15. Pura-Pura Tidak Peduli, Tapi Setia Mengintili

10 0 0
                                    

Sesaat pikiran Alana melesat jauh ke beberapa hari silam, demi mengingat janji apa yang telah dibuatnya bersama Farren. Setelah menemukan kepingin itu, gegas kepalanya mengangguk.

"Main ke hause Abang, kan?" terka Alana memastikan.

Seulas senyum membayang bibir Farren. "Bagus deh, lo masih inget," balasnya, dadanya agak turun sedikit merasakan kelegaan.

"Resek banget lo, Kak. Gagalin planing kita aja." Bunga menyahut ketus.

"Lha gue mana tau kalian mau ngapain. Lagian nih ya, ini bukan niat mau modusin Alana. Tapi, demi Nyokap. Itu doang nggak lebih," jelas Farren supaya yang lain tidak salah paham.

"Serah deh."

Alana memeluk tubuh Bunga dari samping erat. "Sorry korang. But, ni dah promise pekan lalu. Saye tak dapat tipu Abang Farren punya Emak. Kali ni je, ye? Bole, kan?" tanyanya meminta pengertian.

"Yah, rencana kita terpaksa ditunda. Mau gimana lagi, coba?" Bunga makin lesu. Pasalnya, sedari pagi-pagi buta para gadis itu telah merancang banyak seseruan sepulang sekolah. Namun, harus kandas tersebab kakak kelasnya yang supel itu.

Huh! Dasar!

"Minta maaf, ye." Alana makin mempererat dekapannya, disusul Sajana dan Tasya ikut nimbrung.

Levine membuang pandangan, dalam hati berdecih sinis. "Drama!" bisiknya pelan, serupa desau.

"Ngapa lo? Cemburu? Ama siapa? Yang mana?" Beruntun Leo bertanya, mendesak temannya. Sesekali matanya melirik Levine dan anak-anak di lorong itu dengan tatapan curiga.

Diserobot Levine se-cup jus alpukat. Tanpa minat menjawab ke kepoan sang sahabat.  Kepalanya makin berdenyut nyeri. Sungguh Alana merepotkan saja. Apa dia tidak memikirkan perasaan tunangannya? Atau calon mertuanya? Mengapa bisa bertingkah seenak jidat jalan sama cowok lain, dan apa tadi? Ke rumah Farren? Tripple sinting memang.

Secepat kilat diseruput Levine jus dalam genggaman hingga tandas tak berbekas. Lalu beralih ke arah Leo. "Duluan," pamitnya memasang ekspresi datar.

Sungguh Levine benar-benar kalang kabut, bingung harus melakukan apa.

"Membiarkan Alana pergi begitu saja? Atau hanya diam? Pura-pura tidak peduli? Tapi mengintili? Oh, tidak. Gue sempurna menjadi menguntit gratisan!" batin Levine frustasi sambil berjalan. Kepalanya makin pusing tujuh keliling.

--

Bel empat kali berdering, tanda pulang sekolah membahana keseluruh penjuru ruangan tanpa terkecuali. Pun ibu guru yang tadinya masih membahas seputar mata pelajaran kimia itu, mau tidak mau harus mengakhirinya.

Seusai salam menggema. Alana menepuk punggung tangan Bunga, memberi pengertian untuk kesekian kalinya

"Tak merajuk, kan?" Alana bertanya, sebenarnya tidak enak hati. Namun, bagaimana sudah terlanjur janji.

Bunga menggeleng emah. "Gantinya besok, ya? Awas sampe ingkar lagi," ujarnya memperingati.

Alana mengangguk setuju. Sebelum keluar kelas, dipeluk sahabatnya itu. "Sayang awak!" cetusnya tulus.

"Yah melow deh. Kan gue jadi ikutan terharu," sahut Sajana dengan gaya dibuat sedemikian mendramalisirnya sambil pura-pura menyeka sudut mata.

Tasya mendesis gemas, lalu segera membekap mulut temannya yang lebay itu.

"Dah tu tak payah sedih-sedih. Jumpe esok. Alana balik dulu. Bye-bye!" Kalimat terakhir Alana sebelum kakinya mengayun ke arah pintu kelas, meninggalkan Bunga yang hanya bisa mengangguk tak berdaya.

"Astagfirullah!" Nyaris Alana melompat sangking kagetnya. Rupanya Farren gerak cepat. Perasaan bel baru berbunyi, dan itu belum ada lima menit yang lalu. Namun, sesegera itukah Farren menjemputnya.

Farren tersenyum manis. "Keget banget kayanya. Masa iya liat cowok ganteng gini shock-nya ngelebihin ketemu setan," pungkasnya, lantas tertawa cool.

Cewek yang telah pulih dari rasa keterkejutannya itu mengelus dada pelan-pelan, lalu menggeleng samar.

"Dah lupain omongan gue barusan. Sekarang mari kita pulang." Entah kenapa Farren mengangkat lengannya seperti orang yang minta digandeng.

Alana mengernyit heran. "Ape ni?" ucapnya masih kebingungan.

Farren meringis malu menyadari bahwa Alana menolaknya meski dengan cara halus, kemudian menarik kembali lengan.

"Gapapa kok. Gue cuma ngangkat ketiak, takut lengket," alibinya gelagapan. Bodok kau Farren alasan itu benar-benar konyol dan tidak bernalar sama sekali. Pikir Farren menyalahkan diri sendiri.

Dahi Alana makin mengerut semakin tak mengerti. "Apelah Abang ni,"katanya tak habis pikir, kemudian menderap langkah duluan, meninggalkan Farren yang menahan malu sendirian. Pasalnya ini di kelas X IPA A2. Tempat yang cukup dekat gerbang. Otomatis banyak orang-orang yang sedang berlalu lalang, dan sialnya melihat adegan tak mengenakannya barusan.

Baru Farren akan mengekori Alana, mata cowok itu menoleh ke samping kanan, dan ternyata kekasihnya itu sedang menatap datar ke arahnya. Makin hancur leburlah pikiran Farren.

--

Farren mempersilahkan cewek yang dibawanya pulang itu masuk ke rumah. Merasa telah diberikan ijin. Gegas kaki Alana berlari kecil ke arah pintu yang terbuka lebar. Seolah disengaja oleh sang pemiliknya sebab sedang menunggu seseorang.

"Assalamualaikum ...." Setengah berteriak Alana menjejakkan kaki di ruang utama.

Segera seseorang menyahut dari arah dapur. "Wa'alaykumussalam!" jawab wanita tersebut semangat. Terburu-buru tangan ringkihnya memutar kursi roda yang ditungganginya menuju ke depan.

Kepala Alana menoleh ke asal suara, sesungging senyum tercetak indah di sudut bibirnya. Sigap Alana mendekati Sisi yang terlihat kesusahpayahan mendorong roda itu.

"Tante sihat?" Basa-basi Alana, tangannya terulur, menarik punggung tangan wanita paruh baya itu, lalu disaliminya takdzim.

"Pertamanya nggak begitu baik, kaya ada masalah di pencernaan gitu. Tapi setelah kedatangan tamu spesial langsung segar bugar ini badan," ungkap Sisi bersungguh-sungguh.

"Pandainye bergurau." Alana tertawa cukup keras. "Mimanglah Alana ni pembawa berkah," sambungnya ke-pede-an.

Buyarlah tawa renyah keduanya, mengelilingi seluruh penjuru ruangan rumah mewah itu. Sedangkan Farren yang baru memasuki rumah sehabis memarkirkan mobil di garasi hanya menggeleng tanpa peduli. Memilih mengistirahakan badan di ranjang dan berusaha menjelaskan kesalahpahaman insiden di sekolahan pada pacar empat bulannya.

Dua wanita yang mudah akrab itu memilih duduk di karpet buldru di ruang tamu depan televisi. Ditambah banyak cemilan menggepar di atasnya.

"Kamu ingat?" Sisi membuka obrolan. "Vlog kamu pas masak telur goreng pake air?" tanyanya sembari tertawa karena tak tahan, saat ingatannya menangkap jelas tingkah laku ajaib Alana di youtobe. Betapa heboh gadis itu bermonolog seorang diri deoan kamera.

Alana mengangguk mantap, seakan tawa itu menular ia juga terbawa suasana. Kembali mereka terpingkal geli.

"Iyelah. Malam tu kan, saye pusing nak makan ape. Stok makanan di dapur habis semue. Hanya ade satu telur tersisa. Mulenye saye ingin jadikan telur dadar, tapi nasib sial minyak habis. Kerene saye banyak pandai jadilah pakai air westafel. Walaupun  terlesan aneh, tapi tetap sedap," jelas Alana panjang lebar.

Lagi-lagi Sisi tak bisa menahan tawanya untuk tersemburkan. Sungguh wanita itu bahagia sekali bisa bertemu gadis unik seperti Alana. Sudah cantik, pintar, mandiri, humble, gampang menggait hati orangtua pula. Patut dinobatkan menjadi menantu idaman.

Mulut Alana hendak kembali nyerocos, tapi urung tiba-tiba ponselnya berbunyi. Satu notifikasi masuk. Ia sempat melirik Sisi kode meminta ijin, dengan lapang dada Sisi mempersilahkan.

Lalu, hening.

Isi pesan itu.

ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang