---
Setelah menurunkan Sagara di rumah kakeknya dan Juna di apartemennya, Raka melanjutkan perjalanan menuju rumahnya sendiri.
Beberapa minggu ini banyak sekali yang sudah ia bahas bersama Wira mengenai masa depannya dan masa depan Sanjaya. Wira beberapa kali mengajaknya rapat dengan para direksi, sekedar mengenalkan bahwa nanti Raka lah yang akan mengambil pimpinan Sanjaya.
Tidak dalam waktu dekat tentu saja, banyak sekali yang harus ia pelajari terlebih dahulu. Wira juga menyarankan untuk benar-benar memulai dari bawah sebelum mengambil alih Sanjaya. Pria itu bahkan menyuruhnya menjadi staf sebelum menempati posisi-posisi yang penting.
Maka ketika dirinya diterima di sebuah kampus di Cambridge, Raka harus membicarakan ini dengan Tarendra Sanjaya.
Rumah itu tampak sepi seperti biasa, Raka langsung menuju kamarnya di lantai dua untuk membersihkan diri. Menghilangkan bau alkohol atau apapun yang menempel padanya sebelum menemui kakek dan neneknya.
Setelah mandi Raka justru tertidur setelahnya, bangun-bangun matahari sudah mulai turun menemui peraduan.
Seperti kebiasaan kakek dan neneknya di sore hari, Raka menuju taman belakang rumah mewah itu untuk menemui keduanya. Tarendra dan istrinya sedang menikmati teh sambil membaca di taman belakang.
"Hai Oma!"
Raka mendekat lalu mengecup pipi kiri wanita yang biasa ia panggil Oma. Mengambil kursi disebelahnya.
"Dari mana kamu?"
Raka memberikan cengiran lebar untuk menjawab pertanyaan itu. Tidak ingin memberikan jawaban pasti agar Oma tidak bertanya makin banyak.
"Opa dimana?"
Oma menaruh buku di atas meja untuk menaruh perhatian pada cucu semata wayangnya.
"Tumben kamu nyariin Opa?"
Raka meringis kecil. Terbiasa tidak akur dengan opa membuat pertanyaan oma sedikit banyak menyentilnya.
"Udah baikan beneran nih?"
Oma tersenyum menggoda. Raka mengangguk kecil. "Btw aku di terima di Cambridge,"
Air muka Oma langsung berubah. Wanita itu meraih tangan Raka untuk digenggamnya.
"Oma kira akan di Oxford atau Harvard,"
Raka terkekeh pelan. "Emangnya aku Maudy Ayunda? Belajar aja males gini juga,"
Wanita itu mengelus lengan Raka yang kurus. Tidak menyangka bahwa cucunya itu telah dewasa. Hatinya tidak bisa tidak bangga melihat perkembangan Raka apalagi setelah segala kepahitan menimpa keluarga mereka.
"Jauh banget, nak. Kamu yakin?"
Raka mengangguk tegas. "Aku udah ngobrol banyak sama Om Wira. Ini salah satu langkah yang bisa aku lakuin kalo mau dinilai mampu sebagai Sanjaya,"
Oma menggeleng mendengarnya. Tidak ingin cucunya itu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk Sanjaya.
"Opa hanya takut melakukan kesalahan yang sama. Makanya beliau mau kamu tetap di Sanjaya. Opa hanya tidak mau kesalahan yang menimpa Anton terulang lagi,"
Raka mengangguk paham. "Bukan salah Opa,"
"Gimanapun Raka berhak untuk nentuin jalan hidup kamu, nak. Raka gak harus di Sanjaya seperti keinginan Opa. Banyak kok orang-orang pintar dan terpercaya di Negeri ini bisa melanjutkan Sanjaya. Enggak harus Raka,"
Oma tidak ingin Raka kehilangan masa mudanya. Oma hanya tidak ingin Raka menjadi kehilangan hal-hal yang disayangnya nanti jika hanya fokus mengabdi pada Sanjaya.
"Bukan hanya untuk Sanjaya. Tapi ini untuk aku juga. Untuk Opa dan Oma juga. Memangnya apalagi tujuan hidupku jika bukan untuk Oma sama Opa?"
Oma tersenyum. "Sekarang udah saatnya kamu mikirin diri kamu sendiri. Raka mau apa nantinya itu terserah kamu. Jangan jadiin Opa dan Oma apalagi Sanjaya jadi alasan kamu enggak bisa ngelakuin hal yang kamu suka, Nak,"
Bersamaan dengan itu Tarendra datang dan mengambil tempat tepat di samping istrinya.
"Lagi ngobrol apa kamu sama anak badung ini, Emara?"
Raka langsung cemberut mendengar pertanyaan Tarendra. Sedangkan Emara justru tersenyum geli.
"Raka mau kuliah di Cambridge,"
Gerakan tangan Tarendra berhenti. Tatapannya langsung menatap Raka yang kini tersenyum lebar ke arahnya.
"Kamu enggak perlu--"
Raka menggeleng cepat. "Opa pasti udah denger dari Om Wira. Tapi ini keputusanku,"
Tarendra hanya diam. Matanya melirik Emara sesaat sebelum akhirnya meraih teh yang ada di atas meja dan menyesapnya pelan.
"Oma gak usah khawatir. Aku pasti akan gunain waktu sebaik-baiknya kok. Tenang aja,"
Emara masih tampak tidak setuju. Berkali-kali ia melirik Tarendra yang tampak berpikir keras.
"Banyak kampus yang bagus juga di Indonesia. Kamu gak harus--"
Raka lalu kembali meraih tangan omanya dan menggenggam erat.
"Aku enggak kabur lagi. Rumahku disini. Oma bisa mikir kalo aku cuman lagi main sama Sagara atau Juna kok,"
Emara masih menggeleng. Mungkin tidak rela harus berpisah lagi dengan Raka padahal hubungan mereka baru membaik beberapa waktu belakangan ini.
"Lagian kalo Oma bosen, kan bisa nyamperin aku ke Cambridge apalagi kalo Opa masih keasyikan kerja,"
Emara akhirnya menggangguk pelan. Raka lalu mengalihkan perhatian pada Tarenda.
"Opa?"
"Berapa lama?"
Anak laki-laki itu melongo tidak mengerti. "Ha?"
"Berapa lama waktu yang kamu butuhin buat bisa menjabat sebagai salah satu direktur Sanjaya?"
Raka menggaruk bagian belakang kepalanya. "Lima belas?"
Tarendra langsung berdecak. "Enam tahun kamu sudah punya gelar PhD. Lima belas tahun kelamaan,"
Jika Emira tersenyum melihat perdebatan itu, Raka justru merengut sebal.
"Sepuluh?"
"Delapan."
"Yakali. Umurku baru dua enam udah jadi direktur aja."
Tarendra mengerutkan alis. "Siapa bilang setelah masuk Sanjaya kamu bisa langsung jadi direktur?"
Raka langsung menganga lebar. "Maksud Opa aku harus jadi staf dulu?"
"Kamu pikir Wira dulu langsung jadi direktur kayak sekarang?"
Tarendra memang bukan orang yang gampang menyampaikan emosi. Sekarang Raka mungkin tidak paham maksud tindakan opanya sekarang, tapi nanti bertahun-tahun lagi ia akan paham.
Maka ketika senyuman oma menenangkan hatinya, Raka tidak lagi cemas. Opa akan memberikannya waktu yang cukup. Sampai ia sanggup dan sampai ia merasa bahwa memang sudah waktunya ia berada di Sanjaya.
Pelukan Oma dan perdebatan dengan opa yang membuat Raka sadar juga paham bahwa inilah rumahnya. Pada pelukan dua orang inilah tempatnya untuk pulang.
---
Hai, bentar lagi ending guys hehe
Udah siap?
Love
-aku
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Redup [FIN]
Roman pour AdolescentsAir yang tenang justru menenggelamkan lebih dalam. Terbiasa mendapat perhatian banyak orang tidak membuatnya benar-benar tahu seperti apa rasanya diperhatikan. Menjadi figure skating hampir sepuluh tahun tidak menjadikannya merasa puas. Malam-malam...