17. Sama-Sama Salah

10 0 0
                                    

Mata Alana membulat lebar. Refleks tanpa segan melayangkan pukulan demi pukulan ke  badan Levine yang telah kurang ajar menciumnya tanpa persetujuan.

"Betuah punya budak!!!" Alana memekik histeris.

Sementara Levine mencoba melindungi diri dari serangan tiada henti yang cecarkan cewek di sampingnya itu.

"Gue--"

"Diam!" sela Alana, masih setia membabi buta memberi serangan makin brutalnya. 

Cowok yang tidak sengaja mengecupnya barusan, diam membisu sembari menggeser-geser badan berusaha mengelak. Kalau tidak begitu bisa remuk redam tubuhnya. Alana memang kecil, tapi tenaganya jangan disepelekan.

"Kenapa kalau cewek lagi murka tenaganya nambah berkali-kali lipat kuatnya?" Dalam situasi berbahaya pun Levine masih sempat-sempatnya berdecak heran.

"Dan kenapa pulak lelaki macam korang. Suke kurang ajar tanpa tahu batasan?!" balas Alana sarkas.

Levine harap maklum. Alana sedang dalam fase ingin menelannya bulat-bulat tanpa pikir panjang.

Lelah, kehabisan pasokan udara. Alana berhenti juga, hidung dan mulutnya serentak meraup rakus oksigen yang ada. Dadanya tersengal, mata kecoklatannya masih menatap tajam ke lawan tempurnya barusan.

"Bole tak saye cakap kasar?" Pelan, tapi penuh penekanan Alana bertanya.

Bodohnya Levine mengangguk, lalu berbisik, "kasar ... kasar ... kasar ...." Teramat lirih Levine berujar, tapi tetap tertangkap jelas oleh kuping Alana.

"Aaaaaaaa!!!" Kembali Alana mengamuk. Merasa dijadikan bahan candaan, lantas tangan mungilnya membentuk bogeman, dan tanpa takut diserangnya rahang Levine. 

"Gila ya, lo!" Kali ini Levine tidak lagi tinggal diam. Rupa mukanya sempurna mengerikan, lebam yang pertama belum hilang rasa sakitnya, kini ditambah derasnya darah mengalir dari hidung bangir itu. Membuat Levine tak dapat lagi menahan sakit yang terasa mengilukan.

"Awak tak ada akhlak!" ceplos Alana, karena terlewat capek tubuh kecilnya disandarkan di kursi kemudi. Membuang muka, malas melihat Levine. Sebenarnya, ada rasa bersalah yang menyelimuti, tetapi terlanjur marah jadilah gengsi. Walau untuk sekadar meminta maaf.

"Lo juga salah! Ngapain muka dideketin ke gue?" protes Levine tak terima. Pasalnya, bukan sepenuhnya kesalahannya. Coba bayangkan bagaimana bisa Levine mencium sudut bibir Alana kalau cewek itu tidak mendekat duluan. Iya, kan?

Alana menoleh ingin membela diri, tapi urung   sebab ponselnya berdering nyaring. Gegas dilihatnya, kemudian matanya membesar seketika.

Itu ... telepon dari?

Gadis tersebut menelan ludah susah payah, lalu berdehem beberapa kali supaya suaranya kembali netral. Dirasa sudah normal, digeser Alana tombol hijau dilayar.

"Selamat pagi, Nona?" sapa seorang laki-laki di seberang sana.

Sesungging senyum menghias bibir Alana. "Pagi, Pakcik," balasnya hangat.

"Alana beneran di Indonesia?" Lelaki itu membuka obrolan.

"Betul."

"Sekarang di mananya? Bisa ke mall Aeon Jakarta, tidak?"

Alana diam sejenak, ia bahkan tidak mengenal tempat yang disebutkan lelaki paruh baya itu.

"Kalau sekiranya bisa ke sana, kamu ke sana, ya. Kami sedang kekurangan model untuk peluncuran gaun terbaru di butik. Kebetulan sekali Bapak Harsya yang biasa ngendors kamu, memberi tahu saya kalau Alana pindah di Jakarta sekarang. Kebetulan yang menguntungkan, bukan? Maaf kalau saya lancang, tapi ini kesempatan buat kamu branding nama di Indonesia. Bisa saja kamu akan menjadi super star sama seperti di negaramu berasal. Siapa yang tahu, kan? Lagi pula saya tidak akan membayar murah untuk gadis se-profesional kamu. Bagaimana?"  Panjang lebar lelaki itu membujuk dan memberi peluang bagus bagi Alana.

Hening lagi.

Pikiran Alana benar-benar berkecamuk, bingung. Ia sangat berminat, tapi bagaimana caranya ke sana? Jalan saja tidak tahu, dan uang sakunya belum tentu cukup untuk ke tempat yang telah dijanjikan.

"Alana?" Pria itu bersuara karena tak kunjung mendapat jawaban yang pasti, sedangkan di sana para team keteteran menyiapkan berbagai perlengkapan untuk pemotretan. 

"Saye ...." kembali Alana dilanda kebimbangan.

Tiba-tiba otaknya menyala serupaampu boklam. Ia berhasil menemukan ide luar biasa dalam benaknya. Tunangannya kan ada.

Alana menengok, tersenyum penuh arti. Levine yang paham hanya memutar bola mata pasrah. Cowok itu sedari tadi menyimak dan mendengar dengan seksama, mengerti segalanya. Tanpa banyak bicara, Levine mengambil alih ponsel Alana dalam genggamannya, lalu menempelkan dikuping kanannya.

"Harus standbye jam berapa, Pak?" Levine to the point.

Tercetaklah senyum merekah lelaki tua itu. "Pokoknya jangan lebih dari sejaman lagi, gimana?" rundingnya.

Levine melirik arlojinya. Sudah menunjukkan pukul lima sore. "Setelat-telatnya abis shalat magrib," gumam Levine. 

"Deal!" Final Bapak itu.

"Baik, Pak. Tolong sharelock, ya."

"Oke!"

Dikembalikan Levine ponsel Alana, lima detik kemudian masuk notif alamat yang harus mereka tempuh. Cepat Alana menunjukkan isinya kepada Levine.

"Nggam terlali jauh," ucap Levine sembari menelisik arah Google Maps di hape.

"Berape lame?" Alana penasaran.

"Tiga puluh menit juga sampe."

"Oke, jom!"

"Hah?"

--

Tepat pukul 17.40 mereka sampai di parkiran salah satu mall termewah di Jakarta yang  berlantai tujuh. Alana hendak membuka pintu mobil, tapi tertahan karena Levine lebih dulu menarik lengannya mundur.

Alana menengok, menatap penuh tanda tanya. "Ape?" ketusnya.

Tuhan, lihatlah makhluk ciptaan-Mu ini mengapa tidak ada rasa terimakasihnya pada Levine. Bahkan ketika cowok itu sudah dengan suka rela membantu, tapi tetap saja tidak dapat mengubah sikap judes Alana untuknya.

Enggan meneruskan perdebatan. Tangan Levine yang bebas satunya mengeluarkan sesuatu dari dashboard. Sebuah kotak persegi berisikan peralatan P3K, lalu disodorkannya depan muka Alana.

Paham maksud Levine. Alana meraihnya meski tidak ikhlas.

"Wajah awak! Kemarilah!" suruh Alana memaksa, setelah dibukanya kotak itu. Ia mengambil selembar kapas, kemudian dibaluri alkohol lebih dulu.

Tanpa bantahan Levine menuruti, mukanya di majukan beberapa senti tepat depan serawut wajah pucat Alana yang jelas kentara kelelahan.

"Pelan-pelan. Jangan pake dendam," peringat Levine, antisipasi. Siapa tahu Alana akan berbuat hal yang nekat demi menyalurkan kekesalannya yang tadi belum terpuaskan.

Tuk! Tuk! Tuk!

Bunyi ketukan dijendela samping Levine terdengar. Sontak keduanya menoleh ke asal suara, rupanya seorang satpam berseragam lengkap tengah menatap garang mereka.

ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang