Pagi ini cuaca cerah, udara masih terasa sejuk karena matahari masih belum beranjak naik, ia masih mengintip di balik pegunungan yang juga terhalang oleh gedung-gedung tinggi kota yang seakan ingin menggapai langit. Seperti biasa aku membantu ibu membuka kedai ketika ibu pergi ke pasar, bukan kedai besar tapi masih terbilang cukup untuk menghidupi kedua adikku. Setelah itu, aku menyiapkan sarapan sederhana untuk adik-adikku, yaitu nasi goreng dengan telur ceplok yang diletakkan di atasnya.
"Ka, Adhis perlu uang buat beli buku," ucapnya.
"Oh, berapa?" tanyaku sambil menuangkan nasi goreng keatas piring.
" 150 ribu ka!"
"Hmm, iya. Kamu gak bilang ke Ibu kan?"
" Nggak," jawabnya menggelengkan kepala.
"Minggu depan Kakak kasih uangnya. Hmmm ada lagi?"
"Anu, Ka... aku mau beli sepatu kayak gini, boleh?!!" tanya nya enggan sambil menunjukkan handphonenya.
"Boleh! Boleh banget!"
"Bener nih?!!" ucapnya dengan wajah antusias l.
"Asal pake uang sendiri," ucapku datar. Ia baru saja ingin melompat sebagai selebrasi, tapi ia urungkan setelah mendengar kalimat datarku.
"Yaah!!" ujarnya kecewa.
"Iyalaah!! nabung makanya jangan boros!"
"Yaudah, gini aja! Kamu nabung setengahnya, nanti Kakak bantu setengahnya lagi"
"Oh, ok!! Makasih Ka!" Wajah antusias nya kembali bangkit.
"Panggil Aleen buat sarapan!"
"Oke," jawabnya sambil berlalu.
Aku bertanggung jawab atas kebutuhan sekolah Adhisti, aku ingin membantu ibu yang banting tulang untuk menghidupi kami. Ibu tak pernah menuntutku, tapi aku cukup tahu diri atas itu semua, aku tak bisa hanya menikmati dan menutup mata melihat ibu yang bekerja lebih keras untuk kami.
Aku tak keberatan, lagi pula aku senang bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Ada kepuasan tersendiri ketika aku bisa menghasilkan uang dan memberikannya pada kedua adikku, karena aku merasa bisa di andalkan. Aku meminta agar Adhisti meminta padaku terlebih dahulu jika ia memerlukan uang untuk kebutuhan sekolah, jika aku bisa membantunya aku akan membayarnya, jika tidak aku bisa membantu separuhnya selebihnya ia bisa meminta pada ibu. Dan untuk Aleena segala kebutuhan nya masih menjadi tanggungan ibu.
Ya... setidaknya berusaha untuk tidak menjadi beban keluarga, hehe.
°°°°
Seperti biasa, kelas telah ramai ketika aku memasukinya. Kali ini aku tidak akan membiarkan Raz menghancurkan mood ku seperti hari-hari sebelumnya.
Ketika aku mulai menduduki kursiku aku mulai merasa risih karena tatapan sinis Raz dari bangku sebrang.
"Eh! Pagi Raz," sapaku dengan ramah.
"Tugas kamu udah selesai?" tanyaku.
"Gak usah sok baik!" jawabnya sarkas.
"Oh, gak mau nyalin tugas punyaku nih? Aku udah baik hati looh, buat sharing secara cuma-cuma"
"Ng-nggak, gak usah," jawabnya sedikit gentar dengan pendiriannya.
Kayaknya dia butuh tapi dia gengsi, hihi.
"Bener nih? Yakin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ORDINARY
FanfictionSeorang siswi biasa, dengan hari biasa, di Minggu biasa, pada bulan biasa, dan tentunya juga tahun biasa. Yaah ... sebiasa itulah. Seperti angin lalu, melintas kemudian berlalu. tak menarik. Itulah pandangan orang yang datang kemudian berlalu da...