09. Pulang

91 48 136
                                    

Terkadang,
ketika aku mengatakan sedang baik-baik saja,

aku hanya ingin seseorang melihatku, memelukku.

Dan mengatakan, 'aku tau kamu tidak baik-baik saja'. Tapi aku disini untukmu.


°°°°

"Kakak pulang!" sahutku berjalan memasuki rumah.

Suasana tiba-tiba terasa dingin ketika aku menoleh ke arah sofa ruang tamu, kedua netraku menangkap seseorang tengah duduk menonton televisi tanpa sama sekali mempedulikan kedatanganku. Aku berjalan sedikit kaku melewatinya untuk menuju kamarku.

Kedua adikku tak terlihat berkeliaran, sepertinya mereka juga mencoba bersembunyi dengan berpura-pura tidur di kamarnya. Karena kehadiran seseorang yang begitu dekat tapi nyatanya sangat asing.

"Adisti!" teriak laki-laki paruh baya itu memanggil Adisti, namun tak ada jawaban. Sepertinya mereka benar-benar tertidur.

Tak lama kemudian pintu kamarku terbuka, aku menghentikan kegiatanku yang tengah mengerjakan tugas harian untuk di kumpulkan esok hari. Aku menoleh, terlihat sesosok yang seharusnya menjadi pahlawan untuk setiap anaknya dengan manik matanya yang selalu terlihat dalam dan menusuk.

Iya, dia ayah.

"Bikin kopi!" titahnya dengan intonasi dinginnya kemudian berlalu. Aku mengangguk, kemudian bergegas menuju dapur membuat air panas untuk menyeduh kopi hitam yang selalu menjadi favoritnya.

"Haha." Aku tertawa getir. Tentu saja aku mengingat semua tentangnya, tentang kopi yang selalu ia minum. Tentu saja karena dia adalah ayahku, tapi entahlah ia mengingat hari dimana aku hadir di bumi ini untuk pertama kali atau tidak. Haha, miris memang.

Fyuuh, aku tak boleh kekanakan. Ya, tentu saja itu semua tak begitu penting.

Uap mengepul dari cangkir kopi yang baru saja di sajikan. Aku membawanya menuju ruang tamu, tanpa basa basi memberikan secangkir kopi yang masih mengepul panas.

"Ayah gak akan biayain kamu kuliah," ucapnya menusuk.

Aku masih mematung berdiri. Selalu seperti ini, dalam situasi ini aku selalu merasa ciut hanya untuk sekedar berargumen.

"Tapi, aku lagi berusaha buat cari beasiswa, Yah," tuturku pelan memberanikan diri untuk membalas ucapannya.

"Cih, beban!" ujarnya berdecih. "Kuliah gratis itu bohong! Udah kamu kerja setelah lulus sekolah, bantu ayah biayain adik-adikmu."

Aku mengepal tangan kuat-kuat, menekan segala amarah. Haha, aku ingin tertawa sekeras-kerasnya. Apa katanya? Beban? Hei! Sampai sekarang aku tak pernah memintanya uang sepeserpun, dan apa katanya kerja untuk membantunya membiayai adik? Omong kosong.

Salah satu sudut bibirku terangkat melihatnya sedang menyeruput kopi dengan santainya. Aku berjalan menuju kamar, merapikan dan memasukkan buku mata pelajaran yang di butuhkan untuk jadwal esok hari di sekolah, begitupun perlengkapan lainnya termasuk baju seragam kedalam ransel. Aku bergegas keluar rumah dan melewatinya tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Mau kemana?" tanyanya datar.

Aku menghentikan langkahku tepat didepan pintu, kemudian menoleh dan tersenyum miring. "Cari uang," ucapku datar.

Aku memutar kenop pintu kemudian bergegas pergi.

Ting

Tak lama suara notifikasi handphone tanda pesan masuk.

ORDINARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang