6 | sada's untold story

3.9K 488 32
                                    

Gentala ingat betul dengan yang terjadi antara dirinya dan Sada di Yogya.

Kala itu Gentala menggenggam erat tangan Sada saat mereka berjalan di pedestrian Malioboro. Bukan apa-apa, hari itu adalah malam minggu dan Malioboro malam minggu pasti rame banget. Gentala takut Sada hilang. Kalau misal itu anak nyasar dan mesti pulang sendiri, Gentala yakin si Sada pasti nggak terlalu tahu jalan. Nggak bakal berani juga naik taksi sendirian. Makanya tangan Sada nggak boleh kemana-mana, cuma boleh dalam genggaman Gentala seorang.

"Mas," panggil Sada. Namun Gentala hanya bergumam sambil terus berjalan dan tak menoleh sedikit pun ke arah Sada. Ia sibuk dengan ponselnya. "Mas Genta."

"Hm." Gentala masih terus fokus dengan ponselnya, tak berniat mengangkat wajahnya dari smartphone nya itu. Entah apa yang sedang Gentala lihat.

"Mas Gentala!" Panggil Sada lagi dengan lebih lengkap.

Gentala akhirnya kesal. Ia menarik nafas dalam-dalam dengan menggigit bibir bawahnya untuk menahan semburan amarah karena Sada ini haus perhatian sekali. Nggak bisa lihat orang seneng sama dunianya sedikit.

"Apa, Sada sayang?" Tanya Gentala sambil menoleh ke arah Sada dan melemparkan senyum manis yang dipaksakan.

Sada menatap Gentala seksama dengan wajah cemberut bercampur sedih. Senyum palsu Gentala tadi perlahan memudar dan berubah bingung seakan bertanya-tanya kenapa anak manja ini memasang wajah seperti itu.

Langkah mereka terhenti. Sada dan Gentala berdiri berhadapan di tengah-tengah hiruk pikuk Malioboro. Saling menatap satu sama lain lekat-lekat, tak mengerti mengapa tiba-tiba kedua pandangan mereka seakan terikat.

Jantung Gentala tiba-tiba berdebar semakin kuat karena ditatap Sada dengan demikian lekat.

Tiba-tiba matanya terpaku pada kedua mata bulat Sada yang berwarna sedikit kecokelatan—seperti milik Minara. Poni tipis ala cewek-cewek koreanya berterbangan tertiup angin malam. Kantung matanya sedikit terlihat menggembung karena ia sedang menatap Gentala dengan sedikit menyipit. Bibir tipis berwarna merah mudanya sedikit mencebik, membuatnya terlihat imut sekali.

"Mas Genta beneran nggak mau ke luar negeri, kan?" Ucap wanita berkulit putih—yang memiliki sedikit perawakan bule karena darah Jerman dari Minara itu—dengan nada bicara yang sangat serius. Raut wajahnya pun menunjukkan bahwa Sada benar-benar tidak ingin bercanda kali ini. "Mas Genta emang pengen di Jakarta aja, kan?"

Gentala terdiam, terpaku menatap Sada dengan wajah tercenung. Ia bingung kenapa wanita itu bahas hal ini lagi.

Gentala mengernyit. "Kan Mas Genta udah bilang, Mas Genta nggak kemana-mana, Da."

"Karena Sada?" Tanya Sada tajam. "Mas Genta mau di Jakarta aja beneran karena Sada?"

Gentala terdiam. Ia merasakan genggaman Sada pada tangannya mengerat. Tak tahu kenapa, genggaman Sada membuat jantungnya semakin tak karuan. Aneh.

Sada perlahan menunduk. Wajahnya terlihat murung dan seperti ingin menangis. "Sada nggak mau Mas Genta jauh. Tapi ... Sada nggak mau disalahin kalau tiba-tiba nanti Mas Genta nyesel."

Gentala merasakan sensasi aneh di dadanya. Melihat Sada murung seperti itu, selalu menimbulkan gelombang aneh yang menerpa hatinya. Gelombang yang meremas-remas hatinya hingga nyeri dan hanya bisa hilang jika memeluk wanita itu sampai wanita itu tersenyum kembali.

"Kalau Mas Genta mau ke luar negeri ... Sada pasti sedih," bahu Sada mulai berguncang pelan, kepalanya tertunduk menyembunyikan wajahnya. "Tapi, kalau Mas Genta nggak seneng, Sada lebih sedih."

"Da ..."

Sada mulai terisak nggak ada juntrungannya, membuat Gentala mulai meringis bingung melihat wanita itu menangis di tengah jalan. Gentala menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dan berusaha memikirkan cara untuk menghentikan tangisannya. Jelas memeluknya bisa membuat tangisan Sada mereda, namun mereka kan di tempat umum. Malu, ah!

Vortex✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang