Dahi Alana mengerut bingung. Siapa lelaki tua yang memanggilnya tanpa segan itu. Ditelitinya dari atas kepala hingga ujung kaki. Alana sama sekali tidak mengenal orang asing yang tengah mengikis jarak tersebut.
"Yang dicari mana suaranya?" Kembali pria itu berkata, ketika berhenti di sisi kanan kakak-kakak anggota OSIS.
Cewek yang disebut mengangkat tangan. "Saye?" katanya. "Ade masalah ke?" sambungnya masih belum paham.
"Punya kamu?" Disodorkannya sebuah kalung mas putih yang berliontin nama sang pemiliknya 'Alana'.
Sontak Alana meraba lehernya. Ternyata benar benda itu miliknya yang hilang tanpa disadari. Gegas Alana mendekati bapak itu, lalu mengambil alih kalung pemberian mamanya.
"Thanks you, Pakcik," ucapnya tulus sedikit berjingkrang sambil memeluk kalung itu erat.
Kontan saja membuat semua orang tergelak mendengar penuturan Alana, yang menurut mereka begitu lucu. Tak terkecuali lelaki tegap berbaju rapi dihadapannya ikut terbahak.
Mata Alana menelisik sekitar, pipinya menjadi merah merona seketika. Malu.
"Cukup menghibur." Bapak itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, silahkan lanjutkan kegiatan. Bapak pamit." Tangan guru itu diangkat sekilas lalu berlalu.
Secepat kilat Alana berlari ke barisan yang di depannya ada satu cewek memakai kardus di tali ke leher bertuliskan 'Drupadi Squad'. Memang benar tiga gadis di sana enak di pandang. Dua yang hitam manis dan satu kuning langsat berlesung pipi. Alana mengambil posisi paling belakang.
"Oke semua. Apa kalian capek berdiri?" kata Leo mengomando.
"Iya, Kak!!!" pekik lantang seluruh murid baru.
"Baiklah. Kalau gitu, sekarang duduk dulu!" Tangan Leo mengibas-ngibas ke bawah, menginterupsi agar mengikutinya.
Helaan napas lega menggema. Setengah jam mereka berdiri hanya untuk membentuk kelompok masing-masing, yang seharusnya terisi lima orang setiap team, tapi karena ada tiga wanita terlambat jadilah kekurangan personil.
"Setiap regu, duduk membentuk lingkaran!" Lagi Leo berteriak agar semuanya mendengar.
Semua mematuhi perintah tanpa terkecuali. Sembilan anggota OSIS pembimbing berjejer rapi di depan. Sementara sang ketua Farren duduk di bawah tenda tengah memeriksa formulir para siswa baru.
"Gue Bunga. Gadis cantik berselung pipi." Cewek berambut sepinggang yang diikat satu mengulurkan tangan ke Alana.
Dengan senang hati Alana menyambutnya. "Saye Alana," jawabnya ceria.
"Gue Tasya. Hitam manis asli Jakarta." Gantian cewek berambut ikal mengenalkan diri.
"Dan gue Sajana. Hitam manis juga, tapi lebih pintar dari mereka dua." Terakhir cewek paling pendek bersuara.
Bunga dan Tasya bersamaan mengumpat kesal.
"Semoga jadi teman baik," ucap Sajana semringah. Enggan memedulikan tingkah temannya.
Alana mengangguk antusias.
"Kita bertiga udah sahabatan dari SMP." Tasya menjelaskan sembari melirik dua cewek di sampingnya.
"Oh, great!" Alana tertepuk tangan tanpa menimbulkan suara, kagum.
"Mau gabung?" Bunga bertanya.
Alana ingin, tapi apakah secepat itu dirinya bisa diterima?
"Bole ke?"
"Boleh banget malah. Secara untuk ukuran wajar lo sama sejajarnya kaya kita."
Padahal ketiganya jelas sadar bahwa Alana jauh di atas mereka. Alana yang putih bersih serupa kapas, mukanya mulus no pori-pori, hidung mancung, mata lentik. Pahatan wajah yang yaris sempurna. Belum lagi kalau mereka tahu sesungguhnya Alana adalah murid yang pintarnya luar biasa di atas rata-rata. Nambah shocklah nantinya.
Alana tersenyum bahagia, dalam hati mengucap syukur atas diperlancarnya mendapat teman tanpa perlu susah payah mendekatkan diri.
"So, I dah jadi kawan koran, ni?"
Ketiganya mengangguk mantap.
"Iya, kan?" Bunga memandang dua temannya.
"Iya, dong!" Sajana menimpali.
Lalu serentak bersorak keras, "helleh!" Setelahnya meniup poni bersama.
Bingung dengan kekompakkan mereka. Alana menggaruk tengkuknya, tersenyum kaku. Bisa bedakan polos dan bodoh di waktu bersamaan, kan?
"Itu semacam yel-yel buat geng kita," terang Bunga kemudian.
Mengangguk kepala Alana, paham. "Sebab saye dah jadi bagian korang. Berarti saye boleh juga macam tu lah."
"Iya, kan? Iya, dong! Helleh!" serempak ketiganya berucap lantang, membuat anggota Drupadi menjadi sorotan karena sangking hebohnya.
Para cewek-cewek menatap sinis, ada yang minder, ada pula yang terlihat benci karena merasa terganggu akibat ualh kebisingan mereka. Sementara anggota OSIS menatap tajam sebagai bentuk peringatan keras. Lain hal dengan Farren, cowok itu malah terpingkal-pingkal.
"Baru sehari doang, Lan. Tapi lo udah seribu kali buat kehebohan," gumamnya menggeleng heran, sesekali menyeka sudut mata yang berair sangking kalutnya tertawa.
--
Empat gadis yang baru beberapa jam lalu mengikrarkan janji persahabatan itu keluar gerbang. Mereka saling melepar senyuman penuh kebahagian.
"Lo pulang sama siapa?" Bunga bertanya pada Alana.
"Driver Bunda," jawabnya apa adanya. Sebab sebelum pembekalan materi yang berakhir Alana sudah dichat Lubna supaya jangan nekat pulang sendirian, tapi harus menunggu jemputan. "Korang pulak macem mane?" Baliknya bertanya.
"Kita bertiga masih satu perumahan. Bedanya kalau gue di Jalan Cerdrawasih blok A, sedangkan Sajana sama Bunga di blok C-nya," jelas Tasya detail.
"Dan sekarang kita nunggu taksi online." Bunga memberi tahu.
Sembari menanti. Mereka bernostalgia dalam pusaran cerita awal saat pertama di persilahkan memilih bangku di kelas. Sontak tawa berderai mengingat tingkah laku absurb yang kerap kali membantah kakak pembimbing, dan waktu di lapangan tadi sampaimembuat kakak-kakak kewalahan menegur. Hingga berakhir dua cewek telah putus asa dan menyerah karena empat wanita itu sulit di atur. Seperti ketika ada tiga bangku kosong, tapi mereka berempat tidak mau sama sekali duduk. Alasannya tidak ingin ada satupun dari geng IKIDH yang tidak mendapat kenyamanan. Kembali pada prinsip bila satu enak semua harus begitu, dan jika satu susah, semua harus merasakannya juga.
"Ya Allah." Alana mengusap matanya yang telah basah. Sungguh hari pertama sekolah yang.
"Gila nggak sih kita? Buset dah, gue dari tadi ketawa mulu." Bunga masih belum bisa menghentikan tawanya.
"Levine!" seru seorang cewek pada sosok cowok berhodie navy baru keluar dari mobilnya yang di tepikan tidak jauh dari gerbang . Cewek itu tanpa tahu malu memeluk Levine di tengah keramaian.
Alana terperangah menonton adegan manis nan gratis di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT
Ficção AdolescenteAlana, korban broken home sekaligus selebgram berdarah Melayu, terpaksa bertunangan dengan Levine, sepupu sekaligus musuh masa kecilnya. Keduanya tidak bisa menolak ide konyol Lubna-ibunya Levine, hanya cara itu yang dapat membebaskan Alana dari jer...