30 | titah papa

2.6K 312 71
                                    

Seharian ini—dari pagi sampai sore begini—Sada nggak keluar dari kamarnya. Dia hanya bergelung di bawah selimut sambil menangis tersedu-sedu. Bantal dan gulingnya mungkin udah basah kuyup dibanjiri air mata serta ingus dan ilernya karena dia nangis nggak selesai-selesai.

Sekelebat kerusuhan yang terjadi tadi malam tak henti mampir di pikirannya. Ketakutan, penyesalan, amarah, dan kesedihan, kini ganti-gantian mengambil posisi untuk membuat dadanya sesak.

Sada nggak mau ingat-ingat lagi bagaimana dia ngamuk-ngamuk ke Icha seperti kesurupan reog. Rasanya malu, menyesal, tapi di waktu yang bersamaan, dia masih kesal.

Icha keterlaluan. Itu yang ada di otak Sada sejak tadi malam hingga sekarang.

Semua rasa malu dan penyesalan yang gentayangan di dada dan kepala Sada, terus-terusan dipukul mundur oleh kenyataan bahwa Icha ingin memisahkan dirinya dengan sang pujaan.

Gentala.

Tangisan Sada kembali kejar. Mengingat Gentala, langsung membuat dirinya semakin sedih. Di bayangannya sekarang, ia bisa melihat dirinya sendirian. Kesepian. Jomlo. Kemana-mana nggak ada yang menemani. Nggak bisa lihat senyum Gentala yang manis lagi. Nggak ada yang bisa manja-manjain dirinya lagi.

Sada rasanya kayak mau mati. Sada nggak pernah hidup tanpa Gentala sejak bayi. Gimana caranya Sada bisa menjalani hidup ini kalau Gentala nggak ada di sampingnya lagi?

Sumpah, demi Tuhan! Mbak Ichanya itu mana ngerti?

Air mata Sada kembali mengalir. Deras sekali kayak Katulampa di musim banjir.

"Mbak Icha keterlaluan!"

Sada masih bisa mendengar suaranya tadi malam yang menggelegar. Nastiti yang lagi main lempar bola sama Pasha langsung ngibrit, merangkak ke pangkuan Ayahnya karena kaget setengah mati.

"Kenapa Mbak Icha mau pisahin Sada sama Mas Genta?!"

Masih kebayang jelas banget bagaimana ekspresi Icha yang mematung terkejut karena Sada tiba-tiba membentak-bentak dirinya, apalagi dengan sebutan "Mbak Icha".

Air mata Sada kembali bergulir. Dia tahu kalau dia sudah menyakiti hati Icha, tapi rasanya kekesalannya masih terlalu besar untuk mengakui bahwa ia salah.

"Sada nggak terima Mbak Icha ngatur-ngatur Mas Genta! Mbak Icha toxic! Mbak Icha, sebagai orang tua, terlalu memaksakan kehendak! Mas Genta nggak mau ke Singapore! Kenapa Mbak Icha maksa-maksa?!"

Gentala yang seharusnya tadi malam ada di pihaknya bahkan langsung menarik tangannya. Ia membeliak ke arahnya dengan sorot mata tajam dan mengancam.

"Sada! Apa-apaan kamu kayak gitu sama bunda?!"

Sada sebel banget sama Gentala!

Sada lagi memperjuangkan haknya Gentala, lho! Icha sebagai orang tua sedang berperilaku otoriter dengan memaksakan kehendaknya. Tapi, Gentala malah balik marah sama dia!

"Sada benci sama Mbak Icha!!!"

Jeritan terakhir itu membuat semua orang ternganga.

Sejak semalam, Sada pura-pura nggak lihat air mata yang mengalir di pipi Icha, sebab itu benar-benar mengganggunya.

Sada juga pura-pura nggak tahu kalau Bara manggil-manggil dirinya sampai gedor-gedor pintu kamarnya semalaman. Kakaknya itu ngamuk berat karena melihat tingkahnya yang benar-benar kayak setan dan memalukan.

Sada juga nggak mau mikirin Gentala yang nggak menghampiri dirinya untuk sekedar menenangkan. Mungkin Gentala sekarang benci sama dirinya karena sudah membentak-bentak ibunda tersayangnya.

Vortex✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang