Tidak semua cerita butuh diselesaikan tepat waktu dengan ending yang diharapkan, adakalanya, pada akhir kita diberikan pelajaran tentang menghargai waktu, sedang di lain kisah, kita justru diminta untuk bisa merelakan dengan paling lapang. Beberapa memohon untuk diberi kesempatan memperbaiki setelah menyesali, beberapa yang lain dihukum untuk terus merasakan penyesalan.
Dika masih bingung atas kisahnya sendiri. Tidak paham letak dirinya dalam cerita itu seperti apa, kadang ia sangsi bahwa dirinya sebagai pemeran utamanya, atau mungkin ia merebut posisi pemeran utama itu dari Aksa. Di lain kesempatan, ia merasa bahwa seharusnya dia tidak berada dalam kisahnya sendiri, atau seharusnya kisah keduanya tidak pernah ada.
Banyak yang Dika sesali, sebanyak hal yang ingin mulai ia perbaiki satu persatu . Dan Aksa adalah penyesalan terbesar yang sangat ingin Dika perbaiki. Belakangan ia mulai mengeluh dalam diam, untuk banyak kata 'seharusnya' yang sulit disuarakan.
Seharusnya ia tidak perlu menyusahkan Aksa
Seharusnya ia tidak perlu membenci Aksa
Seharusnya Aksa tidak menjadi pelampiasan atas rasa marahnya pada semesta
Seharusnya Aksa tidak menghalangi ketika pisau itu hendak membunuhnya
Seharusnya bukan Aksa, tapi dirinya yang ada di posisi ini sekarangSeharusnya.. hari itu dia tidak berkata, bahwa semua akan baik-baik saja kalau Aksa tidak ada.
Pertemuan Dika dengan Annisa siang tadi ternyata cukup berdampak bagi Dika. Setiap kata yang Annisa katakan bagaikan belati yang menusuk tepat di jantung Dika, tapi bahkan untuk merasakan sakit pun seolah ia tidak pantas. Sangat tidak pantas.
Dika baru saja selesai dari check up rutinnya, meninggalkan ruangan Aksa sejenak, karena sudah ada kedua orang tuanya disana yang menunggui Aksa. Dalam perjalanan kembali ke ruangan Aksa, Dika tidak sengaja melihat cewek yang masih dengan balutan seragam sekolah itu duduk menunduk didepan ruangan Aksa.
Dika mendekat, mengambil posisi duduk disamping Annisa dengan jarak satu kursi kosong diantara keduanya. Dika tidak bersuara apapun, tapi cewek dengan kerudung putih itu bisa langsung mengenali Dika tanpa harus mengeceknya. Bahkan dari samping postur tubuh keduanya tampak sama.
"Sehari sebelum kejadian, malamnya Aksa nembak aku" ujar Annisa memecah keheningan diantara keduanya.
Dika tertegun. Ah, dia ingat. Malam ketika dia mimpi buruk tentang Aksa. Dika menoleh pada cewek disampingnya yang masih enggan untuk menatap Dika, menunggu kalimat selanjutnya dari Annisa.
"Tapi aku tolak." ucap Annisa, "Bukan berarti aku enggak suka Aksa. Mungkin Aksa adalah cowok pertama yang berhasil bikin aku jatuh hati," kali ini gadis itu tersenyum.
"Terus?" ucap Dika ragu-ragu. Dahinya berkerut, mulai penasaran dengan apa yang akan diucapkan Annisa
"Aku bilang.. Aku enggak bisa nerima seseorang yang menjadi orang lain. Cowok yang berhasil bikin aku jatuh cinta itu Aksa, bukan bayangan Dika."
Seketika Dika membeku mendengar ucapan Annisa.
"Aksa bahkan udah tersesat, Dik. Bingung dengan jati dirinya sendiri, kadang ia tidak tau harus menjadi Aksa atau Dika. Kamu suka footsal, dan Aksa membenci kegiatan outdoor, tapi karena kamu, ia bahkan mati-matian latihan untuk jadi kapten footsal, katanya, ini cita-cita Dika dari kecil. Aksa itu introvert, seringkali dia risih tiap harus memimpin rapat OSIS dan berusaha terlihat friendly di semua orang. Lagi, katanya Dika mudah bergaul," Annisa tertawa pelan, mengingat setiap kejadian-kejadian dimana Aksa hanya akan menyebutkan semua tentang Dika.
"Saat itu, aku yang enggak pernah ketemu kamu sekalipun, rasanya jauh lebih dekat dengan 'Dika' dibanding Aksa"
"Aksa bilang, sodara kembar punya ikatan bathin, mereka bisa merasakan sedih, sakit dan senang yang dirasain kembarannya. Tiap kali Aksa berhasil mencetak gol, dia akan tertawa kegirangan, berharap kamu juga bisa rasain euforianya, tapi enggak pernah berhasil. Aksa pikir, mungkin ia kurang tulus melakukannya, makanya kamu enggak bisa rasain. Aku sampai bingung, Aksa harus kehilangan dirinya sejauh mana sampai bisa bikin kamu paham, Dik?" suara Annisa bergetar, menahan gemuruh yang saling berlomba mulai merambat pada netranya.
Didalam sana, ia seperti diremukkan. Tidak paham bagaimana Aksa bisa bertahan dengan segala luka yang semesta berikan untuknya.
"Malam itu, Aksa janji akan menjadi dirinya sendiri. Aksa bahkan berencana ngomong sama kamu setelah olimpiade berakhir, mulai dari awal untuk memperbaiki segalanya, tapi lagi-lagi tidak berjalan sesuai rencana Aksa. Aku enggak tau apa yang terjadi antara kalian berdua sore itu, tapi Aksa sempat hubungin aku dan bilang,"
Ucapan Annisa terhenti, ia menggigit bibir dalamnya demi meredam isak yang mulai tidak bisa dikontrol, menghela napas pelan lantas menghembuskannya untuk meredam emosi, "Dika bilang seharusnya aku enggak pernah ada, Cha. Dia minta aku menghilang."
Pertahanan Annisa akhirnya runtuh. Kedua tangannya terangkat untuk menutupi wajahnya, menyembunyikan isakan pilu didalam sana.
Tapi tidak berlangsung lama. Ia tidak ingin menangis, apalagi menangisi kekejaman semesta pada Aksa. Jika Aksa bisa sekuat itu menanggungnya, tidak ada alasan bagi Annisa untuk patah. Annisa tidak Ia segera menyeka air mata di pipinya, lantas berdiri.
"Aku mohon, Dika. Setelah ini, biarkan Aksa untuk menjadi dirinya sendiri. Izinkan Aksa untuk menjadi bahagia tanpa harus bergantung pada kebahagiaan kamu."
Annisa mengakhiri ucapannya. Kemudian berlalu begitu saja. Meninggalkan Dika yang membeku ditempatnya. Meninggalkan Dika dengan seluruh perasaan bersalahnya.
Annisa tidak bermaksud menjatuhkan Dika, barang sedikit membenci cowok itupun Annisa tidak mungkin. Hanya saja, Annisa ingin agar supaya Dika paham betapa besar cinta disekitarnya, dan mulai belajar menerima cinta tersebut dari orang-orang terdekatnya. Tanpa terfokus pada bagaimana semesta berlaku tidak adil padanya.
Aksa selalu menjadi cerita sedih yang terbuka lebar dihadapan Annisa, dan ia tidak bisa apa-apa selain membacanya, selain menyelami dan ikut merasakan luka semesta padanya. Sambil terus menantikan setiap lembar kisah Aksa, sembari terus berharap cerita ini akan bermuara pada ending yang seharusnya.
Ia berharap, setelah ini Aksa bisa merasa bahagia.
***
Part kali ini super pendek. Maap.
Lagi enggak mood nulis. Udah 2 hari stuck disini aja wkwkwkkMungkin part selanjutnya akan memakan waktu yang lama -lagi- untuk up. Tapi semoga masih setia nungguin.
Btw, feel nya dapet enggak? Semoga yahh.
Dan kalo bisa, pls feedback berupa like dan comment. Jangan lupa aku nya juga di follow yahh.
Pokoknya yang enggak feedback pantatnya kerlap-kerlip😌🐰🐰🐰

KAMU SEDANG MEMBACA
SILHOUETTE ✅
JugendliteraturBook I of AKSARA DIKARA ______ Dika, jangan bersedih. Takdir memang terlalu kejam membuatmu harus terkurung dalam cangkang patah asa. Membuat semua mimpimu berakhir pupus tak bersisa. Tapi, Dika. Aku ingin kamu tahu, ada aku yang bisa kamu benci se...