Hai, gimana harimu?
Menyenangkan?
Kalopun enggak, juga enggak apa-apa. Ini cuma hari yang buruk. Enggak apa-apa, kalo kesal ataupun marah juga enggak apa-apa.Kamu tetap hebat karena satu hari sudah berlalu. Kamu tetap keren karena udah berhasil kuat.
Btw, hari ini juga agak hectic, aku baru pulang dan nyampe kos. Tapi kerjaanku tetep enggak kelar walaupun udah lembur sampe jam segini, jadinya ku bawa pulang deh kerjaannya wkwk
Selamat istirahat ya!
---
Kediaman Tarendra Sanjaya sangat ramai sejak semalam. Berita duka itu sudah tersebar ke seluruh negeri. Banyak sekali pejabat serta orang-orang penting dan terkenal datang. Bahkan tidak sedikit media yang nongkrong disekitar rumah mewah itu.
Hingga tengah malam, ketika semua orang sudah mulai pulang satu persatu. Di sana akhirnya Tarendra ambruk dan menangis sejadi-jadinya. Di hadapan Istri, cucu, menantu dan beberapa orang kepercayaannya.
Tidak ada yang buka suara. Yang terdengar hanyalah jerit tangis pilu yang mampu menyayat hati semua orang.
"Raka, maafin Opa,"
Raka yang sedari tadi hanya menatap nanar pada sepatunya yang masih bertanah akhirnya mengangkat kepala.
Manik matanya bertemu dengan mata Tarendra yang basah. Tenggorokannya kering. Banyak sekali kalimat yang ingin ia sampaikan. Banyak sekali pertanyaan yang memenuhi kepalanya.
Tapi mendapati Opa yang selama ini membesarkannya membuat Raka kehilangan suara. Matanya ikut berkaca-kaca.
"Harusnya Opa gak biarin dia di penjara. Harusnya Opa gak perlu semarah itu ketika papimu memutuskan menerima tawaran jadi Menteri. Dan harusnya opa nyuruh dia mundur dari lama,"
Raka tidak mengerti. Tidak ada satupun yang ia mengerti dari kalimat Tarendra. Maka yang ia lakukan adalah mendekat dan duduk bersimpuh di depan kakeknya itu.
"Papimu tidak korupsi, nak. Harusnya opa menyelamatkan hidupnya bukan malah meminta hakim menghukum dia selama itu,"
Raka menautkan alisnya. Ia butuh penjelasan lebih banyak.
Tangannya lalu di raih oleh wanita yang duduk disamping Tarendra. Wanita yang sering kali ia abaikan.
"Buktinya tidak cukup waktu itu. Harusnya ada penyelidikan lebih lanjut. Opa sadar tapi karena opa terlalu marah akhirnya memilih berada di pihak jaksa dibandingkan berada di pihak Anton, anaknya."
Ucapan itu memukulnya dengan kuat.
"Tidak ada yang tahu pasti kemana dana itu berakhir. Yang pasti tidak direkening Anton. Oma sudah memastikan itu. Tapi posisi Anton sudah kepalang basah. Dia target yang paling baik di media. Siapa yang nyangka,"
Raka berdiri dari duduknya. Mengusap matanya yang basah. Menatap tidak percaya pada dua orang tua itu.
"Kalian ragu tapi kalian biarin dia membusuk di penjara?"
Opa dan Omanya sudah akan menenangkan anak itu. Tapi Raka lebih dulu bergerak menjauh.
"Kalian tahu tapi kalian biarin aku benci dia seumur hidup? Kalian biarin aku gak pernah jengukin dia sekalipun?"
"Raka!"
Raka tergelak. Kembali mengusap air mata yang sialnya tidak berhenti mengalir dari sudut matanya.
"Brengsek!"
Bahunya disentuh lembut membuat Raka bersikap defensif. Ia melepas dan langsung menatap nanar pada wanita yang sedari tadi ada namun tidak mengeluarkan suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Redup [FIN]
Ficção AdolescenteAir yang tenang justru menenggelamkan lebih dalam. Terbiasa mendapat perhatian banyak orang tidak membuatnya benar-benar tahu seperti apa rasanya diperhatikan. Menjadi figure skating hampir sepuluh tahun tidak menjadikannya merasa puas. Malam-malam...