Sirkel B - 27

804 146 7
                                    

Senja melihat arloji yang dipakainya, sudah hampir jam 11. Terlebih, sebentar lagi tim basket sekolahnya sudah akan memasuki lapangan tapi penonton yang dikirim dari sekolah belum juga tiba.

Dia berdiri di samping Yumna, kakak kelasnya yang menjadi manajer tim basket. Sedikit gugup karena disana dia hanya mengenal Remmi dan Rean. Itu pun tidak dekat sama sekali.

Sebenernya ia ada disana hanya karena keberuntungan, tidak sengaja bertemu di parkiran sekolah dengan pak Wisnu pelatih tim basket yang tengah mampir ke sekolah pagi tadi.

Pak Wisnu entah iseng atau apa tiba-tiba mengajaknya ke tempat penginapan dimana tim basket menginap selama masa kompetisi. Tanpa pikir panjang, Senja mengiyakan ajakan pak Wisnu. Satu keberuntungan baginya berangkat pagi-pagi hari ini, selain bisa bolos upacara, Senja juga bisa bolos pelajaran seharian.

Jadilah ia disini, berada diantara tim basket. Untungnya Remmi dan Rean sedari tadi bisa mengajaknya masuk dalam obrolan mereka. Juga anggota tim basket yang lain, yang ternyata asik tidak seperti dulu-dulu.

Lagipula, Senja rasa mereka dulu agak berbeda dengan Sirkel B karena mereka yang kecewa dengan Geo keluar dari tim padahal masa pemulihan setelah jatuh dari motornya sudah selesai. Dan juga ada sedikit kesalahpahaman antara Sirkel B dan mereka karena Rean.

Ia baru pulang dari Yogyakarta semalam padahal, bahkan badannya masih terasa pegal duduk di kereta berjam-jam.

Empat hari kemarin, dia dan mama berkunjung ke rumah kakaknya mama atau budhenya yang ada di Jogja. Mama mengambil cuti selama itu untuk sekedar healing disana. Termasuk Senja yang memilih mematikan ponselnya.

Sebenarnya, Senja ingin berlama-lama disana. Rasanya belum siap menghadapi kenyataan. Bertemu Sirkel B dan juga hari ini sidang terakhir perceraian kedua orang tuanya.

"Senja, kamu duduk di tribun ngga papa kan? kami mau masuk ke lapangan."

Senja tersadar dari lamunannya, "ngga papa kok pak. Sebentar lagi orang-orang dari sekolah juga pasti nyampe."

"Ya sudah, kami duluan ya."

"Iya pak."

"Senjaaaa doain kita broooo."

Senja tertawa, yang tadi namanya Harry. Anaknya lucu dan banyak bercanda. Harry juga seangakatan dengannya ternyata, anak kelas 11 IPA 1.

Senja berlari ke arah berbeda, dia bergegas ke tribun. Berharap orang-orang yang dikirim sekolahnya cepat datang.

Senja menggigit bibir bawahnya, dia masih belum menyalakan ponselnya bahkan setelah pulang. Tapi sekarang, ia merasa awkward tidak ada yang bisa dia pegang.

Tim basket masih pemanasan.

Untungnya tidak lama pertandingan dimulai, Senja jadi sedikit bersemangat tapi lebih ke gugup.

Senja agak sedikit kaku karena harus berteriak sendirian setiap poin tercetak dari timnya. Ternyata mendukung tim dari tribun susah juga, pikirnya.

"Aduh mampus ini mana sih penonton kaga dateng-dateng."

Remmi mencetak poin lagi, Senja baru akan berteriak saat seseorang sudah mendahuluinya. Ia menoleh ke belakang, suara yang familiar ditelinganya itu, suara Pras.

Mereka saling pandang seperkian detik sampai akhirnya pak Rey menyuruh anak-anak lain untuk segera mengambil tempat.

Tempat sebelah Senja sudah lebih dulu diisi anak-anak IPS yang Senja lupa namanya. Sedangkan Pras ada di sebelah pak Rey yang berdiri di belakangnya, Davin yang juga ternyata ikut berdiri di sebelah Pras.

Senja tidak tahu, kenapa Tuhan tidak membiarkannya untuk lari sedikit lebih lama lagi.

SIRKEL B

Tim basket Nusa Bangsa berhasil melaju ke babak final. Pertandingan panjang yang hasilnya cukup melegakkan.

Senja sudah berada di minibus sekolah sekarang, dia tidak bisa pulang dengan pak Wisnu yang memang masih harus tinggal disini.

Sudah hampir lima menit dia menunggu bus sampai penuh, berulangkali juga Senja berdoa dia tidak duduk di dekat Pras ataupun Davin. Karena jujur, Senja benar-benar belum siap bertemu mereka.

Sayangnya, dewi fortuna sedang tidak berpihak. Davin duduk tepat di sebelahnya, memberikan satu kotak susu pisang yang Senja terima dengan sedikit lesu.

Pras duduk di seberang Davin, anak itu sudah mengobrol. Tidak memperhatikannya sama sekali. Seharusnya Senja senang sih, tapi entah mengapa dia merasa ada yang kurang.

"Udah?"

Davin tiba-tiba mengajukan pertanyaan ambigu yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang.

"Apa?"

"Lo udah larinya?"

Menghela nafas, Senja meminum susu pisangnya hingga habis. Tangannya meremas-remas kotak kertas satu itu.

"Nja."

"Iya iya." Jawabnya sedikit emosi. "Gua mau lari lagi tapi malah ketemu lo sama Pras."

Davin menaikkan sebelah alis, matanya menatap tajam Senja yang tidak mau menatapnya balik.

"Kapan mau ngomong?"

Senja mengembuskan nafas kasar, memberanikan diri menatap Davin. Bisa Davin lihat cairan bening di pelupuk mata sahabatnya.

Senja, hampir menangis.

'Nja.. lo kenapa?'

"Ntar sore jam 4, di apart Pras. Jangan ganggu dan nanya gua lagi sekarang!"

Senja melihat ke arah jendela, emosinya tersulut begitu saja hanya karena Davin yang ia rasa terlalu mendesaknya untuk menjawab.

Arka.

Satu orang yang sangat dihindarinya sekarang. Tapi Senja tau, nanti sore penentuan bagaimana ia bisa bersikap setelah ini.

"Sayang, mama ngga bisa maksa Senja buat maafin Arka. Tapi mama minta dengerin dulu ya, alasan sebenarnya Arka menyembunyikan semua."

"Ma! dia bahkan biarin ibunya sama papa. Senja benci ma."

Mama mengulas senyum, merapikan poni Senja yang terkena angin. "Sayang.. bicarakan dulu ya dengan Arka."

"Ma... kenapa mama ngga marah sama Arka?"

Mata Senja berair, ia menatap sendu mama yang masih juga memberikan senyum hangatnya.

"Karena yang berbuat itu ibunya dan papa kamu. Arka hidup diantara tuntutan dan kurangnya kasih sayang. Kamu pernah cerita ke mama kan, bahkan setelah semua itupun dia tetap menyayangi ibunya."

Senja semakin yakin, mamanya memang malaikat terbaiknya di bumi. Dan tidak ada yang boleh menyakiti satupun.

Senja mengusap air mata yang tiba-tiba turun, ia mengingat pembicaraannya dengan mama beberapa hari lalu saat mereka ada di gazebo rumah budhe di Jogja.

Diantara semua kemungkinan, Senja rasa Arka membohonginya karena rasa sayang pada ibunya.

Meski begitu, Senja masih tidak bisa menerimanya. Benar kata Rean hari itu, perbuatan ibu Arka bukan suatu hal yang bisa dinormalisasi.

Karena wanita yang sangat di sayangi Arka itu, sudah merenggut kebahagiaannya.

Senja merasakan pergerakan di sampingnya, dia sedikit membuka matanya yang sedari tadi dipaksakan untuk pura-pura tertidur.

Orang yang duduk di sebelahnya bukan lagi Davin, tapi seseorang yang mengenakan gelang merah, teman Pras tadi.

'Lo cape ya sama gua vin?'

SIRKEL B ■

Sirkel B [BTS Lokal] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang