Brak!
Benturan antara kayu jati dengan tembok menimbulkan dentuman sangat keras. Membuat kedua wanita yang sempat beradu pandang serius itu terperanjak kaget. Sontak mata mereka melolot ke arah ke si pelaku.
"Bunda ... Ayah!" Levine berujar lantang. Napasnya terengah-engah.
Jeda sesaat.
"Ayah kecelakaan," lanjutnya memandang dengan sorot mata gelisah .
Sontak Lubna langsung berdiri, tergesa mendekati sang putra. "Demi Allah?" tanyanya menahan gemetar.
Perlahan Levine mengangguk. Kepala Lubna menggeleng menyangkal, beberapa detik berselang tubuh gempal itu nyaris ambruk, beruntung Levine sigap menopang bundanya.
"Ayah dimana sekarang?" Masih sempat Lubna bertanya, ditengah kondisinya yang down mendadak.
"Rumah sakit, Bun."
"Bunda mau kesana sekarang, ayo!" paksa Lubna menarik paksa Levine keluar kamar.
Sementara gadis yang telah lengkap mengenakan seragam sekolah tersebut hanya diam mengamati punggung keduanya yang kian menjauh.
"Macem mana pulak saye ni?" Telunjuk Alana mengarah ke dadanya, lalu menghempaskan pinggul di ranjang sambil menopang dagu menggunakan telapak tangan. Matanya menatar nanar ke arah pintu yang terbuka lebar. Bukan maksud ingin egois, hanya saja ia merasa diacuhkan. Lantas bagaimana nasibnya? Berangkat sekolah sama siapa? Sendirian, begitu? Memangnya Alana tahu jalan?
"Istighfar Alana. Don't always blame the situation." Dipukul setengah kasar jidatnya oleh kepalan tangannya sendiri.
Baru Alana ingin berdiri, tapi urung karena Levine tiba-tiba menyambar pergelangannya. Menarik paksa supaya cewek itu mengikuti langkahnya, tak lupa tangan satunya Levine yang bebas meraih ransel merah muda yang tergeletak di kasur.
Beberapa kali Alana memberontak, tapi nihil tenaga Levine begitu kuat mencengkramnya. Membuat Alana meringis menahan nyeri.
"Masuk!" titah Levine berhenti di samping mobil sport mahal miliknya. Sedangkan ia mengitari mobil, lebih dulu menyelipkan badan di kursi kemudi meninggalkan Alana yang mematung menahan geram atas perlakuan Levine yang seenak jidat itu.
Levine menyalakan mesin, lalu mengklakson banyak kali membuat kuping Alana memanas. Kontan saja Alana paham sindiran itu. Segera ia masuk dengan tatapan tajam ditujukan untuk Levine.
"Dasar ngerepotin!" gumam Levine tentunya Alana tau itu menyindir dirinya. Namun maksudnya apa? Bahkan selama Alana bernapas di dunia belum pernah anak tersebut meminta pertolongan pada Levine, tapi saat ini? Lihatlah mahkluk aneh itu, berulah seakan Alana benar-benar mengusik hidupnya.
"Nggak terima?" Levine melirik sekilas. "Diem aja! Jangan cerewet!" imbuhnya sarkas. Ia tahu betul cara Alana meluapkan emosi yang meletup-letup, apalagi kalau bukan menyemburkan kalimat yang isinya memancing perdebatan. Sungguh Levine muak!
Mobil melaju membelah jalanan raya yang sedikit lenggang. Awalnya baik-baik saja, Alana sama sekali tidak peduli dengan lontaran pedas dari Levine, hingga pemuda itu menepikan mobilnya di seberang halte bus. Ada empat gadis memakai seragam SMA tengah duduk sembari memainkan hape santai.
"Turun!" perintah Levine.
Alana melotot kaget. "Ape ni?" tanyanya tak terima.
"Budek? Gue bilang turun, dan lo silahkan ke sekolah naik angkutan umum," balas Levine tak berperasaan.
"Hah?" Alana shock.
"Cewek itu." Levine menunjuk cewek berseragam putih abu-abu. "Yang di lengan kanannya ada logo SMA Bhineka Nusantara. Namanya Alsa anggota OSIS yang ikut nge-MOS lo nanti. Gih turun, ikutin dia. Gue mau nyusulin Bunda."
Tangan Alana mengepal kuat, dalam hati memaki habis-habisan. Bisa-bisanya Levine berbuat sekeji ini, di mana letak hati nurani cowok itu. Tidak ingatkah dia bahwa Alana tak pernah berkeliaran di Indonesia tanpa pengawasan orang lain. Namun, bukan Alana namanya kalau memasang tampang memelas. Gadis itu terlalu komitmen pada prinsipnya yang tak ingin dikasihani dalam bentuk apapun.
"Terimakaseh!" Alana menghentakkan kaki sebelum keluar mobil, dan melayangkan pintunya teramat keras sampai Levine refleks berteriak karena terlalu terkejut. Kalau saja tidak menyangkut orangtuanya, sudah dipastikan Levine mengejar Alana hingga keduanya terjebak perseteruan sadis.
"Kak!" Alana menghampiri gadis yang dimaksud Levine tadi. Tanpa rasa malu diulurkannya tangan. "Saye Alana. Akak ni sekolah di SMA Bhineka Nusantara, kan?" tanyanya sopan.
Alsa diam sejenak, bingung dengan ucapan orang asing yang tiba-tiba datang.
"Bole tak kite ke sekolah same-same. Saye tak paham jalan," sambung Alana paham akan keheranan calon kakak letingannya itu.
"Oh, itu." Alsa baru mengerti sembari menyambut uluran tangan Alana. "Boleh kok, boleh. Tapi nunggu bis dateng, ya," katanya menyunggingkan senyum ramah.
Alana menghela napas lega. Akhirnya kegugupan yang ditutupinya terlewakan.
"Gue Alsa. Lo murid baru?" Alsa bertanya, lantas menarik lengannya.
Alana mengangguk, lalu mengambil posisi duduk di samping cewek bersambung sehingga yang di gerai itu. "Sekolah kite jauh, tak?"
"Enggak kok. Tujuh menitan juga nyampe."
Baru Alana ingin melanjutkan obrolan, bus sudah datang membuat dua anak itu saling kode dengan mata agar gegas masuk ke dalamnya. Berselang menit Alana dan Alsa sampai di tembok besar yang di atasnya ada benner 'SMA BHINEKA NUSANTARA'. Cepat mereka turun.
"Lo duluan aja. Gue mau ketemu temen bentar," ucap Alsa tanpa menunggu tanggapan. Secepat kilat ia melenggang pergi menuju warung di depan. Tempat tongkrongan untuk anak-anak yang suka bolos di jam pelajaran berlangsung.
Alana menarik napas dalam-dalam. Cobaan oh cobaan. "Faighting, Alana! Masa depan cemerlang telah menunggu tepat awak memasuki gerbang!" serunya menyemangati diri.
Baru beberapa langkah kaki Alana mengayun. Namun terpaksa tertahan oleh peristiwa yang berhasil membuatnya meringis.
"Astaghfirullah!" seru Alana sembari menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT
JugendliteraturAlana, korban broken home sekaligus selebgram berdarah Melayu, terpaksa bertunangan dengan Levine, sepupu sekaligus musuh masa kecilnya. Keduanya tidak bisa menolak ide konyol Lubna-ibunya Levine, hanya cara itu yang dapat membebaskan Alana dari jer...