Tertawa dalam diam
Menangis dalam diam
Menyembunyikan diriku yang sebenarnya
Lewati hari yang berat
Hari ini kata-kata tak dapat terucap
Hanya mampu dicerminkan oleh hati
Aku kesulitan
°°°°
"Sebentar Nish! Gue balik bareng lo."
"Hah, gue?" tanyaku tak mengerti, kemudian menunjuk diri sendiri.
"Iya. Rumah gue searah sama lo."
"Oh, oke," jawabku dengan anggukan singkat.
Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir dimana tempat motor kami terparkir.
Aku meraih helm berwarna biru kesayanganku hendak memakainya, aku sedikit kesulitan untuk mengaitkan tali pengikat helm, tanpa diminta Kenzie membantuku menautkannya. Wajahku otomatis menengadah menampakkan pemandangan wajahnya dari jarak yang cukup dekat. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain karena merasa canggung dengan situasi aneh ini.
"Udah," sahutnya kemudian menepuk pelan helm yang kukenakan.
"Nish lo-" katanya dengan kalimat yang masih menggantung.
"Ya?"
"Lo baik-baik aja?"
"Ya, baik."
"Kalo lo butuh bantuan bilang ke gue ya!" ujarnya tersenyum lembut.
"Hah? Oh, iya," jawabku sedikit kebingungan karena perkataannya yang tiba-tiba, dan masih merasa canggung dengan suasana asing ini.
Entah, apa yang dipikirkannya, tapi sepertinya ia hendak mengatakan sesuatu namun urung. Aku sedikit khawatir dengan apa yang ia pikirkan tentangku. Aku sendiri tak mengerti tentang apa yang kukhawatirkan, tapi aku mendapatkan firasat tidak baik tentang hal itu.
°°°°
Walau langit berseri dan matahari bersinar tanpa ragu, pagi ini terasa lebih berat dari pagi sebelumnya. Aku menghirup nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Tadi, Adisti bertanya tentang buku yang masih saja belum ada kabar kehadirannya. Tentu saja hilal buku itu masih belum muncul, karena aku hampir saja melupakannya.Tapi, sialnya kondisi saat ini yang tidak tepat.
Aku menatap langit yang berawan sambil terus melangkahkan kaki dengan gontai. Teringat masa ketika kedua kaki ini berjalan beriringan dengan langkah besar ayah, berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah ladang. Pagi itu juga memiliki cuaca yang sama, sama indahnya dengan hari ini. Ia mengajarkan banyak hal tentang hidup, ayah paling bijaksana yang pernah kumiliki. Telapak tangan yang tertaut tanpa ragu, genggaman erat yang menjagaku agar tak tersandung ketika melangkah. Saat itu aku merasa aman. Entah sejak kapan dinding pembatas kami terbangun, aku sudah lama melupakannya seiring berjalannya waktu.
Ayah, aku rindu.
Sungguh!
Saat ini aku berjalan sendiri, tanpa seorangpun yang menemaniku untuk menjagaku.
Gerbang sekolah sudah terlihat, tinggal beberapa meter lagi hingga aku sampai ke tujuan.
"Eh!" Langkahku terhenti karena tas yang bertengger di punggungku tiba-tiba terasa berat karena tangan seseorang yang menariknya dengan sengaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORDINARY
FanfictionSeorang siswi biasa, dengan hari biasa, di Minggu biasa, pada bulan biasa, dan tentunya juga tahun biasa. Yaah ... sebiasa itulah. Seperti angin lalu, melintas kemudian berlalu. tak menarik. Itulah pandangan orang yang datang kemudian berlalu da...