O3 [ plan ]

2.6K 443 27
                                    

P S Y C H O  ;  S U N G H O O N

Jiya menatap pantulan wajahnya ke arah cermin. Benar-benar berantakan, poni yang awut-awutan, rambut yang terlihat seperti tidak disisir dan mata yang sedikit bengkak.

Jiya menghela nafasnya kemudian beranjak masuk ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Bagi Jiya, kamar mandi itu tempat yang sangat baik untuk menenangkan pikirannya.

Setelah cukup lama berdiam di kamar mandi, Jiya memakai baju rumahannya. Dirinya harus menceritakan apa yang terjadi ke ibunya. Ia melangkahkan kakinya menuju keluar kamar.

Jiya celingukan mencari dimana ibunya sekarang. Tak membutuhkan waktu yang lama, Jiya dapat menemukan ibunya yang berada di kamarnya, sedang menonton acara televisi.

Kehadiran Jiya di ambang pintu kamar dapat disadari dengan cepat oleh ibunya. Ibu Jiya tersenyum kemudian mengatakan, “sini, kak. Masuk!” ajaknya.

Jiya mengangguk mantap kemudian berjalan menuju kearah sang bunda. “Sesuai perkataan Jiya tadi, Jiya mau cerita apa yang terjadi dan apa yang buat Jiya nangis,” ucapnya sambil tersenyum tipis.

“Jungwon sesekolah sama Jiya, bun.”

Jaera—ibu Jiya melototkan matanya kaget atas penuturan anaknya. Ternyata anak bungsunya itu satu sekolah dengan anak sulungnya. Ada perasaan bahagia di hati Jaera, tapi dirinya juga merasa sedih.

“Jiya udah coba sabar bun. Tapi, tetep aja Jungwon acuhin Jiya. Jiya udah dianggep seperti orang asing sama Jungwon. Apa Jungwon di tempat tinggalnya sekarang bahagia bun? Sampai bersikap segitunya sama Jiya? Apa Jungwon udah ngelupain bahwa Jiya itu masih sedarah dengannya?” ucap Jiya panjang lebar.

Jaera menghapus air matanya yang kini jatuh, kemudian menatap lembut manik Jiya. “Jiya masih sayang, 'kan sama Jungwon?” tanya Jaera sambil tersenyum.

Tidak mungkin jika Jiya menjawabnya tidak. Jungwon itu saudaranya sendiri, saudara kandungnya. Mana mungkin dirinya tidak menyayangi adik satu-satunya itu. Jiya menganggukkan kepalanya mantap. “Mana mungkin Jiya gak sayang sama adik Jiya sendiri. Jiya masih sayang sama Jungwon, Bun. Walaupun Jungwon benci sama Jiya.”

Jaera tersenyum kemudian mengelus surai hitam milik Jiya. “Besok bunda mau buatin bekal untuk Jungwon. Titipin salam bunda sama Jungwon ya, kak!” ucap Jaera membuat Jiya yang berada dihadapannya kini tersenyum kemudian mengangguk.

⚔️

Pria berpostur tinggi itu sedang membersihkan tangannya dengan agresif di tempat cuci dapurnya. Fokusnya teralihkan ke sarung tangannya yang sudah dipenuhi oleh noda merah. Pria itu mendesah berat, Ia lupa untuk membakarnya.

Setelah membersihkan tangannya, pria itu beranjak ke belakang rumah dan tidak lupa untuk membawa korek api miliknya. Ia membakar sarung tangan tersebut hingga menjadi debu. Tak lupa ia juga mengubur debu itu untuk menghilangkan barang bukti.

“Ck, tuan itu sangat menyebalkan! Tugas fisika gue belum kelar juga!” keluhnya datar, sambil mencuci tangannya lagi yang kembali kotor karena debu dan tanah.

“Sunghoon!” teriak seorang pria membuat sang pemilik nama menoleh penuh dendam dengan pria yang menyebutkan namanya.

“Kemana? Tega lo sama gue?” tanya Sunghoon dengan datar lagi dan lagi. Pria yang berada dihadapannya kini menampilkan cengiran khasnya, ia sudah melakukan kesalahan kali ini.

“Maaf ya, karena gue lo bersihin itu sendirian, yang seharusnya itu jadi tugas gue, Gue habis anterin nyokap gue arisan, maaf banget, Hoon. Nyokap gue gak bisa diajak berkompromi. Percaya deh sama gue! Ya-ya!” ucap pria itu sambil membentuk tanda peace di kedua tangannya.

Psycho | Sunghoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang