Hari ketiga Aksa jatuh tertidur.
Masih menjadi hari terberat bagi orang-orang yang mengenalnya, mengenal betapa baiknya sosok Aksa, mengenal betapa hangat senyuman Aksa dalam setiap sapaannya, mengenal betapa Aksa adalah seorang pemimpin yang mengayomi.
Sejak kabar kejadian yang menimpa Aksa, mereka merasakan hal yang sama. kosong.Dan juga, untuk beberapa orang yang baru saja menyadari, ternyata sosok Aksa begitu berharga bagi mereka.
Tapi tidak semua. Sebaik apapun manusia, akan selalu ada yang tidak menyukai. Sama hal nya Aksa, dalam pejamnya yang damai, masih ada saja yang mencibir tentang persahabatan palsu mereka. Lantas mulai menerka, menyebar, menjadikannya bahan gosip, jangan-jangan yang tersisa juga tiada beda.
Topengnya mulai terbuka satu-satu.
Covernya doang sahabat, dalamnya bejat.
Nusuk, tuh, dari depan. Jangan dari belakang.
Lalu mereka tertawa, seolah ini tidak pernah menjadi luka bagi siapapun.
Dan itu adalah Adam. Satu-satunya yang masih berusaha meredam emosinya. Menulikan telinganya dari gunjingan orang-orang. Membutakan matanya dari tatapan-tatapan pasang mata yang menaruh remeh disana. Namanya mungkin ikut terbawa, tapi nama baik sahabatnya tidak bisa selalu diawasi olehnya agar tetap bersih dan utuh. Lalu yang bisa dilakukan hanya diam, menunggu waktu lagi yang akan menghapuskan dari ingatan mereka. Mereka hanya butuh bahan menggosip, ketika sudah bosan, mungkin salah satu dari mereka yang akan merasakan karmanya. Mwnjadi bahan gosip, menjadi yang seperti Adam alami saat ini.
Anak-anak manusia disekitarnya ini hanya bisa melihat bagian paling luarnya saja, menjadikannya bahan gunjingan dan bercandaan tanpa tahu fakta yang sebenarnya.
Sudah paling benar untuk tidak perlu menanggapi. Begitu ucap sosok gadis yang dihadapannya sekarang.
"Enggak usah masukin hati, Dam. Perkataan manusia itu enggak akan ada habisnya"
Masih seperti biasanya, sosok gadis yang sulit terbaca, dipenuhi dengan ketenangan yang bisa menginfeksi sekitarnya. Dihadapan Adam, gadis ini selalu penuh rahasia, tertutup, bahkan sorot matanya sekalipun sulit terbaca.
Apakah disana ada retak yang sama? Apakah disana baik-baik saja? Atau justru sudah remuk lebih dulu?
Adam mengangguk, "Iya, tahu." lantas gadis itu tersenyum. Bahkan yang satu ini juga bagi Adam masih sama, masih sehangat biasanya.
"Lo gimana? Belum mau jengukin Aksa?"
Annisa masih tersenyum, menyembunyikan retaknya yang mulai tidak keruan didalam sana ketika nama itu disebut, membiarkan semuanya tetap tidak terbaca oleh sosok didepannya.
"Aksa-nya udah bangun belom?"
Senyap diantara keduanya. Hanya riuh suara anak-anak di meja kantin masing-masing yang terdengar tidak beraturan. Adam tidak menjawab.
"Nanti aja. Kalau Aksa udah bangun. Anaknya kayak masih ngantuk berat, tuh." kemudian ia mulai mengaduk sisa minuman dihadapannya.
Tanpa ada yang tahu, patah didalam sana juga tidak kalah parah setelah diterpa badai.
Kalau ditanya, Annisa menyesal.
Ia selalu mendorong Aksa untuk melawan jahatnya semesta, meminta Aksa tetap kuat menghadapi segalanya, meminta Aksa untuk 'segera', tanpa tahu mungkin didalam sana letihnya sudah tidak bisa dibendung. Tanpa pernah memintanya untuk beristirahat, tanpa pernah memintanya untuk bahagia lebih dulu.
Kalau ditanya, Annisa ketakutan.
Takut waktu-waktu bersamanya hanya akan berlalu begitu saja tanpa apa-apa. Takut ia tidak sempat mengatakan semuanya pada Aksa, bahwa sebelum Aksa mengungkapkan semuanya, rasa itu sudah bersemayam disana sejak lama. Annisa takut, Aksa tidak akan bangun lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILHOUETTE ✅
Teen FictionBook I of AKSARA DIKARA ______ Dika, jangan bersedih. Takdir memang terlalu kejam membuatmu harus terkurung dalam cangkang patah asa. Membuat semua mimpimu berakhir pupus tak bersisa. Tapi, Dika. Aku ingin kamu tahu, ada aku yang bisa kamu benci se...