangkitkan mood-nya.
"Ada maunya, ya?" tebak Lubna setengah bercanda.
Alana terkekeh geli sebab ketahuan. Kepalanya mendongak menatap Lubna lengkap dengan senyuman lebar.
"Bole, tak?" Alana mencoba meminta ijin.
Lubna mengubah posisi. Keduanya sama-sama duduk berhadapan, kaki kanan Lubna satunya menekuk di atas kursi, yang sebelah kiri lurus jatuh menapaki lantai. Sedangkan Alana hanya memiringkan badan.
"Beleh apanya dulu ini?" tanya Lubna ingin diperjelasan atas ucapan abstrak Alana tadi.
Cewek itu menghela napas, siap menceritakan keinginan meskipun berat. Takut Lubna tidak senang hati mendengarnya. Terlebih Alana tahu sendiri, bahwa Lubna selalu ingin di dekatnya , bahkan pekerjaan penting disia-siakan demi menjaga Alana. Namun apapun konsekuensinya kelak, setidaknya Alana harus berbicara lebih dulu agar meringankan beban pikiran.
"Saye nak macam dulu. Sewaktu Alana di Malaysia," ucap Alana berterus terang kemudian.
"Maksudmu?" Lubna masih belum mengerti arah pembicaraan. Dahinya mengerut dengan mata menyipit begitu penasaran.
"Dulu. Alana selebgram di Malaysia, kan? Bunda dah tau pun. Jadi saye nak ...." Alana menyerahkan ponselnya ke depan muka Lubna, layarnya menunjukkan beberapa tawaran menggiurkan yang bisa meraup uang jutaan dalam sekali potret saja.
Lubna membisu, matanya bergerak-gerak menatap lekat rentenan tulisan di sana. Sontak saja gelengan kepala dilakukan Lubna. "Untuk apa?" Lubna kurang paham. "Kalau alasan kamu ambil job ini semata-mata karena uang. Kenapa harus bekerja part time begitu? Bunda dan Ayah bahkan bisa menafkahi Alana lahir dan batin hingga tujuh turunan pun masih sanggup. Jangan ragukan itu," tukas Lubna panjang pendek.
"Ni passhion saye. Alana nak kembali ke kehidupan tu. Penuh collor and always be happy. Melakukan sesuatu kerene hati dan pikiran sejalan tu adalah hal yang paling mendebarkan. Alana nak tu," jelas Alana sedikit merengek, beraharap Lubna dengan gampang terluluhkan.
Hening
Seisi otak Lubna mencoba mencerna ungkapan cewek itu barusan. Artinya? Lubna menggeleng kuat, menepis pikiran negatif yang berusaha menyelinap dalam benak.
"Bukan pulak sebab saye tak bahagia dengan Bunda, Ayah atau pun Levine. Tetapi, saye nak terus berkarya dan berekspresi sesuke hati. Pun tak merugikan, kan? Kenape tak bole?" Alana kembali mengucapkan kemauannya secara terang-terangan. Persetan bila Lubna sakit hati atau tidak, yang pasti Alana tidak ingin hidup terkekang. Ia ingin bebas, seperti kesenangannya kala masa SMP dulu.
Mulut Lubna kelu mendadak. Alana telah mengalahkan sanggahan yang tadi sempat ingin diluncurkan. Namun gagal, sebab Lubna ingat peringatan Levine hari itu.
"Bunda boleh perlakukan Alana selayaknya anak kandung sendiri. Tapi jangan lupakan bahwa Alana juga punya kebebasan yang nggak sepenuhnya bisa dikekang." Kalimat Levine menari-nari dalam kepala Lubna. Membuatnya harus meridhoi cita-cita Alana, walau kesepian akan kembali meracuni hari-harinya ke depan.
--
Terbilang tiga bulan berjalan. Alana lebih sering ditemani Lubna saat ada pekerjaan selepas sekolah. Kadang bisa pulang larut malam, berujung berangkat ke sekolah telat atau lebih ekstrem berujung ijin. Mulanya Alana bingung mengatur waktu, nyaris tiap hari dirinya keteteran. Sering kali Levine mengerjakan tugas-tugas Alana. Malah cowok itu yang sering ngumpul bareng teman se-gengnya. Menggantikan kesibukan Alana yang dari hari ke hari kian menumpuk jadwalnya.
Levine pun jarang bertemu Alana. Namun komunikasi di antara keduanya tidak pernah putus. Levine yang kian pengertian dan perhatian membuat Alana menjadi ketergantungan. Seperti malam ini, cewek itu setelah pemotretan pukul tujuh malam, tetapi Lubna ada urusan bersama Kay yang akan menikahi kekasihnya sejak di kampus. Jadilah Alana menghubungi Levine minta segera dijemput.
"Bunda ninggalin kamu?" tanya Levine sembari mengelap keringatnya dengan handuk kecil di dahi, leher, kepala secara bergantian. Cowok itu sedang berlatih sepak bola. Karena teleponnya terus-menerus berbunyi terpaksa ia undur diri dari lapangan demi mengangkat panggilan dari tunangan rahasianya.
"Dah tu jangan banyak gurau. Jom jemput saye cepat-cepat."
Levine mengembuskan napas, lalu merampas tas di kursi besi yang panjang di tepi lapangan. "Cabut duluan, ya!" teriak Levine ke arah Leo dan temannya yang lain.
"Kemana?" Leo mengeraskan suara.
"Jemput Alana!"
Setelahnya, terburu-buru Levine berlari ke tempat mobilnya diparkirkan yang cukup jauh. Meninggalkan Leo yang geleng-geleng kepala heran.
"Katanya cuma sepupuan, tapi perhatiannya malah lebih dari orang yang lagi pacaran," gumam Leo tak habis pikir. Sudah terhitung ribuan kali ia mendesak Levine agar mengakui perasaannya pada Alana, tetapi Levine kukuh menegaskan bahwa cewek cantik itu adalah sepupu yang diemban penuh tanggung jawab olehnya.
"Alana itu sepupu gue yang diamanatkan Bunda buat dijaga. Bukan diajak kencan!" tukas Levine tak bisa dibantah.
Padahal siapa saja pasti akan mengira keduanya adalah pasangan yang serasi. Yang cewek antik, pintar, terkenal dan cowoknya ganteng plus kaya kombinasi yang sempurna.
Apalagi melihat mata Levine saat mengawasi Alana dari kejauhan sudah bisa ditebak makna tatapan hangat itu. Seyla yang setiap hari memperjuangkan cintanya saja tidak pernah meraih senyuman penuh kelembutan dari bibir Levine. Sedangkan Alana tanpa diminta langsung diberikan semuanya. Jangankan sekadar seulas senyuman, langit dan bumi beserta isinya saja kalau Alana yang meminta. Sudah dipastikan diboyong Levine tanpa tersisa.
Namun ada hal yang sedikit mengganggu nalar Leo. Dari sikap dan perilaku Levine, cowok tersebut seolah sudah terikat cinta mati kepada Alana. Akan tetapi, mengapa setiap kali Farren yang cerdas itu mendekati Alana secara terang-terangan. Levine sama sekali tidak marah atau kesal yang meruju pada kecemburuan. Justru dibiarkan begitu saja dengan syarat Alana harus mengabarinya dalam keadaan apapun saat tak bisa terjangkau.
"Yang terantai cinta segitiga siapa? Kan bukan gue?" Leo menunjuk dirinya sendiri. "Kenapa yang pusing malah otak ini?" Tangannya beralih menoyor kepala sendiri.
Dasar konyol.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT
Teen FictionAlana, korban broken home sekaligus selebgram berdarah Melayu, terpaksa bertunangan dengan Levine, sepupu sekaligus musuh masa kecilnya. Keduanya tidak bisa menolak ide konyol Lubna-ibunya Levine, hanya cara itu yang dapat membebaskan Alana dari jer...