16. Dari Pada Ngiri, Mending Cari Kebahagian Sendiri

10 1 0
                                    

Chat asing yang berasal dari aplikasi WhatsApp. Nomer itu mengirimkan beberapa gambar sepasang insan tengah bercinta tanpa sehelai benang pun. Lalu di susul caption, "Alana sayang. Abang waiting moment tu datang!" Tulis orang tersebut.

Tubuh Alana membeku sesaat, matanya ikut menamas menyadari pesan itu dikirim dari seseorang yang foto profilnya memajang muka Dayat anak biadapnya Madam Arimbi. Lelaki hidung belang yang terus mengejar Alana tanpa mengenal kata menyerah sedikit pun. Sepertinya satu per satu teror yang mengatas namakan utang orangtua Alana mulai menerornya.

Alana harus bagaimana? Mustahil remaja sepertinya bisa melawan.

"Kenapa?" Ditepuk Sisi pundak Alana. Membuyarkan pikiran-pikiran kacau yang sempat nyangkut dalam benaknya.

"Ada masalah, kah?" tanya Sisi lagi penasaran mengapa wajah ceria Alana berubah pesat menjelma pucat.

Seulas senyum Alana berikan. "Saye hanya sikit sedih." Lalu jempol Alana mengetuk layar yang berisikan sederet chat yang baru masuk. Dari Lubna.

[Alana dimana, Sayang? Maaf telat jemput, tadi Bunda ada keperluan sedikit]

Ting!

Lagi chat berdatangan.

[Bunda sudah di depan gerbang, ya]

Dada Alana makin berdebar-debar. Belum selesai rasa takut akan hadirnya teror cowok gila itu. Malah sekarang? Ada masalah baru, mengapa bisa dirinya seteledor itu? Pergi tanpa pamit, betapa tidak punya etika dirinya.

Tangan Alana hendak mengetik balasan, tapi mau menjawab dengan alasan apa yang sekiranya cukup masuk akal. Kepalanya mulai berpikir keras. Beberapa menit berselang, akhirnya secercah ide gila muncul dalam otak pintarnya.

"Sekejap, Tan," ucap Alana. Sisi mengangguk sekilas.

Cepat jemari lentik Alana mencari nomer yang meneleponnya kemarin, tapi belum sempat disimpan. Ralat bukan lupa, tapi sengaja. Memang dasar Alana tidak berniat sama sekali untuk mengontak manusia itu lagi. Namun lain hal saat ini, sungguh cewek itu sangat butuh bantuan tunangan absurdnya sekarang.

Ditekannya gagang hijau samping nomer yang tertera di layar. Tergesa menempelkan benda pipih itu ke telinga. Sedangkan Sisi menyimak dalam hening.

"Levine." Alana berbisik pelan setelah terangkat teleponnya.

Nada ogah-ogah dijawab Levine dari seberang sana. "Apaan?"

"Saye minte kan awak tuk jemput ke kediaman Abang Farren. Bole, tak?" tanyanya setengah memohon.

"Sharelock deh! Buruan!"

Setelahnya diputuskan sepihak oleh Levine, dengan senyuman penuh kemenangan ia menggumam senang. Sebab rencananya totalitas berjalan sempurna. Bila diingat segitunya kah Levine mulai posesif terhadap tunangnnya.

Sebelum pulang sekolah, Levine telah berpesan pada Lubna supaya menjemput Alana di sekolah. Alasannya, cowok itu ada eskul futsal jadi tidak ingin gadisnya menunggu lama dan berujung bosan berkepanjangan. Lalu tanpa pikir panjang Lubna mengiyakan, tetapi saat diperjalanan menuju sekolah Kay menelepon meminta sedikit bantuan. Mau tak mau sebagai ibu yang baik, Lubna menuruti keinginan sang anak. Tanpa mengeluh diputarnya setir ke arah yang berlawanan dari tujuan utamanya. Namun, lupa mengabari Alana. Ketika urusannya telah selesai. Secepat mungkin Lubna mengemudi hingga sampai depan gerbang, posisi sekolahan itu sudah lenggang. Lubna pun tak melihat tanda-tanda kehadiran Alana, lantas dichat calon menantunya.

"Pucuk dicintai ulama pun tiba. Ayey! Sempurna!" Levine berdiri, senyumnya masih setia merekah indah. Kemudian menatap Leo dan Deon bergantian. "Pamit, Bor! Nyokap dah nungguin," alibinya berdusta.

"Yaelah, Vin. Baru juga ngumpul!" protes Deon kecewa.

"Waktu masih panjang, dan lo malah betingkah seakan-akan besok adalah hari kiamat," balas Levine acuh tak acuh.

"Kok gue mencium bau-bau kebohongan dan kegembiraan secara bersamaan, ya?" Leo menyahut curiga, iris matanya memicing penuh selidik. "Jangan bilang lo lagi jatuh cinta?" sambung Leo, lalu berganti menatap Deon. "Auranya dia beda. Ngerasa nggak, sih?"

Deon mengendikkan bahu, tidak tahu. "Kalau pun iya. Dih bisa amat se-lebay itu. Pergi ninggalin temen lamanya demi seonggok gebetan baru."

"Daripada ngiri. Mendingan kalian cari kebahagian sendiri!" cetus Levine sebelum keluar dengan terburu-buru menuju mobilnya yang terparkir bebas di halaman.

Sembari menyetir, Levine mengirim pesan kepada Lubna. Memberi tahu bahwa Alana sedang bersamanya.

[Maaf, Bunda. Ternyata aku nggak jadi eskul. Alana sama Levine sekarang]

Send!

Membaca pesan sang putra. Lubna hanya menghela napas pelan, dalam hati menyalahkan diri sendiri. Karena terlalu lama datang, bisa jadi tadi Alana bosan dan berakhir pulang bersama Levine. Terpaksa Lubna kembali ke rumahnya, menanti Alana di sana.

--

Alana menunggu dengan perasaan was-was. Ia membujuk Sisi agar tidak kecewa atas sikapnya. Padahal cewek itu telah berjanji akan menemani Sisi menghabiskan hari dengan bercanda atau seru-seruan yang lainnya. Namun, Alana juga tidak enak hati pada Lubna. Alana juga tahu diri siapa dia, tempatnya tinggal sekarang bukanlah miliknya. Jadi, sebagai anak yang bermoral ia tak mau bersikap semau-maunya. Apalagi sampai melukai kepercayaan yang diberikan penuh dari Lubna untuknya.

"Minta maaf, Tante. But, ni emergenci." Untuk kesekian kali Alana meminta maaf pada Sisi, yang hanya mampu mengangguk pasrah di kursi rodanya.

Keduanya menunggu di teras rumah.

"Don't worry, Alana. Tante baik-baik aja," jawab Sisi menengkan. Wanita paruh baya itu paham kondisi genting yang dirasakan Alana. Sebab itu dirinya tak begitu kecewa, meski sedikit tak rela.

"Next time. Alana main ke mari lebih lama lagi. Janji!" kata Alana menyakinkan.

Sisi mengangguk setuju. Sebenarnya merana, tapi bagaimana? Mana mungkin ia menahan Alana lebih lama. Jika pikiran anak itu saja telah melayang kemana-mana.

Untuk apa hanya memiliki raganya saja, kalau hati dan pikiran terpatri untuk orang diluaran sana. Demi langit dan bumi Sisi tidak seegois itu bila hanya ingin mendapatkan prioritas orang lain.

Tin! Tin!

Bunyi klakson terdengar lantang dari luar gerbang. Alana menoleh ke arah Sisi, lalu setengah menunduk mengecup singkat punggung tangannya.

"Pamit, Tante. Assalamualaikum!"

Lagi, Sisi hanya mengangguk paham. Diusapnya penuh kasih sayang rambut pirang Alana, lalu berbisik. "Nanti sering-sering ke sini, ya. Semenjak kepergian Papinya Farren. Tante lebih sering ngerasa kesepian," terangnya. Mimik muka yang dihiasi keriput di sudut mata itu kentara muramnya.

Seulas senyum Alana tunjukkan, lalu mengangguk mantap.

Merasa diabaikan, Levine kembali membunyikan klakson berulang-ulang seperti orang tak punya adab bertamu.

Alana yang mendengar kekurang ajaran Levine, segera undur diri dari kediaman Farren. Secepat kilat menyambangi cowok yang sedang asik memainkan kebisingan tersebut.

Dipukul Alana kaca mobil Levine tanpa takut. Alih-alih marah Levine justru terkekeh geli menatap wajah menggemaskan Alana yang cemberut dibuat-buat.

Alana memutar bola mata malas, lalu mengitari mobil, menarik pintu samping kemudi, dan memghempaskan badan di sana. Tak lupa menutup pintunya kembali.

"Nyokap gue kecewa ... kayanya." Muka Levine dibuat sedemikan seriusnya. Meski dalam hati mati-matian menahan gelak tawa memandang ekspresi panik cewek di sebelahnya.

"Ape sal pulak?" Alana malah kalang kabut paniknya.

Keluguan Alana sukses membuat Levine kegirangan bukan main. Namun tetap kekeh bersandiwara. "Bunda dah rela-relain jam istirhaatnya melayang cuma demi jemput lo ke sekolah. Eh yang dicari malah ...." Sengaja dihentikan Levine omongannya supaya Alana kian meresah.

"Janganlah macam tu. Cakap yang jelas tau," pungkas Alana setengah menghiba, lantas memajukan wajahnya ke arah Levine yang melempar tatap lurus ke depan.

"Nyok-- cup!"

ALANA (Pretty Girl of Malaysia) TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang