#26 Playlist: Hati Yang Bimbang

1.4K 171 53
                                    

Bagai air di daun talas—adalah sebuah pepatah yang mungkin akan sangat cocok dengan kondisi Shelma saat ini. Pepatah tersebut memiliki arti sebagai berikut; Selalu berubah-ubah atau tidak tetap pendirian. Seperti Shelma yang tidak konsisten untuk mengusir jauh Gaharu dari hidupnya.

Pulang ke Bogor dan mengenang masa-masa saat Fidel masih hidup, sejenak membuatnya lupa bahwa di Jakarta, ada seorang laki-laki yang sempat menyukainya—kemudian mengungkapkan rasa suka kepadanya. Yang menurut Shelma, rasa suka itu bukan lah perasaan murni yang lelaki itu rasakan, melainkan hanya sebuah rasa simpati karena ia sakit.

Namun, ucapan dan perlakuan manisnya siang tadi membuat Shelma lupa diri. Membuat Shelma ingin egois—dan menginginkan lelaki itu untuk masuk ke dalam hidupnya.

Melamun dan berdiam diri di kamar yang gelap—dan sendirian pula, membuat Shelma banyak berpikir. Apa sih, yang sedang ia lakukan sekarang? Melupakan Fidel? Melupakan kesalahannya? Melupakan kenyataan di mana ia telah merenggut Fidel—keluarga satu-satunya yang Tante Nora miliki?

Melihat bagaimana rapuhnya Tante Nora di pemakaman hari itu, membuat Shelma kembali berpikir ulang untuk menjalani hidup. Bagaimana Shelma bisa hidup baik-baik saja, sementara Tante Nora menderita di tempatnya?

"Kak Shelma,"

Shelma terkesiap dan menolehkan kepalanya ke arah pintu, melihat Iris yang ternyata sudah pulang kuliah, menatapnya cemas. Iris langsung menghampiri Shelma yang sedang terduduk di lantai sambil bersandar pada lemari.

"Kak Shelma, kok gelap-gelapan? Kak Shelma baik-baik aja, kan? Ada yang sakit?"

Shelma langsung menggeleng. Ia tidak ingin merepotkan banyak orang lagi. "Enggak, Ris. Enggak, aku baik-baik aja kok. Udah sore, ya?"

"Ya ampun. Sampai enggak sadar jam gini." kata Iris lagi. "Beneran enggak apa-apa? Mau Iris teleponin Kak Vira, enggak?"

Shelma menggeleng lagi, kali ini sambil menyunggingkan senyum. "Beneran, Ris. Aku enggak apa-apa, kok."

Iris menghembuskan napas, enggan untuk bertanya lebih banyak lagi walau sorot matanya tampak jelas menunjukkan kekhawatiran.

"Eh, ngomong-ngomong, Ris, Lana kok lama banget ya, di Padang? Iris udah coba hubungin?"

Sejak Shelma kembali ke rumah Arumdalu, Shelma belum bertemu dengan Alana atau Naresya sekalipun—yang saat itu bertengkar sebelum ia pergi ke Bogor. Yang Shelma tahu, kedua orang itu seperti sama-sama menghindar untuk berada di rumah, hingga membuat rumah Arumdalu yang biasanya ramai, kini menjadi sepi.

"Iris udah coba hubungin," balas Iris. "Tapi, nomor Kak Lana enggak aktif."

"Kalau Bang Bian? Udah coba?"

Iris menggeleng. "Iris belum coba. Tapi, Iris kan jarang ngobrol sama Bang Bian. Kak Shelma aja, gimana? Eh, tapi enggak apa-apa? Siapa tahu Kak Shelma masih sakit."

Shelma terkekeh, mengusap-usap kepala Iris. "Enggak apa, kok. Kamu tuh, jangan khawatir berlebihan." Shelma kemudian bangkit berdiri, mengajak Iris yang tadi berjongkok di depannya pun untuk berdiri. "Makan yuk, Ris. Kita delivery aja, gimana?"

"Eh, Iris sampai lupa." Iris tiba-tiba menepuk keningnya sendiri. "Di luar ada cowoknya Kak Shelma."

"Hah?" Shelma melongo. "Sejak kapan aku punya cowok, Ris? Jangan ngejek, dong."

"Loh? Katanya cowok Kak Shelma, kok. Yang tadi siang itu, loh."

Shelma mengerjap lagi, langsung berlari ke luar rumah. Mimpi apa, Shelma—sampai harus memiliki Gaga yang tiba-tiba mengaku menjadi pacarnya? Sudah gila.

Playlist : He's Just Not Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang