- 12 -

3.4K 304 19
                                        

Gelap. Sunyi. Hening. Dika merasa terkurung dalam kegelapan, tidak ada siapapun disana, hanya dirinya. Tapi secara bersamaan, Dika merasakan kehangatan di seluruh tubuhnya. Ia menghela napas dalam, menikmati oksigen yang dihirupnya. Ah, kapan terakhir kali Dika merasakan bernapas bisa senikmat ini? Tidak ada nyeri yang biasanya sering mengganggu sistem pernapasannya.

Dika tersenyum. Disini gelap, sunyi, ia takut. Tapi secara bersamaan, ia bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan yang seolah pernah ia rasakan dulu. Perlahan, ia mulai bisa menangkap bunyi konstan meskipun samar. Bunyi itu sangat teratur, terasa familiar dalam pendengaran Dika.

Bunyi konstan tersebut semakin kentara, bersamaan dengan netra Dika yang perlahan terbuka. Kegelapan yang dilihatnya secara perlahan berganti dengan cahaya terang tepat diatasnya, juga langit-langit berwarna putih bersih. Dika coba bergerak, tapi gagal karena tubuhnya terasa sangat lemas.

Ah, pantas saja rasanya sangat familiar. Dika mengerjap, menyadari dirinya lagi-lagi terbaring di ranjang pesakitan. Bunyi konstan yang didengarnya tidak lain adalah bunyi mesin EKG yang merekam organ vitalnya dan nassal canulla yang membantu saluran pernapasannya membuat Dika rasanya bisa bernapas dengan baik.

"Hei, udah bangun?" lirih suara disamping Dika membuatnya menoleh. Sedikit terkejut mendapati sang kakak sedang duduk disampingnya sambil menggenggam tangannya erat. Mungkin, rasa hangat dan nyaman yang Dika rasakan tadi adalah genggaman dari Aksa, pantas saja tidak asing. Dika masih menatap kakaknya, menelisik wajah letih itu, dan, oh ... sepasang netra yang mirip dengannya itu tampak sembab. Memangnya sudah berapa lama Dika tertidur?

Tangan kiri Aksa terangkat hendak mengusap surai Dika, tapi belum sempurna telapak tangan itu mendarat, Dika lebih dulu berpaling menandakan sebuah penolakan. Oh, Please, kalau bukan karena seluruh tubuhnya yang masih lemas pasti sejak awal Dika sudah menarik tangannya dari genggaman Aksa. cukup itu saja, jangan lagi membuat kontak yang sudah pasti akan ditolak oleh Dika.

Aksa mengerjap lantas tersenyum. Miris. Segera ia menarik tangannya yang sempat membeku diudara, terlalu terkejut dengan penolakan yang sudah sangat familiar itu.

"Aku panggil dokter dulu," ujar Aksa, lagi-lagi mengisi hening sejenak, hingga akhirnya menghilang diudara. Bersamaan dengan tubuhnya yang bangkit juga genggaman ditangan Dika yang terlepas.

Aksa memilih untuk menunggu di luar ketika Dokter Farida memeriksa kondisi Dika. Seharusnya ia ada disana, mendengarkan apa saja penjelasan dokter yang telah menangani Dika sejak kecil itu, tapi Aksa sedang tidak ingin mengusik mood Dika. Biar saja ia menghilang dulu dari pandangan adiknya, memberi ruang untuk Dika memperbaiki moodnya, toh, ia bisa bertanya pada Dokter Farida setelah ini.

"Dikara, gimana perasaan kamu, Nak? Ada keluhan nggak?" suara khas wanita paruh baya yang berprofesi sebagai Dokter itu menyambut pendengaran Dika. Ia tersenyum simpul sambil menggeleng pelan, tubuhnya masih terasa lemas semua.

"Kamu ini. Hobi banget bikin abang kamu khawatir," ujar Dokter Farida sambil menempelkan stetoskop di dada Dika, "Dua hari kamu gak sadar, abang kamu uring-uringan mulu sampai nggak mau makan. Belum tidur itu dari kemarin."

Sejujurnya, diberitahu hal seperti itu Dika bingung harus bersikap seperti apa. Lagipula, apa pedulinya? Haruskah ia menangis tersedu-sedu sekarang sambil mengucapkan terima kasih pada Aksa dan memeluknya? Ah, tidak penting. Lagipula, Dika juga tidak meminta Aksa untuk menyiksa dirinya seperti itu.

Bukan urusanku. Ujar Dika dalam hati.

*

Setelah pemeriksaan Dika selesai, Aksa kembali memasuki ruangan Dika untuk menemani adiknya itu. Mungkin saja Dika merasa bosan atau takut berada di ruangan itu seorang Diri. Aksa tahu betul adiknya itu sangat penakut, biasnya kalau sedang dirawat seperti ini, Ratna yang akan terus menemani Dika dengan setia.

SILHOUETTE ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang