Ditelepon, Levine mengungkapkan seluruh keluh kesannya pada sang ayah. Ia bilang, akan memenuhi permintaan bundanya, tapi dengan syarat yang telah ditetapkan Alana.
Seperti yang telah dirundingkan. Pertama tidak ada pernikahan dini, tapi lebih ke pertunangan. Kedua, tak boleh saling sentuh satu sama lain, dan yang ketiga semua yang terjadi hanya sementara sampai Andrew mampu mengganti uang yang dikeluarkan oleh Andre untuk melunasi masalah utang. Anggap saja hubungan mereka hanya sebatas simbiosis mutualisme, Alana beruntung sebab bisa bebas dari jeratan pergadaian manusia, sedangkan Lubna mendapat anak perempuan sesuai keinginannya yang belum terpenuhi.
"Nggak bisa gitu, Vin!" Andra menyergah tak setuju. "Syarat satu dan dua, okelah. Tapi yang ketiga? Kamu bisa buat Bunda gila kalau begitu," terangnya.
Hening
Levine sadar jalannya salah, tapi mustahil membuat Alana jatuh hati sampai mau diajak ke jenjang yang serius. Sementara gadis itu tahu aibnya dari dulu. Pasti Alana teramat jijik hingga kini. Namun, mengingat sang bunda telah kehilangan putri kembarnya yang masih di kandungan. Membuat wanita itu mengalami pendarahan hebat, lalu berakhir Dokter memvonis Lubna tak bisa lagi memiliki anak, karena mau tak mau rahimnya harus diangkat jika tidak nyawa menjadi taruhannya.
Bertahun-tahun, Lubna menahan sesaknya. Beberapa kali ia memanfaatkan masa liburan Levine untuk ke Malaysia, alasannya klasik hanya ingin mengajak putranya berlibur. Padahal, cuma ingin menikmati hari bersama Alana, bocah super aktif yang sangat pandai mengambil hati orangtua.
Terbayang jelas dalam ingatan Levine, bagaimana bila Alana benar-benar diambil alih orang lain. Pasti, kesedihan lebih mendominasi. Ini kesempatan bagus untuk Lubna, bukan berniat memanfaatkan musibah, tapi mungkin sudah jalannya begini, yang pasti Lubna hanya ingin Alana menjadi bagian keluarganya secara resmi.
"Yah?" Levine memanggil. "Turuti saja mau, Bunda. Urusan permintaan ketiga, Alana nanti biar aku urus, yang penting Ayah tau permasalahannya. Dan mengenai Bunda untuk itu lebih baik kita rahasiakan dulu. Kalau ada waktu yang tepat, baru dikasih tahu. Gimana?" Dikemukakannya pendapat. Semoga Andra berkenan menerima.
"Ini rumit sekali, Vin," balas Andra bingung.
"Iya. Aku tau, Yah. Nanti Alana juga bakalan ngasih pengertian ke Om Andrew. Jadi, imbangkan? Dari pihak aku ada Ayah. Dari pihak Alana, Papanya juga paham."
Andra sependapat dengan Levine, tetapi ikatan yang dimaksud Lubna bukan yang main-main. Wanita beranak dua itu ingin sekali keponakannya fix menjadi menantu. Bahkan sebelum Levine menelepon, Lubna sudah lebih dulu memberi tahu. Sangking semangatnya Lubna sampai ingin risign dari kerjaan demi mengurus dan menemani masa SMA Alana yang tinggal seminggu lagi.
"Baiklah, bila itu yang terbaik buat sekarang. Tapi janji, jangan sampai Bunda tau tentang perjanjian ini."
"Iya, Yah. Tentu."
--
Acara sederhana, hanya mengundang kerabat dekat beserta beberapa tetangga untuk menjadi saksi pertunangan Alana dan Levine, semua pun sudah siap sedia.
Sebut saja pertunangan dadakan, sebab baru paginya Levine menjelaskan supaya tunangan dulu baru pernikahan digelar setelah Alana lulus SMA. Mulanya Lubna menentang mati-matian, katanya terlalu lama. Namun, dengan sigap Andra memberi pengertian dari hati ke hati hingga membuat Lubna luluh lantah dan menyetujui konspirasi putra keduanya.
Kay baru datang, sebab terlalu sibuk. Ia segera menuju ruang tamu yang telah di sisi orangtuanya, pun Kila, Hanel, Levine dan Alana. Tak lupa Andrew yang standbye via video call WhatsApp siap menyaksikan pertunangan sang anak.
Tangan Lubna perlahan terangkat, meraih jemari Alana lantas dengan tampang penuh bahagia dipakaikannya cincin perak di jari manis calon menantunya. Lalu gemuruh tepuk tangan menggema riang gembira. Sementara Andrew di ujung telepon yang dipegang Andra, menitikan airmata haru bercampur bahagia. Sayangnya, yang ia ketahui bahwa pertunangan sepasang insan itu hanya sebatas kedok pelunasan hutang. Andrew benar-benar menyesal telah membuat batinniyah sang anak menjadi korban.
Usai penyelenggaraan malam itu, semua tamu pulang termasuk Kila dan Hanel yang harus bergegas kembali mengunjungi Andrew, sebab besok adalah sidang pertamanya.
Kini, Alana di kamar seorang diri. Mematut diri depan ponsel memandangi papanya dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
"Tak payah risau. Alana baik-baik je," tegasnya, meski nada bicara kentara parau.
Andrew menghapus sudut matanya, lantas tersenyum menguatkan. "Papa bingung nak cakap ape-ape lagi. Tapi yang pasti, sejak Alana masih dalam kandungan Mama, setiap detik selalu membuat kami bangga. Termasuk pengorbanan awak pekan ni."
Setetes cairan bening mengalir di pipi Alana. Perasaannya makin berkecamuk antara sedih dan haru menjadi satu.
"Lepas Papa bebas. Papa janji, akan kerje keras demi membayar hutang, dan kite kembali bersame dan bahagia selamenye," sambung Andrew penuh keyakinan.
Alana lega mendengar antusiasme dari sang ayah. Membuat dirinya tak terlalu takut lagi. Setelah ini gadis itu bertekad akan lebih giat lagi bekerja via sosial medianya, mengumpulkan banyak uang untuk menembus kebebasan statusnya. Terlebih sekarang Andrew mendukung sepenuhnya. Lantas apalagi yang perlu ditakutkan? Toh, waktunya masih panjang, masih tiga tahun mendatang.
"Kite pasti bise!" serunya mengepalkan tangan ke udara.
Andrew terkekeh geli melihat kelakuan anaknya. "Bole-bole, boleh!" Ia mengikuti gerakan Alana. Lalu cairlah suasana. Alana kembali tertawa dan banyak bercerita tentang hidupnya yang sekarang.
Tanpa disadari, di lain tempat, tepatnya dibalik pintu ada seseorang yang menguping obrolan sepasang anak dan ayah tersebut. Mimik mukanya datar, tapi rahangnya mengeras. Menahan amarah.
--
Ternyata Lubna tak asal bicara. Di hari pertama Alana masuk sekolah, hari itu juga ia berhenti bekerja. Memilih menjadi ibu yang baik untuk Alana. Seperti sekarang, wanita berumur empat puluh tiga tahun itu tengah asik mengepang rambut Alana menjadi dua bagian di depan cermin hias.
"Cantik banget mantu Bunda!" cetus Lubna, merasa puas atas hasil karyanya yang semakin membuat Alana kian menawan.
Alana hanya cengengesan, bingung mau menanggapi apa. Sedari subuh Lubna sudah menyuruhnya supaya memanggil dengan embel-embel 'Bunda' bukan lagi tantenya.
"Bunda yang anter kamu ke sekolah, ya?" tawar Lubna tak terbantahkan.
Sebenarnya Alana tidak sampai hati membohongi Lubna, tapi bagaimana? Levine bilang, "terserah lo anggep atau enggak hubungan kita yang sekarang. Tapi, jangan pernah ngecewain kepedulian Bunda. Karena sekali dia sakit hati, mungkin masih bisa mengasihani, tapi nggak akan pernah peduli sepenuh hati lagi." Kalimat yang terus terngiang dalam kepalanya. Kala itu Alana ingin Lubna mengetahui semua sandiwara yang akan dilakoninya dan Levine, tetapi dengan keras dilarang cowok itu. Alana yang takut kehilangan kasih sayang dari Lubna hanya menuruti kemauan tunangannya.
"Lho, kok melamun? Jelek kepangannya, ya? Mau diganti gaya yang lain?" Lubna segera meraih sisir di nakas, hendak mengubah untaian rambut Alana. Namun urung saat gadis itu menggeleng dengan bibir menyungging senyum.
"Comel ni. Manelah saye tak suke," ucap Alana sembari menggoyang-goyangkan kepalanya ke kanan dan kiri, menatap kagum pada pantulan dirinya dalam kaca.
Lubna lega seketika. Ia sempat berpikir yang tidak-tidak. "Alhamdulillah," syukurnya mengusap dada.
Benar yang dikatakan Levine, bahwa sang bunda sungguh menyayangi Alana segenap hati. Lihat saja saat ini, wanita itu sibuk meraih perlengkapan sekolah Alana di ranjang. Padahal telah tertata rapi sedari malam. Alana hanya menghela napas pendek, berharap kedepannya akan baik-baik saja.
Berselang menit kemudian, pikiran Alana berganti. Lidahnya teramat gatal ingin menyampaikan sesuatu. Lalu dipanggilnya Lubna dengan lirih.
"Bunda ....."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT
Teen FictionAlana, korban broken home sekaligus selebgram berdarah Melayu, terpaksa bertunangan dengan Levine, sepupu sekaligus musuh masa kecilnya. Keduanya tidak bisa menolak ide konyol Lubna-ibunya Levine, hanya cara itu yang dapat membebaskan Alana dari jer...