Kediaman Alex

490 45 2
                                    

"Mama...." seorang anak laki-laki berlari kecil menghampiri Kirana yang masih membeku di halaman rumah milik Alex. Anak itu adalah Danish. Dengan senyuman lebarnya, Danish menyambut kedatangan Kirana dan memeluk lutut mamanya itu.

"Danish, kenapa kamu di sini?" tanya Kirana, sambil menekuk lututnya, agar sejajar dengan Danish.

"Tadi pagi Papa Alex jemput aku, katanya mau ajak aku ke rumah yang banyak mainan." sahut Danish dengan polosnya.

Papa?

Kirana langsung menoleh pada Alex. Apa yang telah dilakukan oleh pria itu, sampai Danish bersedia memanggilnya papa?
Padahal baru beberapa hari yang lalu, Danish menolak untuk memanggil Alex dengan sebutan   papa.

"Danish, memangnya tidak ingat pesan mama? jangan pergi dengan orang asing!" omel Kirana.

"Tapi aku nggak pergi dengan orang asing. Aku pergi sama papa dan Om Zidane."

"Pfft." tawa kecil Alex terdengar dari belakang Kirana. Ingin rasanya Kirana meraung dan menangis kencang saat ini juga.

Bagaimana tidak?
Putranya yang telah ia besarkan dengan sepenuh hati, kini malah membela sang papa yang baru ia temui. Kirana merasa kesal pada Alex. Dia berpikir kalau Alex telah mempengaruhi Danish sampai putranya itu membelanya.

"Kalau begitu, ayo kita pulang." ajak Kirana kemudian.

"Pulang? bukannya kita akan pindah ke sini? Tadi Om Zidane sudah membawa baju-baju mama dan aku."

"Huh?" Kirana kembali menatap Alex dengan tajam. "Apa maksudnya ini?"

Alex mengangkat bahunya, lalu berjalan mendekati Danish.
"Seperti yang kamu dengar dari anak kita. Bahwa kamu dan Danish akan tinggal di sini. Bersamaku."

"Alex! kamu nggak bisa ambil keputusan sendiri."

"Bisa! Danish anakku. Dan sebentar lagi kamu juga akan menjadi istriku." ucap Alex cuek.

Kirana benar-benar marah. Ingin sekali ia meneriaki Alex dengan kata-kata dan hujatan kasar, tetapi niatnya urung ketika melihat Danish masih berada di dekatnya, sedang menatap mereka berdua bergantian dengan ekspresi bingung.

"Danish.. bagaimana kalau sekarang kamu ikut dengan Om Zidane, main di dalam rumah." ucap Alex, seraya memanggil Zidane yang sejak tadi berdiri tak jauh dari mereka.

Danish mengangguk dan tersenyum dengan lebar. "Oke, papa."

Setelah itu, Danish pergi meninggalkan Kirana berdua dengan Alex. Hati Kirana benar-benar sakit melihat pemandangan itu.
Dulu... ia berjuang seorang diri mengandung dan melahirkan Danish. Bahkan dia dan ibunya mendapat hinaan dan caci maki dari penduduk desa di kampung.

Lalu sekarang?

Dengan seenaknya, Alex berniat untuk mengambil Alex. Padahal pria itulah yang membuatnya menderita selama ini.

Tanpa sadar air mata Kirana menetes membasahi pipi. Kirana segera mengusapnya dengan kasar. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan Alex.

"Kir..." suara Alex terdengar lembut, tangannya terulur berniat untuk mengusap air mata di pipi Kirana.

"Kenapa kamu harus menggangguku lagi?" gumam Kirana lirih.

"Menikahlah denganku."

Kirana mendongak. Menatap manik mata cokelat milik Alex. Untuk beberapa saat mereka saling menatap dalam diam. Namun, Kirana buru-buru menepisnya.
Dia tidak ingin terjebak dalam lubang yang sama.

"Tidak."

"Kalau begitu biarkan Alex ikut denganku." sahut Alex datar, seraya meninggalkan Kirana di sana seorang diri.

Air mata Kirana semakin deras. Merasa tidak berdaya menghadapi sikap Alex padanya.
Meminta bantuan Vano?
Tidak mungkin.

Karena saat ini hubungannya dengan Vano telah merenggang. Apalagi ibu Vano sudah terang-terangan menolak dirinya
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Menuruti kemauan Alex kah?

******
Di sisi lain,

Vano terlihat gelisah dan terus berusaha menghubungi Kirana dengan ponselnya. Namun tidak ada jawaban dari wanita yang ia cintai itu.

Kirana mengabaikan teleponnya!

"Arrgh." Vano menggeram kesal sambil menatap ke sekeliling rumah yang kosong. Hanya ada barang-barang seperti sedia kala, saat Kirana dan Danis belum datang menempati rumah itu.

Selebihnya terasa kosong dan sunyi. Bahkan di dalam kamar sudah tidak ada lagi baju-baju Kirana maupun Danish.

Kemana kamu pergi, Kir?

Vano merasa dirinya tak berguna. Semua rencananya hancur berantakan. Ini semua karena sang ibu yang tidak merestui hubungannya dengan Kirana. Padahal Vano begitu mencintai wanita itu.

Sudah beberapa hari Kirana tidak pergi bekerja. Vano pikir, dia sedang menenangkan diri di rumah. Namun, hari ini Vano berniat untuk menengok keadaan Danish. Karena biar bagaimanapun ia telah menganggap Danish sebagai putranya sendiri. Vano menyayangi bocah itu.

Setelah sampai, Vano dibuat terkejut dengan rumah yang kosong. Tubuhnya seketika menegang. Hal yang ia takutkan pun terjadi.
Kirana telah pergi meninggalkannya tanpa pesan dan kata-kata.

Vano terduduk lemas di atas sofa dengan mata yang memerah. Patah hati yang ia rasakan sangat dalam kali ini.

Apa tidak ada harapan lagi untukku?
Sampai kamu pergi meninggalkan rumah ini?
Batin Vano.

***

KIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang