Ch 11

1.6K 142 5
                                    

Sepanjang jalannya, Vanya termenung memikirkan cerita teman-temannya tentang Ken. Rasanya masih sulit percaya jika cowok yg ia kira baik itu sudah melakukan hal tercela.

Dan sikap Ken yg lari dari tanggung jawab membuat image nya semakin buruk dimana orang-orang. Meski itu bukan atas keinginannya sendiri, melainkan atas perintah orang tuanya.

Tetap, Ken yg kena imbasnya.

"Vanya !"

Vanya menghentikan langkahnya. Nathan yg sudah berlari, berhenti di depan Vanya saat ini. Cowok itu mengukir senyum lebar. Senyum yg menurutnya menawan, yg mampu memikat hati para cewek.

Nathan dalam mood yg teramat baik. Setelah mendengar pengakuan Ken tadi di kelas, yang mengatakan jika dirinya dan Vanya tidak memiliki hubungan apa-apa.

Nathan bersyukur, karena usahanya waktu itu berhasil membuat Ken mundur.

Cowok itu tidak tahu diri. Sudah bajingan, brengsek, mau-mau nya bersaing dengan Nathan dalam mendapatkan Vanya.

Cih ! Sama sekali tidak pantas.

"Kamu beneran gak pacaran sama Ken ?" tanya Nathan. Belum mendapat jawaban. Tapi Nathan sudah tersenyum lebar.

Vanya menjaga jarak dari cowok itu. Sejak awal, Vanya tidak terlalu nyaman dengan Nathan. Entahlah, Vanya merasa sedikit .. ilfeel ?

"Aku emang gak pacaran sama dia. Kenapa ?" Vanya bertanya balik

Nathan menghembuskan nafas lega. Senyum di wajahnya tak luntur sama sekali. Ia benar-benar bahagia.
"Kalo gitu, kamu mau gak jadi pacar aku ?"

Pernyataan kedua

Vanya mendelik, menatap Nathan lama. Entah cowok itu tak sadar atau kebal. Jelas-jelas Vanya menolak nya sejak awal. Vanya tidak memiliki sedikitpun ketertarikan pada cowok itu.

"Maaf"

Kata sakral yg langsung membuat luntur senyum Nathan. Belum selesai, namun Nathan bisa menerka lanjutan dari kalimat yg hendak Vanya lontarkan.

"Aku gak suka sama kamu"

Dia ditolak, lagi.

Vanya menatap Nathan tak enak. Ia sadar jika penolakan nya akan membuat Nathan sakit hati. Tapi mau bagaimana lagi. Vanya hanya berusaha jujur pada perasaannya.

Nathan tersenyum kecut,
"Gitu ya ?" berusaha terlihat tegar meski tak dipungkiri, hatinya patah karena penolakan itu. "Ya udah gak papa"

Nathan berbalik, dia melangkah pergi dari hadapan Vanya.

Nathan menghembuskan nafas kasar,

"Ternyata begini ya rasanya nembak dan di tolak secara langsung, sama cewek yg kita suka"

Nathan memegang dadanya. Ia tak bohong. Sakitnya tuh disitu !

"Gue pengen nangis anjir !"

🍀

Vanya baru sampai di rumahnya. Lapar yg memderanya membawa Vanya melangkah ke dapur. Membuka tudung saji di meja. Mata Vanya berbinar, saat menemukan nasi dan tahu tempe di sana. Ia menggeser kursi dan duduk disana. Vanya langsung menyendok nasi dan lauknya ke atas piring. Vanya menyantap makanannya.

Makan disaat lapar mendera benar-benar sebuah kenikmatan.

"Baru pulang, kak ?"

Vanya menolehkan kepalanya. Melihat ayahnya dengan wajah bantal dan rambut acak-acakan keluar dari kamar. Pria paruh baya itu menutup mulutnya saat menguap. Ia menggeser kursi diseberang Vanya, dan duduk disana.

Vanya menelan makanan dimulutnya sebelum menjawab sang ayah.
"Iya, pah. Vanya baru sampe. Emm, mama kemana pah ?" Tanya Vanya.

Sejak ia datang, keadaan rumah tampak sepi. Bahkan dua adik Vanya pun tak terlihat. Mungkin mereka sedang bermain. Tapi bagaimana dengan ibu Vanya ? Tidak biasanya Vanya tidak menemukan ibunya di rumah sepulang sekolah.

"Gak tahu, papa kan baru bangun, kak" jawab ayah Vanya. Sambil menyendok nasi ke piringnya. Siap menyantap makanan seperti Vanya.

Vanya hanya mengangguk tanpa berniat bertanya lagi.

Beberapa saat, hanya dentingan sendok yg terdengar. Sampai ayah Vanya berdehem dan kembali membuka topik pembicaraan.

"Gajian kaka kapan ?"

Topik yg tidak terlalu disukai Vanya. Membuat gerakan Vanya seketika melambat. Vanya memandang ayahnya penuh arti.

Vanya menelan ludah dengan berat.
"Tanggal 10, pah"

"Berarti besok donk ?"

Vanya mengangguk

"Jangan lupa bayar kontrakan ya, kak. Sekalian sama listrik sama air PAM. Kamu kan tahu papa gak kerja sekarang. Jadi sebisa mungkin, kamu bantu papa ya !"

Vanya kembali mengangguk, "Iya pah"

Berusaha ikhlas. Meski di lubuk hatinya ia merasa lelah. Karena hasil keringatnya hanya habis oleh biaya yg disebutkan ayahnya barusan. Kerja keras yg Vanya lakukan seakan tak menghasilkan. Karena Vanya bahkan tak dibiarkan menikmati secuil pun dari hasil jerih payahnya sendiri.

"Vanya ke kamar ya pah"

"Hn"

Vanya bangkit dari duduknya, ia pergi ke kamarnya. Menutup pintu dan segera menghamburkan diri di kasur.

Vanya menutup mata dengan sebelah lengannya. Air mata meleleh dari matanya. Vanya menggigit bibirnya, berusaha menahan isak tangis yg mendesak ingin keluar.

Vanya selalu berusaha menampar diri. Ia tidak boleh egois. Ia harus ingat pada kedua adiknya yg masih sekolah. Ia harus ingat wajah lelah ibunya saat pulang kerja menjadi buruh cuci tetangga. Ia harus ingat, pada masa dimana ia melihat keluarganya kelaparan.

Tidak, Vanya tidak mau kejadian itu terulang kembali. Vanya tidak mau lagi menangis melihat adik-adiknya merengek karena belum makan dari pagi.

Kejadian yg amat menyayat hatinya. Kenangan yg membuat Vanya berusaha tegar demi keluarga yg ia cintai.

Vanya menghapus air di wajahnya. Menepuk pipi dengan kedua tangannya.
"Sadar Vanya ! Kamu harus kuat ! Kamu-harus-tegar !" Vanya mengepalkan tangannya, ia meneguhkan hati "Aku pasti bisa"

Aku (tak) BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang