Ch 1

8.6K 335 4
                                    

Ken membenahi barang bawaannya. Ia melihat sekitarnya yang tampak senggang. Bangku berjajar yang mampu menampung lebih dari empat puluh orang itu, hanya terisi beberapa orang saja. Memang di sini tidak banyak yang mengenyam pendidikan. Karena orang akan lebih memilih meneruskan sekolah mereka ke Sekolah Umum, atau Kejuruan. Bukan sekolah tempat Ken berpijak saat ini.

"Ken!"

Seseorang memanggilnya. Pemuda yang sudah ia kenal sejak SD dulu. Dia Yudist, orang yang paling dekat dengannya di kelas ini.

Pemuda itu merangkul bahu Ken,
"Ke belakang, yuk. Pengen ngerokok gue, mumpung belum masuk."

Di sekolah mereka memang diperbolehkan merokok. Tapi hanya diijinkan melakukannya di luar lingkungan sekolah. Mereka harus melewati gerbang untuk bisa menikmati gulungan putih itu.

Bukan hanya merokok, mereka juga diperbolehkan untuk tidak masuk setiap hari jika memiliki pekerjaan. Namun diharuskan mengisi absen di hari minggu, dimana hari itu kelas mereka full sampai sore.

Para perempuannya pun dibebaskan bersolek sampe medok pun tidak dipermasalahkan. Pakaian mereka tidak diatur, bebas mengenakan apa saja asal masih di batas sopan.

Di mana Ken sekarang? Sekolah tempatnya mengenyam pendidikannya yang tertunda, PKBM Trisurya. Ken mengikuti Program kejar paket C, Sekolah setingkat SMA.

Ken melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarumnya menunjuk pukul 13.07 . Ken menimang, apa ia harus menerima tawaran Yudist? Sedangkan jam masuk kelas tidak bisa ditentukan, entah masih lama atau sebentar lagi gurunya datang.

"Ayo, lo kebanyakan mikir."

Yudist menarik Ken paksa. Membuat Ken hanya bisa pasrah mengikuti langkahnya. Ia sampai di bagian belakang gedung sekolah. Tampak sekumpulan siswa lainnya tengah berkumpul di sana. Beberapa dari mereka menikmati sebatang rokok. Sedangkan yang lain hanya ikut mengobrol atau mengemil cemilan kecil.

"Pinjem korek, Ken. Lo bawa gak?" tanya Yudist. Ia sudah memegang sebatang rokok di tangannya. Siap melakukan apa yang teman-temannya juga lakukan.

Ken merogoh sakunya malas. Lalu memberikan sebatang bensin pada Yudist. Temannya itu langsung menyalakan pematik api itu, hingga rokoknya menyala. Yudist mengempulkan asap dari mulutnya.

Sadar akan sesuatu, Yudist menoleh pada Ken, menatapnya heran.
"Lo gak ngerokok, Ken?"

Ken menggeleng.

"Kalo lo gak bawa, ini gue masih ada kok," tawar Yudist, merogoh saku celananya. Namun, Ken bubu-buru menolak.

"Gak, Yud. Gue lagi gak pengen ngerokok," tolak Ken.

Alis Yudist semakin meninggi, "Tumben."

Yudist sangat hafal jika Ken tidak pernah bisa jauh dari gulungan putih itu. Beda dengan dirinya, Ken lebih dulu menjadi pecandu rokok. Tapi anehnya hari ini, Yudist menemui Ken di saat cowok itu tidak mau melakukan itu.

Benar-benar langka.

"Ngapain sih lo pake ketawa?!" ketus Ken kesal saat temannya itu terkekeh kecil.

Yudist menjawab jujur, "Aneh aja, kayak bukan lo banget."

Ken berdecak, memang apa salahnya jika Ken tidak sedang ingin merokok? Tidak setiap saat kan dirinya harus selalu memiliki keinginan itu?

Lagipula, Ken khawatir kelas sebentar lagi mulai. Jadi ia memilih untuk tidak ikut-ikutan dengan teman-temannya.

"Hey, lo pada ngapain masih pada di situ? Kelas udah mulai, noh!" seru seorang cewek yang baru datang menemui mereka. Dia Dewi, gadis bar-bar yang tidak banyak disukai karena sikapnya sendiri.

Buru-buru mereka mematikan rokok masing-masing. Bangkit berdiri dan mengikuti Dewi masuk ke kelas mereka.

Saat sampai di kelas, ternyata memang sudah ada bu Tari, wali kelas mereka. Beliau sama sekali tidak terlihat marah. Yah, sudah Ken katakan sebelumnya, peraturan di sekolah itu tidak terlalu ketat.

Bahkan ada salah satu teman Ken di sana yang memiliki tatto di tubuhnya, dan hanya mendapat teguran ringan dari guru mereka.

Ken sudah duduk di bangkunya, bersama Yudist di sampingnya. Mereka duduk di kursi belakang. Seperti pada umumnya, laki-laki memang kebagian tempat terbelakang, karena kursi depan selalu para perempuan yang mendominasi. Ken juga sebenarnya nyaman-nyaman saja di belakang. Karena berada di antara para perempuan hanya membuat telinganya panas oleh obrolan mereka yang hanya seputar menggunjing keburukan orang lain.

Ken tidak pernah mengerti pada makhluk tuhan yang satu ini. Selain sudah sifat alaminya cerewet, mereka juga selalu sibuk mencari celah keburukan orang, sampai lupa untuk bercermin.

"Baik, semuanya sudah masuk?"

Bu Tari memulai kelasnya. Matanya menyapu sekitar. Kelasnya hanya diisi beberapa siswa yang jumlahnya tidak sampai tiga puluh. Tapi ia senang bukan main. Karena tahun ini, murid yang masuk ke sekolah ini lebih banyak dari tahun sebelumnya.

"Vanya, apa ada yang tidak hadir hari ini?"

Bu Tari bertanya pada siswanya yang duduk paling depan. Cewek yang mengenakan blazer nude itu tampak berfikir keras. Dari tempatnya, Ken diam memperhatikan.

"Emm-" Cewek itu menoleh ke belakang. Menyapu seisi kelas dengan pandangannya. Saat itulah, Ken bisa melihat dengan jelas wajah cewek itu.

"Yang gak sekolah, Hanifa, Galih, sama ... sisanya Vanya gak tahu namanya, bu."

Tanpa sadar Ken tertawa kecil. Kejujuran Vanya itu membuatnya geli. Sedangkan untuk bu Tari, wanita paruh baya itu terlihat tidak puas dengan jawaban yang Vanya berikan.

"Kok bisa gak tahu? Kan kamu sekretarisnya, Vanya," ucap bu Tari.

Ya, bagaimana Vanya bisa mengetahui semua teman sekelasnya? Jika absensi saja tidak wali kelasnya itu berikan padanya. Dalam hati Vanya mengomel.

"Lain kali jangan kayak gini, ya? Kamu harus hafal setiap murid yang ada di kelas ini."

Vanya hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, "Iya bu."

Ken menyikut Yudist, menarik atensi temannya itu untuk segera menoleh.

Ken menunjuk dengan dagunya,
"Siapa dia?"

"Vanya. Lo denger sendiri kan tadi bu Tari manggil namanya. Gak usah belagak bego deh lo," decak Yudist.

Vanya, ya?

Aku (tak) BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang