31 | berhenti

2.8K 326 55
                                    

Gentala pusing setengah mati. Sumpah, hidupnya kayaknya nggak pernah lebih drama dari ini, deh. Selama hampir 18 tahun hidup di dunia, nggak pernah ada huru-hara di keluarganya kayak beberapa hari ini.

Sada—yang notabene adalah pacarnya—mencak-mencak ke bundanya. Kalau dilihat dari perspektif orang pacaran, ya, ini jelas namanya gila. Mana bakal dapat restu hubungan mereka. Masa calon mertua dibentak-bentak?

Anjir. Jujur, Gentala merinding sendiri mikirin kata 'Calon Mertua'. Berasa tiba-tiba transformasi jadi Bara, tahu nggak? Terlalu kelewat jauh pikirannya.

Tapi, ya ... hal itu memang yang beberapa hari ini Gentala pikirkan, sih. Bakal gimana hubungannya dengan Sada mulai sekarang? Bakal kayak apa hubungan ayah-bunda sama papa-mama setelah semuanya kebongkar? Aneh banget nggak kalau misalnya papa—kakeknya Gentala—jadi mertuanya? Apa kata orang kalau misalnya mereka tahu bunda punya besan om sendiri?

Gentala mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

Ya, emang masih jauh, sih. Tapi bukannya emang hal ini harus dipikirin? Kalau emang nggak ada masa depannya, harusnya Gentala berhenti di sini nggak, sih?

Di tengah kekalutannya memikirkan nasib hubungannya dengan Sada serta hubungan antara keluarga mereka, tiba-tiba saja pintu kamar Gentala ada yang mengetuk dengan cepat. Lalu sebelum ia menjawab dan menyuruh tamunya masuk, pintu itu sudah menjeblak terbuka dan masuklah Bara.

Kakak dari pacarnya itu menatapnya dengan datar dari depan pintu. Ia berjalan menuju ranjang Gentala setelah menutup pintu kamar.

"Ngapain lo?" Tanya Gentala dengan sengit dengan tubuh yang kini tegap siaga.

Bara tak menjawab. Pria itu hanya menatap Gentala yang duduk di tepi ranjang dengan datar sambil menarik kursi dari meja belajar. Ia menaruh kursi tersebut tak jauh di hadapan Gentala. Lalu ia mendudukinya dengan posisi terbalik dimana sandaran kursi itu ia jadikan sandaran untuk dadanya.

"Pusing lo?" Bara malah bertanya balik. Kedua tangannya terlipat di atas sandaran kursi di depan tubuhnya.

Gentala berdecak malas. "Kenapa? Mau ceramah?"

Bara tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Gentala lekat-lekat sebelum kemudian senyum miringnya tersungging sinis.

"Gue cuma pengen knock some sense into your head, Gen—"

"Nggak usah sok-sok bahasa inggris!"

"—buat bantu lo memutuskan," Bara tak mengindahi gerutu dari Gentala. "Kira-kira apa yang lo lakuin ini udah benar atau belum."

Alis Gentala sontak mencureng. "Lo anak Papa Dika apa adiknya, sih? Tua banget, sumpah."

Bara terkekeh pelan. "Lo tau gue bener, ya, Gen. Tapi lo aja yang malu buat ngaku."

Gentala mendengkus. Wajahnya cemberut, lalu ia membuang muka.

"Gue nggak abis pikir, sih. Bangsat banget lo bisa punya perasaan kayak gitu sama Sada—"

"Anehnya dimana, anjing?!" Potong Gentala sambil mendelik nyalang. "Gue sayang sama dia! Dari dulu sampe sekarang! Bangsatnya dimana?!"

"Lo harusnya jagain dia. Bukan grepe-grepe dia, tolol!" Sembur Bara tak mau kalah.

Kedua mata Gentala membeliak kaget mendengar umpatan Bara. Tubuhnya menegang kaku karena mengingat kesalahan yang ia lakukan di Singapura kemarin. Gentala yakin Bara hanya asal nebak berdasarkan yang ia lihat. Tapi, sial! Telak banget rasanya.

Melihat ekspresi Gentala seperti itu, Bara mendengkus sinis. Lalu kepalanya menggeleng pelan diiringi mulutnya yang berdecih kecil. "Emang udah paling bener lo berdua dipisahin."

Vortex✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang