---
Kirana mengayunkan kedua kakinya dengan pelan. Disebelahnya Juna duduk bersandar, menemaninya menunggu taksi yang akan membawanya pulang.
Setelah pelukan yang tidak dibalas tadi, Juna akhirnya menarik tangannya dari tempat tadi untuk keluar dari bangunan yang lebih menyerupai sarang hantu itu.
Genggamannya dilepas ketika sampai dijalan raya dan duduk berdampingan di halte.
"Aku gak tau kalo kamu ikut boxing,"
"Ilegal,"sambung cowok itu tegas. "Ini kali terakhir, Na."
Kirana hanya mengerucutkan bibirnya. "Kamu sahabatku, Ju. Dari dulu sampai kapanpun,"
Juna hanya diam. Tangannya meraih rokok dari saku dan mulai menyalakannya.
"Juna sahabat lo udah gak ada. Cuman ada gue sekarang,"
Kirana menoleh lalu mengangguk pelan. "Aku juga bisa sahabatan sama Juna yang sekarang,"
Cowok itu mendengus. "Tapi gue enggak,"
Jawaban itu tentu membuatnya kembali cemberut. "Kenapa sih?"
Juna meniup asap dari mulutnya. Menatap pada kendaraan yang berlalu lalang. Namun taksi online yang dipesannya tidak juga sampai.
"Lo gak akan mau sahabatan sama Juna yang sekarang. Dia udah rusak,"
Lengannya dipukul pelan. Pertanda tidak setuju dengan pengakuan Juna.
"Gue serius. Lo hanya akan dapet masalah dan sakit kalo lo deket gue. Gue bukan pangeran yang bisa hadang badai lagi buat lo,"
"Kenapa?"
"Karena gue badainya,"
Kirana langsung terdiam. Tidak tahu akan membalas apa. Dirinya sedikit tahu tentang Juna, tentang apa yang menimpa sahabatnya itu tapi ia tak tahu dampaknya sebesar apa. Dan bagaimana Juna melewatinya selama ini.
"Kalo aku bersedia hadang badai itu gimana?"
Pertanyaan pelan itu membuat Juna tersenyum. Sudah lama sekali. Sangat lama sekali. Tidak ada yang menawarkan diri untuk berada disampingnya.
Jadi ketika Kirana kembali muncul dihidupnya, sahabatnya dari masa kecil menjelma jadi gadis yang sangat cantik, menawarkan diri untuk kembali menjadi sahabatnya tentu membuat Juna merasa berbunga. Perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Jangan, Na. Nanti lo gak bisa nikmatin masa SMA dengan tenang, gak bisa dapet pacar buat digandeng kemana-mana,"
Sebuah mobil berhenti didepan mereka. Juna langsung membuang puntung rokok dijarinya. Berdiri membukakan pintu belakang untuk Kirana.
"Jangan ngebut ya, Pak,"
Tangannya menyelipkan selembar uang merah ditangan supir taksi online itu yang dibalas dengan terima kasih banyak. Pasalnya pembayaran itu juga sudah dilakukan secara online.
Kirana masuk kedalam mobil dan pintu kembali ditutup oleh Juna. Tahu-tahu jendela dibuka oleh gadis itu, memanggilnya lantang.
"Itu bukannya temen kamu ya?"
Juna mengikuti telunjuk Kirana keseberang jalan. Matanya langsung membulat menatap Sagara diseberang jalan tengah terduduk dan bernapas melalui kantung dengan cepat. Melihat kondisi temannya itu.
Tidak menunggu taksi yang ditumpangi Kirana pergi, Juna sudah berlari menyeberangi jalan. Menuju tempat sahabatnya yang membutuhkan bantuan.
Ia membuka jaketnya, melingkupi tubuh Sagara agar tidak menarik perhatian orang-orang. Lengannya melingkar punggung yang ringkih itu. Mendengar suara napas Sagara yang mulai teratur.
Ketika Juna mengangkat wajah, matanya menemukan Wira, laki-laki yang diakui Raka sebagai pamannya disekolah namun ternyata bukan keluarga sungguhan, berjalan cepat dari sebuah kafe kecil diujung jalan membuatnya mengerutkan dahi.
Apa memang ada kaitan antara mereka? Kondisi Sagara yang mengenaskan bukan karena Wira yang tampak menahan emosi bukan?
Juna lalu melihat Wira yang masuk kesebuah mobil hitam yang parkir dipinggir jalan. Sampai mobil itu melewatinya, Wira tampak seperti marah besar.
"Apa yang sebenarnya menimpa lo, Sagara?"
---
Sagara tidak menemukan siapa-siapa dirumah mewah itu. Setelah dijemput paksa dengan dua orang bodyguard, Sagara hanya menurut ketika mobil mewah yang ia naiki berhenti dirumah kakeknya.
Ia pikir akan ada obrolan serius atau sesuatu yang penting. Tapi ketika ia tidak menemukan siapa-siapa, Sagara memilih untuk keluar disore itu.
Setelah mengganti seragam dan makan siang, cowok itu memilih berjalan-jalan santai tanpa tujuan.
Langkahnya memelan ketika tahu dimana ia berakhir. Ditempat yang sama. Dijalan yang sudah berkali-kali ia kunjungi.
Tubuhnya langsung kaku. Menatap kafe kecil yang berkali-kali ia datangi tapi hanya sampi didepan jendela kaca.
Matanya menatap kedalam untuk menemukan dua orang laki-laki dewasa yang saling berhadapan.
Ketika mereka bangkit, dan salah satu dari mereka berjalan keluar dengan tergesa sampai menabrak bahunya.
Laki-laki itu pernah dilihatnya. Dikenalkan Raka beberapa waktu lalu. Tapi ia hanya bergeming, tidak tahu merespon seperti apa.
Bahunya tiba-tiba diraih, dan laki-laki yang mengaku sebagai paman Raka itu menatapnya tak percaya.
"Cakka?"bisiknya pelan. Lalu paman Raka menggeleng pelan. "Kamu temannya Raka?"
Sagara tidak menjawab. Pria itu kembali masuk lagi dan berkata dengan lantang pada pria yang tadi mengobrol dengannya.
"Anak itu--"
Telunjuk Paman Raka menukik lurus kearahnya, laki-laki itu menatapnya dan Sagara merasa sesak luar biasa.
Fokusnya hilang, langkahnya mundur perlahan, sebelum ambruk disana, Sagara melarikan diri dengan cepat. Bergegas menjauh dari sana.
Ketika langkahnya tidak lagi kuat, Sagara jatuh ditrotoar jalan. Tangannya meraih kantung kertas dari tas dipunggungnya. Dan bernapas dengan cepat dari sana.
Tahu-tahu sebuah jaket melingkupi tubuhnya dan ia merasa ada lengan yang merangkul punggungnya.
Tangan itu milik sahabatnya. Juna.
Tangan Juna bergerak mengambil handphone. Mengirimkan pesan singkat pada Raka.
To : Raka
Aga kambuh lagi. Lo yakin Om lo gak kenal dia? Gue liat mereka keluar dari tempat yang sama...Disaat langit yang mulai menguning sore itu, Juna melihat kejatuhan Sagara.
---
Much Love
-aku
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Redup [FIN]
Teen FictionAir yang tenang justru menenggelamkan lebih dalam. Terbiasa mendapat perhatian banyak orang tidak membuatnya benar-benar tahu seperti apa rasanya diperhatikan. Menjadi figure skating hampir sepuluh tahun tidak menjadikannya merasa puas. Malam-malam...