32 | good bye

7.5K 519 144
                                    

"Udah semua, Gen?" Tanya Icha kepada Gentala yang sedang menutup kopernya dengan susah payah.

Kopernya penuh banget. Padahal ada lebih dari satu. Maklum, sih. Namanya juga mau minggat.

"Udah." Jawab Gentala seraya berdiri lalu ia merenggangkan otot-otot tangan dan bahunya.

Icha mengamati semua barang-barang yang sudah Gentala packing lalu kembali mengabsen beberapa barang yang harus anaknya itu bawa. Gentala yang terkadang pelupa kemudian mengumpulkan barang-barang tersebut ke dalam kopernya dibantu oleh sang bunda.

Setelah selesai, Gentala menjatuhkan dirinya di tepi ranjang. Sumpah, packing itu hal paling melelahkan. Apalagi kalau packing-nya seserius sekarang. Ketika barang-barang yang dibawa banyaknya luar biasa karena kita harus minggat dalam waktu yang cukup lama.

"Gen ..." Icha menghampiri Gentala dan duduk di sebelahnya. "Maafin bunda, ya?"

Gentala memutar kedua bola matanya dengan malas. "Udah, bun. Bunda minta maaf udah dari berapa bulan yang lalu? Dari Gentala masih pakai seragam sampe sekarang Gentala udah wisuda dan tinggal besok berangkat, minta maaf terus. Bosen, tahu?"

Icha mencebik kecil. Wajahnya memelas. "Bunda sayang sama kamu, loh. Jangan pikir bunda kayak gini karena bunda mau buang kamu, ya?"

Gentala berdecak. "Bun, kebanyakan nonton sinetron, ah."

"Ini bunda takut, tau?" Icha mencubit lengan Gentala dengan gemas.

Anaknya ini terlalu menyepelekan keresahan orang tua. Tidak tahu apa kalau jadi orang tua itu berat? Banyak kekhawatiran dan ketakutan yang disimpan orang tua di dalam hati. Bahkan sesimpel ketakutan seperti anaknya berpikiran bahwa orang tuanya bukan orang tua yang baik.

"Anak jaman sekarang, kan, kalau nggak sejalan sama ortunya langsung dibikinin thread di medsos, dibilang ortunya toxic, nggak sayang sama dia. Bunda nggak mau kamu mikir kayak mereka," terang Icha dengan kedua alis berkerut menandakan dirinya sedang serius. "Walaupun dulu waktu kamu segede Nastiti kita musuhan karena rebutan ayah, bunda tetap sayang sama kamu, Gen. Kamu, kan, anak laki-laki bunda satu-satunya. Yaaa ... walaupun mukanya nggak ada muka bunda sama sekali."

"Buuun!" Erang Gentala gemas. Bundanya ini bisa lebih dramatisir dari ini nggak, sih? "Bunda, tuh, nggak toxic! Cuma agak freak sedikit!"

Icha melotot. Tangannya refleks langsung menepuk pelan lengan Gentala. "Heh! Kacau kamu!"

Gentala pun tak dapat menahan dirinya untuk tidak tertawa. "Udah, ya, bun. Gentala nggak apa-apa. Gentala paham, kok, alasan bunda sama ayah kirim Gentala ke Singapura—"

"Good boy."

"—bunda sama ayah mau bikin adek buat Nastiti, kan?"

Mata Icha yang baru saja membentuk bulan sabit karena tersenyum, kini kembali membola. "Gentala Narapati! Ngawur, ya!"

Gentala terbahak sekali lagi. "Peluk Gentala dulu sini!" Pinta Gentala sambil merentangkan kedua tangannya.

Icha pun merangsek masuk ke dalam dekapan sang putra. Kedua tangan mereka sama-sama melingkari tubuh satu sama lain dan memberikan pelukan yang begitu erat.

"Nanti bunda sering ke sana, ya, Gen? Biar nggak terlalu berat nahan kangennya." Ucap Icha dengan nada sedih.

"Sa ae, si bunda. Bilang aja pengen shopping." Ledek Gentala diiringi decakan.

Icha tergelak. "Sssst. Ntar ayah denger, Gen!"

"Kalau denger juga nggak masalah, bun. Malah bisa-bisa ayah beliin jet pribadi buat bunda bolak-balik Singapura." Cibir Gentala ketika mengingat kebucinan sang ayah kepada bundanya.

Vortex✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang