Rama baru menyesap kuah mie cupnya saat ponselnya terus berdering, menerka-nerka siapa yang menelpon di tengah malam begini.
"Rama liat dulu siapa yang manggil."
Menaruh garpu diatas cup, Rama berdecak malas. Merogoh kantong jaketnya untuk mengambil ponsel yang masih saja berdering.
Nama Jea jelek terpampang di layar. Rama mengangkatnya dengan setengah hati, kalau sampai kakaknya ini hanya iseng. Ingatkan Rama untuk menyembunyikan ponsel Jea besok saat ia di rumah.
"Apa?!" tanyanya sebal.
"Rama, ke rumah sakit wijaya sekarang. Giska sakit ram.."
Suara Jea seperti orang yang habis menangis, Rama tau.
"Oke 15 menit gua nyampe."
Ia mematikan panggilan sepihak, membenarkan jaketnya dengan terburu dan menyambar kunci motor Geo yang sejak tadi tergeletak diatas meja. Untungnya anak itu keluar dengan motor.
"Ge, gua pinjem dulu motornya. Kalo besok belum balik lo pake motor gua. Kuncinya diatas meja tengah.
"RAM KENAPA?" Teriak Afkar karena Rama yang berlari ke ujung dimana motor Geo terparkir.
"GAPAPA KOK, JEA MINTA DIJEMPUT DOANG. AMAN." Katanya berbohong.
Rama merasa dirinya tidak tenang sekarang, entah karena suara Jea atau karena kabar Giska yang sakit.
Rama benar-benar menepati omongannya, dia sampai tepat 15 menit. Setelah diberitahu kamar Giska lewat chat tadi, dia berlari masuk. Rumah sakit terlihat lengang, sudah pasti banyak pasien yang tengah tertidur mengingat sudah jam segini. Dia memperlambat larinya saat sudah melihat Jea duduk di depan ruang rawat.
"Kak?"
Wajah Jea memerah, air matanya masih mengalir. Perempuan berusia 22 tahun itu menghambur ke dalam pelukan Rama.
"Kak kenapa? Giska sakit apa? ibu sama ayah ngga kesini?"
Jea melepas pelukannya, menggenggam tangan Rama dan menuntunnya masuk ruangan. Disana, Giska terbaring. Jea melepas genggamannya setelah berdiri tepat disisi kiri brankar Giska.
Rama mundur selangkah, terlalu kaget dengan apa yang dia lihat. Meski sudah tertutupi perban, tapi banyak bagian yang sedikit terbuka. Rama bisa membayangkan seberapa banyak goresan di tangan Giska.
"Kak.. dia?"
"Selfharm."
Rasanya, seperti puluhan es batu jatuh di kepalanya. Kejadian dimana dia selalu bersikap dingin pada Giska, juga kata menusuk yang dia lontarkan berputar seperti kaset rusak dipikirannya.
Rama memegang pelan tangan Giska, teramat pelan seperti benda rapuh yang bisa kapan saja hancur. Dia bernafas lega tidak menemukan goresan besar di sekitaran pergelangan tangan, dimana nadi berada.
"Ngga Rama.. dia ngga nglakuin itu." Jea sadar apa yang adiknya pikirkan.
Perempuan yang menurut Rama sangat cantik itu kembali menariknya keluar ruangan. Duduk di kursi dengan setengah nyawa yang hilang, terlalu kaget dengan kenyataan.
"Dia ke rumahnya sejak pulang sekolah."
Rumah peninggalan orang tua Giska memang masih ada, meski Rama tidak pernah kesana semenjak 3 tahun lalu tapi dia mendengar percakapan ayah dan ibunya. Rumah itu tetap di tinggali satpam dan dua asisten rumah tangga sekalipun si pemilik tidak ada.
"Kaka di telpon mbak dwi, katanya Giska ngga mau keluar kamar terus dari siang sampe tadi."
"Kaka kesana, ngrasa emang semingguan ini Giska keliatan uring-uringan. Tapi anak itu ngga pernah cerita."
"Kaka mutusin buat nyuruh pak satpam dobrak pintunya.."
Rama merangkul Jea, menenggelamkan wajah mungil kakaknya di bahu. Membiarkan bajunya basah karena air mata Jea.
"Giska duduk di lantai, kepalanya nyender di lemari, di sampingnya ada dua silet basah kena darah. Pas kaka pegang badan dia panas, dia demam. Jangan kasih tau ayah ibu dulu ya, setelah Giska keluar rumah sakit kita putusin mau apa okay?"
Rama mengangguk, menghapus sisa air mata di pipi Jea. Mencium puncak kepala kakaknya menenangkan.
Rama rasa, dia harus menurunkan egonya.
■ SIRKEL B ■
Suasana ruang rawat Giska terlalu awkward saat ini. Giska memandang ke arah lain sejak tadi, begitupun Rama yang tidak mau memandang Giska.
Semenjak bangun jam 5 tadi, dia harus menghadapi kenyataan kalau kebiasannya sudah diketahui dua kakaknya. Tapi yang jauh lebih mengagetkan adalah Rama ada disini, menemaninya.
Ruang rawat dibuka, Jea memberikan sebuah amplop putih pada Rama. "Ini surat ijin Giska. Lo buruan balik deh mandi, udah jam enam lebih."
Rama berdiri, memandang langsung Giska tepat dimata. "Jangan nyusahin kakak gua, kalo disuruh makan ya makan."
"Rama!"
Rama tidak mengindahkan intrupsi kakaknya, dia berjalan ke arah pintu. Sebelum keluar cowok itu kembali menoleh ke belakang.
"Jangan lakuin hal itu lagi Giska, Renata ngga akan suka."
Setelahnya punggung yang sudah mulai bidang itu tidak lagi terlihat setelah pintu tertutup. Dan Giska rasa, wajahnya sudah semerah tomat sekarang.
Di koridor rumah sakit, Rama berjalan lesu. Ia teringat kata-katanya sendiri.
'Renata ngga akan suka'
Kalau begitu, Renata juga tidak akan suka dia membenci Giska terus menerus. Rama terkekeh, tiba-tiba merasa marah entah pada apa.
Semuanya seakan bertabrakan di pikirannya sekarang, rasa bencinya, rasa bersalahnya, dan perasaan lain yang tidak bisa dia gambarkan.
Kepalanya terasa pening karena dia tidak tidur sama sekali dari semalam. Bahkan saat Jea tertidur dipelukannya pun, dia tidak bisa sekalipun memejamkan mata.
Rama mengendarai motornya dengan sedikit tidak fokus, dia melihat pada jam di tangannya, sudah jam setengah tujuh lebih lima menit.
Menghentikan motornya di depan minimarket, Rama memutuskan singgah sebentar.
Suara khas Park Jimin menyambut indra pendengarannya, lagu BTS berjudul Life Goes On tengah diputar.
Rama tau mereka karena memang sering mendengarkan lagu-lagu dari boygroup asal korea selatan itu.
"Life goes on." Gumamnya pelan.
Rama mengambil kopi dingin, ia juga membeli rokok dan korek gas.
Hidup terus berjalan, kesalahan, kesalahpahaman, dan semua yang ada dalam hidup akan tetap ada.
Afkar sering berbicara tentang bagaimana berusaha untuk tetap menjadi orang baik. Berusaha memaafkan kesalahan tanpa ada rasa benci, tanpa menghakimi, tanpa kembali menyakiti. Semua hal itu justru yang membuat ketenangan diri.
Rama mungkin tidak akan bisa menerapkan semua hal itu, tapi setidaknya tidak kembali menyakiti akan menjadi hal yang dia coba lakukan mulai sekarang.
Ponselnya berdering, Rama mengusap layar tanpa melihat nama yang terpampang disana.
"Cuk, lo dimana sih? udah mau jam 7 bego."
Rama menjauhkan ponselnya dari telinga, melihat jam. Matanya membulat melihat sebentar lagi benar-benar sudah jam 7.
"Bangsat gua telat Pras." Jawabnya panik.
Rama mematikan panggilan, menyambar kunci motornya di meja dan meraih sampahnya untuk dia buang. Dia sama sekali tidak sadar sudah melamun hampir setengah jam.
"Halah kena hukum lagi hari ini."
■ SIRKEL B ■
![](https://img.wattpad.com/cover/269000380-288-k173401.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirkel B [BTS Lokal] ✔
ФанфикSepenggal kisah 7 pemuda yang sering murid SMA Nusa Bangsa sebut 'Sirkel B' Mereka berisik, mereka tidak bisa diam, mereka baik. Penilaian setiap orang tentu berbeda-beda. Bagi mereka, pertemanan menjadi penghilang sepi, pelipur lara, atau sekedar...