---
Setelah menimang banyak hal, Juna akhirnya membawa Sagara ke apartemennya setelah cowok itu tenang. Ia tidak menanyakan apapun dan Sagara juga tidak berniat menceritakan penyebab ia ambruk dijalanan.
Setelah berbaring disofa apartemen Juna, Sagara memejamkan matanya. Menutup dengan lengannya.
Juna bahkan sudah selesai membersihkan tubuh dan kini duduk disofa yang lain. Menyesap kola dingin.
"Ju?"
Juna terkekeh mendengar bisikan Sagara.
"Tenang. Gue gak akan kemana-mana. Tidur aja,"
Sagara tersenyum tipis mendengar gurauan Juna. Merasa tenang setelahnya.
"Gue punya kenalan psikolog. Lo gak mau nyoba?"
Sagara menurunkan lengan. Matanya terbuka pelan. Tapi tidak balas menatap Juna.
Setelah hening beberapa saat. "Kalo gue butuh, lo ada kan?"
Pertanyaan itu sederhana namun nada yang diucapkan Sagara menjadi terasa berat.
"Lo mau gue janji?"
Sagara mengangguk pelan.
"Gue janji, Ga. Tapi lo paham kan, seperti kita yang enggak bisa nyembuhin 'luka'-nya Raka, 'sakit' yang begitu gue juga gak bisa bantu,"
Ucapannya lugas. Juna memang berjanji akan tetap ada untuknya, tapi cowok itu tahu ia tidak bisa apa-apa selain berada disampingnya.
"Karena gue sedang dalam mode waras, gue tahu lo butuh bantuan profesional. Lo sadar kan, Ga?"
Sebagai seseorang yang terbiasa diam, Juna paham betul perasaan Sagara. Entah masalah apa yang didera sahabatnya itu, tapi ia tahu bahwa Sagara kesulitan menyampaikannya. Tidak menemukan cara yang tepat untuk mengutarakannya. Yang ia lakukan hanya diam. Dan itu tidak membantu sama sekali.
Kali kedua melihat bagaimana Sagara kehilangan cara bernapas membuat Juna sadar, temannya itu butuh bantuan.
"Gue inget, Ju,"
Juna menaikkan alisnya. "Apanya?"
"Tante-nya Raka. Gue inget pernah ketemu dimana,"
Juna meletakkan kaleng minuman dimeja. Menatap sepenuhnya pada Sagara yang kini menatap nanar pada udara kosong.
"Hari ini gue ketemu Om-nya Raka. Ditempat yang sama gue ketemu tantenya. Dia manggil gue Cakka,"
Juna tidak mengerti tentu saja. Benang kusut apa yang mengikat mereka semua tidak diketahuinya sama sekali. Pun perihal pesannya yang belum dibalas Raka--membuatnya hanya mampu bertanya dalam hati.
"Memangnya Cakka siapa, Ju? Kenapa dia manggil gue begitu?"
Pertanyaan itu tentu tak mendapatkan jawab. Bukan dari Juna. Jawaban itu bukan berasal dari Juna. Sagara harus mendapatkannya dari orang lain.
Juna tidak memiliki apa-apa. Juga tidak punya jawabannya.
---
"Apartemennya oke gak?"
Cakka mengangguk. "Thank you mas. Aku bayar sewa bulanan aja ya?"
Wira tergelak. "Kan aku dah ngomong kalo kewajibanku untuk memastikan kamu dan Ara hidup nyaman dan bahagia,"
"Aku gak enak. Keluarga Mas Wira udah terlalu baik sama kita,"
"Kamu juga keluargaku, Kka. Kamu adikku sekarang. Seperti Leon, kamu juga berharga buat aku,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Redup [FIN]
Teen FictionAir yang tenang justru menenggelamkan lebih dalam. Terbiasa mendapat perhatian banyak orang tidak membuatnya benar-benar tahu seperti apa rasanya diperhatikan. Menjadi figure skating hampir sepuluh tahun tidak menjadikannya merasa puas. Malam-malam...