5. Pertunangan

28 4 0
                                    

Secara beruntun Lubna menceritakan kesialan yang menimpa keponakannya. Dimulai dari perceraian, kasus bandar narkoba, hingga ajang jual beli Alana. Kejadian menyesakkan itu membuat sisi hati Levine tercubit nyeri. Mengapa dirinya baru mengetahui sekarang, dan parahnya beberapa hari lalu bukannya cowok itu menyambut dengan prihatin, malah memicu emosi Alana terus tersulut tanpa henti.

"Jadi, gimana? Mau bantu menyelesaikan masalah Alana?" Lubna menagih jawaban.

Dahi Levine berkerut, bingung. "Oke, tapi gimana caranya? Aku aja masih SMA, semisal disuruh nulasin hutang mana bisa?"

Berdecak kesal, Lubna memajukan badan, lantas membisikan sesuatu di telinga bungsunya. "Cara tergampang! Menikahi Alana!"

"Bunda!" Tanpa sadar Levine membentak.

Solusi macam apa tadi? Tidak salah dengar?

Ditepuk kuat lengan Levine oleh ibunya. "Kok ngegas? Udah berani sama, Bunda?"

Levine menggeleng merasa bersalah atas reaksi spontannya. "Masih sekolah, Bun. Mustahil banget. Lagipula Alana belum cukup umur juga," alibinya lumayan masuk akal.

Lubna berpikir sejenak, lalu menjentikkan jari saat logikanya menangkap ide brilian. "Nikah siri aja! Yang penting halal di mata Agama!" serunya antusias.

"Bunda ...."

"Turutin aja, susah banget. Lagian kamu dari kecil sampe sebesar sekarang nggak pernah punya pacar. Langsung nikah kan malah lebih aman."

Levine ingin sekali menolak, tetapi takut menyakiti banyak hati orang sekitar. Andai ini ajang perjodohan sudah dipastikan ia akan menolak mentah-mentah. Namun, kondisi yang begitu genting memaksanya untuk bungkam. Benar Levine dan Alana saling membenci, tapi bukan berarti cowok itu tak punya hati nurani.

"Kok bengong sih!" Gemas, Lubna mencubit perut putranya.

Hening

Levine pusing harus bagaimana. Sejujurnya bukan urusannya, tapi ibunya begitu sayang Alana, mana bisa konflik hidup sepupunya itu tak dibantu.

"Bunda takut ...." Lubna mencetus, lemah. Lalu dengan begitu lirih memberi tahu Levine tentang kegelisahan yang beberapa hari terakhir mengusik pikirannya. Ia sangat takut kalau-kalau Alana diboyong Kila atau pun yang lain. Sungguh Lubna tak pernah rela meski maut menjemput sekali pun.

Walau teramat sulit, Levine harus gegas memutuskan. Sebab ia paham betul sifat bundanya yang tak sabaran.

"Gimana baiknya aja, Bun," tukasnya kemudian, membuat lengkungan lebar menghias sudut bibir Lubna yang sempat merenggut lima detik lalu.

"Alhamdulillah." Lubna bersyukur memiliki anak yang penurut, lalu mencium pucuk kepala Levine. "Anak ganteng! Anak soleh! Bunda bujuk Alana dulu, ya!" pamitnya, tanpa menunggu respons, tunggang langgang kakinya menuju tempat istirahat Alana.

Sepeninggal Lubna, Levine menyandarkan punggung di sofa. Tubuhnya lelah menyetir dari Bogor sampai Jakarta dengan terburu-buru demi memastikan keadaan sang bunda.

Prihal Alana, Levine pasrahkan saja.

--

Mengerjap beberapa kali mata Alana, menekuri maksud ucapan tantenya.

Pernikahan dini?

Tak pernah terlintas sedikit pun kalimat itu mengisi agenda cita-citanya. Akan tetapi, takdir memperumit segala angan-angannya. Seolah tak cukup penderitaan yang hadir, sekarang dipaksa menikahi lelaki kurang ajar yang menurut Alana sungguh menyebalkan.

"Ayolah, Sayang. Mau, ya?" Lubna terus meluncurkan rayuan demi rayuan mautnya, berharap Alana segera menerima dengan lapang dada.

"Kamu nggak usah takut sama Levine, dia setuju kok. Urusan Papamu nanti Tante dan Om yang akan bicara," ucap Lubna penuh keyakinan.

"Ini bukan paksaan, Nak. Tapi demi kebaikanmu dan keselamatan Papamu. Tante yakin pasti Papamu takut kamu kenapa-napa. Nah, dengan kamu di sini sebagai istri Levine itu pasti membuat Bang Andrew lega. Karena anaknya telah mendapatkan tempat berlindung yang tepat." Panjang lebar Lubna berujar.

Dalam benak, Alana membenarkan sebagian ringkasan itu, tapi sisi lain hatinya menentang kata pernikahan. Ia belum siap, sangat belum siap! Masih banyak hal yang belum dicapai, perjalanan karirnya masih panjang. Bila menjadi istri orang, pasti banyak kekangan dan harus manut pada suami. Alana sungguh tidak ingin itu terjadi.

"Alana ...." Digenggam Lubna jemarinya. "Kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti keadaan darurat seperti sekarang ini," terangnya, memandang lekat sang keponakan supaya paham bahwa kemauannya itu murni bentuk rasa peduli.

Alana menghela napas pendek. Baiklah, sisi tegasnya mulai berkobar. Ia mengangguk, lantas berkata, "Saye terima tawaran tu. Tapi, saye nak cakap sekejap bersama Levine," putusnya final.

Senyum lebar merekah indah di bibir Lubna. Wanita itu menepuk-nepuk punggung tangan Alana bahagia.

--

Duduk bersebelahan. Kaki Alana menggantung di pinggir kolam renang, sedangkan Levine duduk bersila menatap gadis menawan di sampingnya.

Beberapa menit berselang, tapi keduanya masih saling diam. Alana bingung ingin memulai obrolan dari mana, sementara Levine menunggu apa yang akan dikatakan lawan bicaranya.

Alana meniup poni berkali-kali, dirasa sedikit tenang. Ia menoleh ke sebelah.

"Apa?" Levine menaikkan satu alisnya, kemudian bersedekap dada.

"Nak kawin ke dengan saye?" tanyanya tak selera.

Levine menahan tawa. Kawin? Batinnya terbahak. Ingin rasanya mengingatkan cewek itu bahwa mereka bernapas di Indonesia sekarang, bukan Negeri Jiran. Kalau saja yang diajak rundingan adalah lelaki hidung belang, bisa habis Alana dimakan.

"Maksud lo nikah?" Levine meralat, mimik mukanya dibuat datar.

"Tau pun." Alana membuang muka ke sembarang arah.

"Emang ada yang salah kalau nikah muda?"

Alana menggeleng. "Tak. Tapi, bile yang jadi calonnye macam Abang Kay, bolelah. Kalau tengok jantan kelaianan macam kau ni manelah aku berselera," cibirnya berdecih sinis.

Cepat, disumbatnya mulut Alana. Cowok itu menoleh ke kanan kiri, khawatir ada yang menguping. "Jangan ceroboh!" peringat Levine geram.

Tak mau kalah, Alana menggigit telapak tangan Levine. Membuat empunya memundurlan badan menahan ngilu.

"Awak tu tak ade sopan santun ke?! Ini mulut--"

"Sttt!" Jari telunjuk Levine mendarat di bibir Alana. "Lo mau ngoceh apa pun tentang gue terserah. Tapi tolong untuk kejadian kita di masa lalu jangan dibahas lagi!" tekannya memperingati.

Alih-alih takut, Alana malah mendengkus kesal. Disingkirkannya jari itu. "Dah tu. Saye tak nak basa-basi. To the point je. Nak kawin, tak?" cecarnya mulai malas.

"Lo ngebet banget, ya?" tanya Levine terkekeh geli.

Dipelototinya Levine. "Najis!"

"Capek debat mulu sama lo! Ke intinya aja, bego!" Levine menoyor kuat jidat Alana.

Alana berdecak kian sebal. Namun, malas berlarut-larut dalam perdebatan yang tak ada ujungnya. Akan lebih baik bila ia menyelesaikan permasalahan satu per satu, agar sedikit meringankan beban pikiran yang serupa terbelit rantai sangking beratnya. Alana pun lelah dari ke hari masalah makin menumpuk tanpa ada kata berhenti.

"Bile dingat-ingat, saran Tante tu cukup bagus. Tapi, kene ade syarat tertulis antara kite berdue!" ungkap Alana tegas.

"Syarat?" ulang Levine pelan.

Alana mengangguk mantap. Mata lentiknya lurus menatap gemerlap cahaya remang-remang di seberang, lalu memberi tahu syarat dan ketentuan sebelum pernikahan itu di selenggarakan.

"One." Jari telunjuk Alana mengacung. "No wedding, but ...."

"Tapi?" Was-was dada Levine menunggu kelanjutan.

"Pertunangan!"

ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang