5. Diaduk Or No Diaduk?

460 75 2
                                    

Gadis itu mendesah pelan saat deru napasnya mulai tersengal-sengal.

"Cape, gak? Kalo cape kita istirahat, nanti lanjut lagi."

Alin mengelap keringat yang mengucur di pelipisnya menggunakan handuk kecil yang ia bawa dari rumah. Ia ulurkan kedua tangannya ke depan, membuat Vino mengernyitkan keningnya.

"Gendong ...."

"Enggak! Badan lo berat."

Alin mencibir. "Dasar gak romantis!"

"Gue gak bisa romantis. Kalo bikin lo marah-marah, gue bisa."

Alin tidak menggubris perkataan laki-laki itu. Ia lebih memilih duduk di trotoar jalan dengan kedua kaki yang ia selonjorkan.

Pagi-pagi sekali Vino sudah datang ke rumah Alin untuk mengajak lari pagi. Padahal ini hari minggu, inginnya ia tidur seharian dan bergelut dengan selimut hangatnya. Namun ternyata keinginannya itu kandas.

"Jangan duduk di sini, Lin. Lo udah mirip sama orang gila kalo kek gini."

Alin melemparkan handuk kecil yang dipegangnya ke arah Vino. Namun dengan sigap laki-laki itu menangkapnya.

"Bangun, di depan udah ada penjual bubur ayam. Kita istirahat di sana sambil sarapan," ucap Vino berusaha membujuk gadis yang tengah kecapean.

"Cape, Vin ...."

"Salah siapa jarang olahraga."

Alin menggerutu. Dengan sangat berat hati ia berdiri dan mengikuti langkah Vino yang sudah berjalan duluan, cukup jauh dari posisinya.

Menyebalkan sekali. Ia pikir laki-laki itu akan menggendongnya, atau setidaknya menunggu dirinya dan jalan bersama.

"Cepet, Lin. Katanya cape," ujar Vino seraya menoleh ke belakang.

Dia terkekeh melihat raut wajah kesal sekaligus cape di wajah gadisnya. Ia pun memutuskan untuk menunggu langkah Alin mendekat ke arahnya.

"Cape banget?"

"Udah tau pake nanya," sungut Alin.

Vino tertawa sebelum dirinya berjongkok di hadapan Alin, membelakangi gadis itu.

"Naik!"

"Naik?" beo Alin tidak mengerti.

"Katanya cape, gue gendong."

"Tapi Alin berat. Vino juga pasti cape."

Alin memang cape, dia juga tadi sempat minta untuk di gendong, tapi bermaksud hanya bercanda.

"Jangan bawel. Cepetan naik!"

Dengan ragu Alin mulai mendekati Vino. Karena geregetan yang Alin lakukan sangat lama, Vino menarik tubuh gadis itu sehingga tubuh Alin sudah menempel di punggungnya.

"Ish! Sabaran dikit napa, kaget tau!"

Vino hanya terkekeh. Dia mulai berdiri dan melangkahkan kakinya dengan Alin yang berada di punggungnya.

"Alin berat banget gak, Vin?"

Hembusan napas Alin yang terasa di lehernya membuat Vino merinding seketika. Bagaimana pun juga hal itu merupakan kelemahan seorang cowok.

"Vin?" panggil Alin karena tidak ada jawaban.

"Jangan napas deket leher gue, Lin."

Alin membeku mendengar suara Vino yang tiba-tiba menjadi serak dengan suara agak berat. Sehingga dengan spontan membuat Alin tahan napas.

"Jangan tahan napas juga. Lo bisa mati kalo kelamaan tahan napas."

Alin sedikit memundurkan wajahnya. Sedangkan laki-laki itu hanya tersenyum dengan gelagat gadis yang berada di punggungnya.

Tanpa mereka sadari, sebuah warung bubur ayam sudah di depan mata. Alin langsung menyuruh Vino agar menurunkannya. Ia meringis saat melihat laki-laki itu memijat bagian punggungnya.

"Berat, ya?" tanya Alin tidak enak.

"Lumayan."

"Maaf ...."

Vino tersenyum, lalu menyubit pipi sebelah kiri Alin lembut.

"Lo cari tempat duduk, gue mau pesenin buburnya dulu."

Alin menurut. Dia mencari tempat duduk yang kosong. Seraya menunggu Vino datang, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Lalu membuka media sosial yang bernama instagram. Dan mengepost satu foto yang sempat ia ambil tadi.

Notifikasi mulai bermunculan, banyak yang mengomentari postingannya barusan. Namun Alin mengabaikannya dan memilih mematikan data ponselnya kembali, karena laki-laki yang ditunggunya sudah datang.

"Nih. Awas itu masih agak panas," ujar Vino.

"Makasih Vino ...."

Alin sumringah saat melihat satu mangkuk bubur ayam di hadapannya. Dengan perlahan ia mulai meniup bubur itu karena masih agak panas.

Kening Alin mengernyit saat melihat Vino yang tengah mengaduk buburnya. Tiba-tiba ia merasa mual saat melihatnya dan langsung meminum minuman yang sudah tersedia.

"Kenapa? Lo sakit?" tanya Vino khawatir.

Alin menggeleng.

"Vino lebih suka diaduk, ya?"

Laki-laki itu mengangguk. "Kenapa? Lo gak suka yang diaduk?"

Perlahan Alin menganggukkan kepalanya. Sesekali masih agak mual saat mengingat Vino yang tadi tengah mengaduk buburnya.

"Alin suka mual kalo liat bubur yang diaduk."

"Sori, gue gak tau."

"Iya gak papa, kok. Sekarang udah enggak," balas Alin karena tidak ingin membuat Vino merasa tidak enak.

"Lo harus membiasakan diri makan bubur dengan cara diaduk, Lin," kata Vino disela-sela makannya.

"Emang kenapa?"

"Bubur yang diaduk lebih baik daripada yang gak diaduk. Karena semua topingnya bisa tercampur rata sehingga mudah dicerna sama lambung."

"Tapi, Vin. Kalo diaduk gak keliatan aestetik," jawab Alin.

Setelah perbincangan itu, keduanya terdiam menikmati bubur masing-masing. Tidak ada pembicaraan lagi saat tengah makan sampai bubur mereka habis tak tersisa.

"Totalnya berapa, Bang?"

"Dua puluh ribu saja, Mbak."

Alin merogoh uang yang ada di saku celananya. Namun saat itu sebuah uang berwarna hijau sudah mendahuluinya membayar kepada penjual bubur.

"Ini, Bang. Uangnya pas, ya."

"Iya, Mas. Terima kasih."

Alin melirik Vino dengan malas. Laki-laki itu hanya menaikkan satu alisnya seperti bertanya 'apa'?

"Yang bayar kok Vino, sih?"

"Ya terus, emangnya kenapa?" tanya Vino balik.

"Ya, gak papa sih. Tadinya mau Alin bayar."

Alin menatap Vino dengan kening mengkerut. Laki-laki itu terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri beberapa kali.

"Vino nyari apa?"

"Angkutan umum."

"Buat?" tanya Alin semakin bingung.

"Gue gak mau Cutie Pie milik gue kecapean lagi, jadinya lebih baik kita balik pake angkutan umum daripada jalan kaki."

Alin mengulum bibirnya, berusaha menyembunyikan senyuman. Pipinya terasa panas begitu saja. Sial, pasti sekarang ia tengah blushing.

Vino menoleh. Ia sudah bisa menebak kalau gadis itu pasti akan blushing. Dan benar saja, tebakannya tidak meleset sama sekali.

Kalau saja ini bukan tempat umum, Vino sudah membawa gadis itu ke dalam pelukannya dan mencium pipi merah Alin beberapa kali. Namun yang bisa ia lakukan sekarang hanya mengelus puncak kepala Alin dengan gemas.

***

Double up gak, nih?

Hiraeth 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang