07. Promise

133 86 266
                                    

Kamu
adalah bulan yang menemaniku di kegelapan setiap pijakan jalan yang kumiliki.

Dan

Aku
adalah matahari yang mengintip dibalik awan gelap di atas badaimu.

°°°°

15 September 2016

Tepat 5 tahun yang lalu.

"Untuk tugas mapel kali ini membuat karya berkelompok," tutur sang guru. "Satu kelompok dua orang yaa!"

Ah, aku tak suka tugas berkelompok. Karena aku tak suka bersosialisasi, bukan maksudku untuk benci bersosialisasi, tapi aku memang tak bisa. Aku terlalu takut mendengar opini orang lain tentangku. Terkadang mereka selalu membicarakanku seakan-akan aku benda mati yang tak bisa mendengar. Mereka biasanya berbicara tentangku yang sangat pendiam, tapi mereka lebih banyak mengabaikanku dan menjadikanku seperti seseorang yang tak terlihat. Tapi dengan begitu aku merasa lebih nyaman.

Tak jarang juga yang merasa iba terhadapku. Mereka menganggapku seolah-olah aku orang yang layak dikasihani. Tapi sungguh aku tak memerlukan itu.

Jumlah siswa dikelasku adalah angka ganjil, begitupun dengan jumlah siswi. Dengan begitu salah satu kelompok harus berpasangan lawan jenis. Setiap siswi dengan cepat mencari teman untuk berpasangan, sedangkan aku akan menunggu sisa yang bersedia menjadi teman kelompokku. Seperti biasa jika aku berpasangan dengan murid laki-laki aku akan mengerjakan tugas seorang diri, kemudian mencantumkan namanya dalam tugas. Dengan begitu selesai.

Tapi kali ini berbeda.

"Dith, lo gapapa sama dia?" tanya salah satu temannya.

"Emang ngapa?" tanyanya kemudian.

"Eh, gapapa sih."

Kelas hari ini berakhir. Seseorang yang menjadi pasangan tugas kelompokku berjalan menghampiriku dan mengisi bangku kosong disampingku.

"Mau ngerjain tugas dimana?" tanyanya.

"Oh g-gak usah, biar aku aja yang kerjain," ujarku dengan suara yang kecil. "Namamu siapa? Biar aku cantumin namanya kalau udah selesai," tanyaku kemudian.

"Hah! Gak kedenger," sahutnya. "Ya udah, yuk kerjain di rumah gue aja," katanya kemudian menarik tanganku dari tempat duduk untuk keluar kelas.

"Eh t-tapi." Aku tak diberi kesempatan untuk menjawab, ia menarikku hingga keluar kelas.

°°°°

"Bun, Radith pulang," sahutnya kepada seseorang yang ada di dalam rumah, dan aku terus mengekorinya.

Aku berjalan mengikutinya sampai akhirnya terlihat sosok perempuan cantik yang Radith panggil 'Bun'.

"Eh, Radith udah pulang? Tumben bawa temen," tuturnya lembut.

Hangat

"Temen sekelas Radith? Namanya siapa?" tanyanya ramah.

"I-iya tante. Namaku Usnisha," ujarku pelan sambil menunduk menahan rasa canggung karena tak terbiasa berbicara dengan orang baru.

ORDINARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang