Aku hanya berusaha agar tak tenggelam lebih dalam pada rasa sakit.
Walau sakit telah menjadi udara bagiku.
°°°°
"Ekhh!"
"Kyaaa!"
Aku berteriak sebagai respon terkejut mendengar sesuatu yang asing, tubuhku melompat refleks ketika menduduki sofa yang tak lagi terasa datar, ada sesuatu yang lain terletak di atas sofa selain selimut yang tak tertata rapi.
Posisiku terjatuh seakan bersujud mencium lantai, dengan wajahku yang mendarat dengan mulus di atas lantai yang masih berdebu karena belum sempat kubersihkan.
Waahh... bagus sekali, kali ini apalagi? Sepertinya aku mulai muak setelah semua hal yang terjadi hari ini.
Aku bergegas bangkit, dengan gerakan kasar kutarik bantal yang terletak di atasnya kepala seseorang, kemudian dengan sekuat tenaga kupukul tubuh yang tengah terbaring dan dengan lancangnya tidur di atas sofa tempatku tidur biasanya.
"Eh, woy! Woy! Iya gue bangun!" Mendengar sahutannya tak menghentikan aksiku untuk terus memukulnya, malah semakin bertenaga untuk memukul tubuh seseorang yang masih belum kuketahui identitasnya.
"Duh, udah anjir!" Ia bangkit dari posisi tidurnya, kemudian menarik bantal yang menjadi alatku untuk menyerangnya.
Kalian tahu siapa dia? Dia Fazwan, ia menyunggingkan senyum dengan muka polosnya.
"Ngapain lo di sini?" tanyaku dengan nada suara ber-oktaf tinggi.
"Tadi gue disuruh Mirja buat tanya sesuatu ke lo di sini, tapi lo gak ada di tempat. Ya... jadilah gue tidur," jelasnya sambil menggaruk tengkuknya, penjelasannya malah terdengar seperti alasan di telingaku dan semakin membuatku merasa kesal.
Aku menarik selimut yang masih ia letakkan di atas pangkuannya. "Balikin!" ujarku galak. "Jadi mau tanya apa?" tanyaku sinis.
"Alamat rumah lo?" tanyanya.
"Buat apa?"
"Nanti gue yang jemput ke rumah lo."
"Gak usah! Gue bisa berangkat sendiri," ujarku jelas-jelas akan selalu menolak. Karena apa? Karena aku tak suka berhutang.
Lagi-lagi ia menggaruk tengkuknya seolah sedang kebingungan. "Kalo gitu nomor telfon lo? Biar gue bisa kirim alamat tempat latihan."
"Mana handphone lo?" Ia mengulurkan tangannya memberikan benda pipih yang canggih itu, kemudian aku mengetikkan beberapa deretan angka nomor telepon pada handphone- nya.
"Udah! Sekarang silahkan pergi!" titahku yang memang berniat untuk mengusirnya.
"Oke, makasih." Tanpa harus dipaksa ia menurut untuk pergi. "Lain kali gue mampir lagi," katanya kembali menoleh sebelum keluar ruangan dan menutup pintu.
"Gak bo-"
Blam
Ia telah menutup pintu dan meninggalkan ruangan sebelum kalimatku tuntas.
Tarik nafas dalam-dalam secara perlahan, lalu keluarkan jika memang masih perlu hidup.
Haah... semua ini membuatku sedikit frustasi. But, it's okay, dan aku harus bersiap dengan kejutan gila lainnya, karena kali ini relasiku tak lagi hanya tentang sekolah - belajar, rumah - kerja, ini akan sedikit lebih rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORDINARY
FanfictionSeorang siswi biasa, dengan hari biasa, di Minggu biasa, pada bulan biasa, dan tentunya juga tahun biasa. Yaah ... sebiasa itulah. Seperti angin lalu, melintas kemudian berlalu. tak menarik. Itulah pandangan orang yang datang kemudian berlalu da...